Ingin bisa berlari bersama teman-teman, bercanda, bermain dan
bersekolah, mungkin jadi harapan Sahrul (14) yang tak terungkap.
Diantara canda dan tangis teman-teman sebayanya, bocah ini justru
terpaksa menghabiskan hari-harinya di dalam sebuah ember, karena lumpuh.
Kini sudah 13 tahun Sahrul ‘hidup’ bersama ember kesayanganya.

Anak bungsu dari sepuluh bersaudara ini mengalami kelumpuhan sejak
usia enam bulan, tragisnya keluarga tidak bisa berbuat apa-apa karena
himpitan ekonomi, bahkan tidak ada sedikit pun bantuan dari pemerintah
maupun pihak lain.

Warga Kampung Bantar Muncang Rt 01 Rw 07, Desa Sekarwangi, Kecamatan
Cibadak ini hanya bisa pasrah. Supinah, ibunya setia menemani hari-hari
Sahrul. Sebelumnya bocah ini nampak normal seperti bayi pada umumnya,
namun sejak diberikan suntikan Hepatitis B di Puskesmas setempat,
keadaannya kian memburuk, kakinya lemas dan tidak normal seperti balita
seusianya.

“Sebelum diimunisasi, awalnya normal seperti anak-anak lain. Namun,
anak saya diimunisasi Hepatitis B waktu itu. Baru sekitar setahun
kondisinya mulai ngga normal dan badannya lemas,” ungkap Supinah.

Segala upaya telah ditempuh Supinah untuk kesembuhan anaknya, tak
hanya memeriksakan ke Puskesmas, rumah sakit terdekat pun sudah ia
datangi. Namun Supinah harus ikhlas setelah mendengar vonis dokter yang
menyatakan Sahrul terkena polio. “Saya tidak punya uang untuk membawa
Sahrul berobat lagi. Setelah tahu Sahrul polio, saya hanya bisa pasrah
menerima kondisinya,” keluhnya.

Supinah memanfaatkan ember plastik untuk menopang tubuh Sahrul agar
bisa duduk. Ia mengaku terpaksa, karena tidak ada pilihan lain. Sejak
usia satu tahun Sahrul sudah ‘akrab’ dan bergantung dengan ember. Baru
pada usia delapan tahun bocah murah senyum itu bisa mengesot (menarik
kaki dengan mengandalkan tangan dan tubuhnya), namun karena belum juga
bisa bicara, Sahrul tetap menggunakan ember untuk buang air.
“Mau gimana lagi, anak saya begini dari kecil. Paling peningkatannya
sekarang sudah bisa makan sendiri, karena tangannya sudah bisa bergerak”
jelasnya.

Keprihatinan Supinah tidak hanya putra bungsunya, putra keempatnya
Husein (33) pun mengalami kelumpuhan total sejak terjatuh dari pohon
kelapa. Supinah yang bekerja sebagai pengrajin ini, hanya mempasrahkan
segala kehidupannya pada Tuhan. Ia mengaku ikhlas menerima semua ujian
ini.

“Mau membawa berobat ke mana? Saya tidak punya uang. Jangankan untuk
berobat kedua anak saya, untuk makan sehari-hari saja penghasilan saya
masih kurang. Saya pasrah, saya ikhlas menerima ini semua” tukasnya.
(pipit)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36991

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :