Perhatikan sms ini ; ## Ibu lagi ngapain?
Sekarang masuk pagi Adhel dan uti (nenek,red) masih istirahat di
sekolah sebentar lagi Adhel akan ulangan matematika tentang bangun datar
yang fokus hal 50 sampai dengan 56 Paket hal 75 sampai dg 92 ibu kalau
di toko tidak boleh nakal. ##

##Ibu tadi umi datang, tadi soal-soalnya untuk om sukrin salahnya 24
benarnya 296 jumlahnya 320 om sukrin tadi dapat nilai 93 Ibu tidak
kehujanan waktu hujan? Tadi ibunya kesekolahnya ibu apa tidak? Adhel
sama akung jamal tadi naik becak. Tadi waktu ngaji utinya salah baca
seterusnya apalagi utinya tidak lancar. Ibu masih jaga toko apa sudah
jaga toko? Ibu minta toko yang besar seperti di toko matahari yang ada
eskalator dan AC dll kalau tokonya kecil jadinya kulitnya hitam sekali
karena ada orang yang beli.##

Dua sms ini membuat kita merasa agak aneh. Tanda baca tak sempurna.
Agak berbelit dan dominan angka. Ya, ini adalah sms seorang anak
autistik penyuka angka kepada ibunya. Nama lengkapnya, Fadhel Akhmad
Hizham (Adhel, Autistik, 14 tahun)Tapi, jangan pernah remehkan dia.
Dalam 5 detik, dia sigap menjawab; berapa hasil dari 144 × 99 ? Adhel
adalah autistik berbakat di bidang matematika.

Dengarlah penuturan ibunya, Lati Litoehayoetyasti (Itoek) yang
membesarkan Adhel di kota kecil (Jember, Jawa Timur) dengan menterapinya
sendiri. Karena minimnya sarana untuk anak berkebutuhan khusus di kota
itu.

Anak pertama kami, Adhel, lahir 21 Mei 1997. Dengan namanya, kami
berpengharapan, kelak Adhel menjadi orang yang utama/ terkenal,
dipercaya dan baik hati juga dermawan. Lahir dengan berat 2,4 kg dan
panjang 47,5 cm. Persalinan normal. Kelahiran Adhel benar-benar
mendatangkan rejeki dan kebahagiaan bagi keluarga. Meski waktu itu
ekonomi kami masih kembang kempis. Perhatian dari seluruh keluarga,
teman sahabat, tetangga membuat kebahagiaan semakin lengkap.

Adhel sendiri, tumbuh jadi anak sehat, gemuk dan menggemaskan. Selain air susu ibu (ASI), Adhel juga minum susu formula. Saat bersamaan aku sedang menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN) sebagai syarat untuk menyusun skripsi sarjana. Karena kerepotanku itu, aku biasa memberikan makanan serba instant. Saat itu yang terpikir hanya praktis, gampang dan tidak repot. Hal itu, yang kemudian aku sesali.

Sepertinya ada yang salah dengan anakku.

Oktober 1998, kami membawa Adhel ke dokter spesialis Telinga Hidung Tenggorok (THT).
Sering Adhel seakan tidak mendengar suara disekitarnya. Saat itu dia
sudah berjalan dan kadang mengeluarkan ocehan seperti…_wa..wa..wa_, tapi
tidak menanggapi panggilan kami.

Januari 1999, Adhel kejang kejang. Harus opname. Tapi karena
cepat pulih, kami putuskan untuk pulang. Tapi aku merasa, ada yang
tidak beres dengannya, beberapa bulan setelah itu. Dia terlihat aktif
dan tidak terkontrol. Tapi kesibukan kami masing-masing, terlebih aku
diterima bekerja sebagai guru, membuat kami meremehkan keadaan ini. Di
usia 3 tahun kegiatan Adhel benar-benar di luar kendali. Tingkahnya
menyesakkan dada. Aku sebagai ibu seringkali naik darah melihat
tingkahnya yang tak biasa untuk anak normal. Saat Adhel bertingkah,
cubitan di paha dan bentakan-bentakan padanya sering kulakukan. Saat
malam tiba, melihat paha Adhel biru karena cubitanku, aku hanya bisa
menyesali diri, menangis. Aku mohon ampun padaNya atas segala apa yang
telah kulakukan. Dengan segala keterbatasanku, aku berusaha sabar dan
menerima, tapi saat rasa kecewa, shock, malu, marah datang
lagi. Aku hilang kesabaran. Bila aku dalam keadaan marah, sering Adhel
dibawa menjauh dariku supaya tak terkena imbas kemarahanku.

