Gonjang-ganjing isu stem cell yang masih hangat dibahas dan diperdebatkan di Amerika Serikat oleh berbagai kalangan ini, juga menjadi salah satu hal yang didiskusikan oleh masyarakat Indonesia khususnya kalangan pemuka agama.

Salah satunya adalah Ustads Syamsi Ali, pria yang dipercaya sebagai Imam pada Islamic Center masjid terbesar di New York ini berpendapat bahwa posisi pemerintahan akan isu stem cell selalu berada pada posisi ‘netral’, serta dukungan atau larangan terhadap penelitian stem cell adalah dua pihak yang berada di ujung kanan dan kiri.

Selain itu, Pak Syamsi Ali yang juga menjabat sebagai Direktur Jamaica Muslim Center beropini bahwa Presiden Obama menempatkan diri pada posisi tengah, yang memberikan kesempatan kepada dunia ilmu pengetahuan untuk berkembang dan menemukan formatnya yang bermanfaat, seraya melihat kepada nilai-nilai moral yang dapat diterima.

Pria berusia 40 tahun asal daerah Sulawesi Selatan juga menegaskan bahwa keputusan Obama mencabut larangan terhadap penggunaan dana pemerintah federal untuk penelitian stem cell adalah hal yang tepat karena dengan demikian akan ada pergerakan untuk menemukan lebih jauh apa yang dimaksud dengan stem cell, dan apa manfaatnya bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Pendeta Hengkie Tjahjadi berpendapat kurang lebih sama dengan Ustads Syamsi. Secara pribadi, pendeta yang aktif di Gereja Indonesia Nazarene beropini bahwa beliau tidak merasakan pergumulan moral dan spiritual terhadap pengembangan penelitian Stem Cell sejauh bahan dasar yang digunakan adalah “adult stem cell” yang dijumpai pada “adult tissue”.

Pendeta Hengkie juga menambahkan bahwa apalah dasarnya untuk berkeberatan ketika “secuil” tissue diambil, sedang berliter darah kita sumbangkan dengan tujuan kemanusiaan? Toh! hal tersebut tidak mengurangi, lebih-lebih mengambil hidup sang pemiliknya. 

Pendeta yang sudah tinggal di Amerika Serikat selama 15 tahun ini lebih dalam menjelaskan, “Tetapi ceritanya menjadi berbeda ketika kita menelaah pendekatan berbeda dari upaya yang sama, yakni embryonic stem cell yang menggunakan bakal fetus, yakni blastocyst.

Dimana prosedur memperoleh stem cell tersebut, seorang embrio harus dimusnahkan. Walau proses ini hanya menggunakan bakal janin dengan usia fertilasi berkisar 4-5 hari dan masih terlalu kecil untuk dapat dilihat oleh mata telanjang, tetapi tetap menghadirkan sebuah tanda tanya moral besar. Tanda-tanya tentang kehidupan manusia, lengkapnya: Hak untuk hidup, dan pada titik mana sebuah kehidupan dimulai.”

Sama halnya dengan Ustad Syamsi, pendeta Hengkie yang telah aktif di Gereja selama 28 tahun ini setuju dengan pencabutan larangan penelitian stem cell yang dilakukan oleh Presiden Obama dengan semangat menjawab, “Amat setuju! Dengan catatan ada semacam “juklak” (Petunjuk Pelaksana?) yang mengakomodasi aspirasi etis semua pihak.”

Mengenai urusan pro-kontra stem cell, Ustadz Syamsi Ali yang pernah di interview di stasiun TV Fox news berujar, “Saya kira memang permasalahannya adalah ‘persepsi’ tentang apa dan bagaimana stem cell itu. Mereka yang menentukan khawatir kalau itu adalah bentuk pembunuhan janin (manusia).

Tapi sebaliknya mereka yang mendukungnya tidak melihat demikian. Mereka menyadari bahwa stem cell bukan pembunuhan, tapi pemanfaatan sebuah ciptaan Tuhan juga untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Jadi, saya melihat perbedaannya ada pada ‘bagaimana’ mereka menilai arti hidup itu sendiri.”

Begitu juga dengan Pendeta Hengkie, secara pribadi beliau tidak merasakan pergumulan moral dan spiritual terhadap pengembangan penelitian Stem Cell. Tapi tentu saja sejauh bahan dasar yang digunakan adalah “adult stem cell” yang dijumpai pada “adult tissue”.

Pria asal Jakarta ini menekankan, “Apalah dasarnya untuk berkeberatan ketika ‘secuil’ tissue diambil, sedang berliter darah kita sumbangkan dengan tujuan kemanusiaan? Toh! hal tersebut tidak mengurangi, lebih-lebih mengambil hidup sang pemiliknya.”

Tetapi ceritanya menjadi berbeda ketika kita menelaah pendekatan berbeda dari upaya yang sama, yakni “embryonic stem cell” yang menggunakan bakal fetus, yakni blastocyst. Dimana prosedur memperoleh stem cell tersebut, seorang embrio harus dimusnahkan.

Walau proses ini hanya menggunakan bakal janin dengan usia fertilasi berkisar 4-5 hari dan masih terlalu kecil untuk dapat dilihat oleh mata telanjang, tetapi tetap menghadirkan sebuah tanda tanya moral besar. Tanda-tanya tentang kehidupan manusia, lengkapnya: Hak untuk hidup, dan pada titik mana sebuah kehidupan dimulai.

Ketika ditanya bagaimana pendapatnya tentang para penentang yang menganggap stem cell itu berkatian dan bahkan pro-aborsi, Pak Syamsi yang pernah tampil berdakwah pada acara mimbar akbar ‘A Prayer for America’ di New York Yankee Stadium pada tahun 2004 yang dihadiri oleh President Bill Clinton dan Oprah Winfrey ini menjawab, “Saya kira tidak demikian. Yang benar adalah bahwa jika ada janin, dan ini tidak harus aborsi tapi boleh jadi karena keguguran atau lain sebab, dan janin ini tidak mungkin untuk hidup, kenapa diharamkan untuk dimanfaatkan bagi kemanfaatan kesehatan manusia itu sendiri? Misalnya ada seorang ibu yang keguguran di rumah sakit, di mana janin itu, mau atau tidak, pasti juga dibuang, apakah salah jika justru dipakai untuk meneliti kemungkinan kemanfaatannya bagi berbagai penyakit manusia? Jadi ini masuk dalam kategori tantangan untuk menggunakan akal pemikiran manusia dalam hal-hal kebaikan
universal dalam kehidupannya.”