Agustus 2000, akhirnya kami membawa Adhel ke dokter spesialis anak
yang cukup terkenal di kota kami yang kecil. Perasaanku mengatakan,
bahwa memang ada yang salah dalam diri Adhel. Ciri-ciri autisme yang
pernah aku baca hampir semua ada pada dirinya. Terlambat bicara,
menghindari kontak mata, tidak takut bahaya, sering menjalani rutinitas
(selalu minta melewati jalan yang sama setiap pergi ke rumah mertua,
tiap hari acara tv yang ditonton selalu sama), suka pada benda yang
berputar (selalu memutar roda motor ayahnya), keterikatan pada benda
yang berlebihan ( terutama pada benda-benda yang ada angkanya;
kalkulator, arloji, kalender, uang, buku tebal dengan halaman yang
banyak, dll). Dia juga sangat hiperaktif. Ada apa dengan Adhel ?
Pertanyaan-pertanyaan seperti itu, semakin lama semakin mengganggu
perasaan ini.

Waktu itu, dokter hanya bilang, bahwa ada yang salah dengan otak
Adhel yang menyebabkan Adhel seperti ini. Beliau tidak secara jelas
menerangkannya. Resep yang diberikan disebutnya sebagai vitamin otak
yang berguna mengurangi hiperaktifnya. Nootropil dan Ritalyn. Memang berpengaruh. Adhel bisa duduk lama dan diam saat nonton TV. Padahal biasanya selalu mondar mandir.

Januari 2001, kali keempat, kami periksakan ke dokter. Obat yang
diberikan masih tetap sama tapi dengan dosis penuh. Baru sehari diminum,
Adhel yang memang selalu tidur agak larut, malah semalaman tidak bisa
tidur. Semalaman dia hanya berbaring sambil gigit-gigit kuku. Bila
disuruh tidur, malah dia berteriak histeris. Pada hari keempat, kami
putuskan menghentikan semua obat yang tersisa. Kami juga tidak
konsultasi ke dokter itu kembali. Kami khawatir, dokter akan menyarankan
obat lain lagi. Kami tidak ingin Adhel jadi kelinci percobaan.

Kesalahan kami adalah, kami tidak datang ke ahli yang tepat. Akhirnya
aku mengandalkan perasaan sebagai seorang ibu. Perasaanku ini lebih
bisa kupercaya. Sekarang yang lebih penting, apa yang harus kami lakukan
untuk membuat Adhel lepas dari gangguan tersebut. Keterbatasan biaya,
pengetahuan kami, minimnya sarana untuk anak berkebutuhan khusus, kami
satukan niat untuk mendidik sendiri Adhel.

Mulailah aku berburu informasi tentang autisme. Membeli buku bukan
prioritas di anggaran belanja kami saat itu. Aku selalu menyempatkan
berlama-lama di toko buku untuk sekadar membaca buku-buku tentang
autisme. Juga rajin ke lapak penjual koran, hanya untuk membeli koran
atau tabloid yang memuat artikel autisme. Kami sadar Adhel membutuhkan
terapi untuk mengatasi gangguan autismenya.

Beberapa hal kami merasa diberi kemudahan olehNya untuk keluar dari
kebimbangan, antara keinginan membawa Adhel terapi dan segala
keterbatasan yang ada. Terlebih karena kondisi ekonomi yang tidak
memungkinkan. Tempat terapi belum ada di kota kami saat itu. Secara tak
sengaja kami menemukan adik tetangga memiliki anak yang menderita
autisme. Dengan tujuan sharing, kami malah diberi fotocopy tentang Pelatihan Tatalaksana Perilaku pada Penyandang Autisme. Berbekal buku copy –an itu, aku berusaha mengikuti tahapan demi tahapan dalam menterapi sendiri anakku.

Pertama, menyiapkan ruang khusus terapi untuk Adhel, di rumah. Terapi
awal adalah melatih kontak mata. Yang aku lakukan adalah duduk
dihadapannya dan memegang kepalanya agar pandangannya tepat pada
mataku. Kemudian, aku menghitung dengan suara keras,
satu..dua..tiga..empat..lima. Mendengar aku berhitung,…2-3 detik dia
balas pandanganku. Hore…aku berhasil…, kataku dalam hati. Aku tahu Adhel
sangat suka angka, mendengar aku berhitung, Adhel sedikit lebih
konsentrasi.

Dari berhitung sampai lima..,lanjut sampai sepuluh…, sampai lima
belas…, sampai seratus. Begitu awalnya kami melatih Adhel kontak mata
sekaligus konsentrasinya. Berlangsung hampir sebulan. Baru setelah itu
melatih kepatuhan. Patuh untuk melakukan aktivitas sederhana seperti
senyum,tepuk tangan, duduk,berdiri, kemudian perintah untuk menirukan
gerakan motorik kasar. Dari awal terapi, kami selalu berikan reward (berupa ciuman sayang, permen, pujian,tepuk tangan) jika Adhel dapat melakukan apa yang kami minta.

Sebaliknya kami beri Adhel punishment ( tidak ada ciuman,
permen, pujian atau tepuk tangan) jika Adhel belum mampu melaksanakan
perintah yang kami minta dan kami akan mengulang perintah tersebut
sampai Adhel paham dan bisa melakukan/menirukannya. Semua ini proses
yang tidak sederhana dan juga tidak sebentar.

Kemajuan dan kemunduran pada perilaku Adhel selalu datang dan pergi.
Berulang-ulang. Emosi Adhel meledak-ledak. Kadang pada saat yang
betul-betul putus asa melihat perkembangannya, rasioku terkalahkan
dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Kami pernah membawa Adhel ke
“dukun” untuk dimanterai agar Adhel tidak dirasuki makhluk halus (
karena kalau sudah tantrum – marah-marah- semua dibikin kewalahan). Kami
ke dukun juga agar bisa cepat bicara.

Kamipun pernah mengadakan selamatan perubahan nama Adhel. Menurut
nenek kami, nama Akhmad di tengah-tengah Fadhel dan Hizham, tidak bagus.
Sehingga digantilah nama Adhel menjadi Achmad Rosy Wahyudi. Selamatan
tersebut disertai persyaratan ritualnya seperti berbagai macam bubur (
merah, putih, sengkolo), 7 macam jajan pasar, nasi kulupan, telor rebus
dan lauk lainnya. Harapannya ada perubahan positif dalam diri Adhel.
Walaupun dari hati kecilku ragu; mungkinkah? Aku pasrah saja, karena
kalau Allah menghendaki, segala yang tidak mungkin bisa saja terjadi.

Di usia Adhel yang 5 tahun, kami ditolak mentah-mentah saat akan
mendaftarkannya masuk di TK yang cukup ternama di kota kami.Tapi ada
teman yang merekomendasikan TK yang siswanya sedikit dan pernah menerima
siswa penderita autisme.

Akhirnya Adhel kami daftarkan dan langsung diterima. Di sekolah,
emosi Adhel masih naik turun. Sedikit saja ada yang tidak cocok
dihatinya, Adhel langsung nangis meraung-raung, menarik rambut teman
yang berusaha menghiburnya. Menyobek buku teman, bahkan membuang tas
temannya ke tempat sampah. Bagi temannya, Adhel adalah anak yang aneh
dan susah mereka mengerti.

Tapi ketertarikan pada angka dan mata pelajaran matematika
mengalahkan segalanya. Dia begitu fokus menerima pelajaran ini. Dia
sangat tertarik sekali pada angka yang tinggi. Itulah “jembatan” baginya
sebagai penghubung dunianya dan dunia anak kebanyakan.

Kini hari-hari yang melelahkan dan penuh tangis sudah berlalu. Adhel
tumbuh relatif baik. Meski kadang dia masih bertingkah agak aneh bagi
orang lain. Tapi tak sering lagi. Kini dia telah duduk di kelas dua SMP
favorit di kota kami. Dia sedang ikut program akselerasi; program
pendidikan dua tahun untuk beban materi pendidikan selama tiga tahun.
Bersama salah seorang pendidik matematika, Adhel sudah menghasilkan dua
buku; Penemuannya soal rumus perkalian 99 dan buku tentang Pangkat dan
Akar. Kami bersyukur bahwa dalam segala keterbatasannya, dia menemukan
“dunianya” ; Matematika.

Aku sendiri sudah lama tak mengajar lagi. Kini mengelola sebuah toko
pigura. Aku tak pernah menyesal memiliki seorang Adhel dengan segala
kelebihan dan kekurangannya. Mungkin Tuhan memang mempercayakan anak
berkebutuhan khusus kepada beberapa orang. Jadi kutinggalkan tangis dan
airmata. Berbuat sesuatu akan membuat mereka lebih baik. (Indah Winarso)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36441

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :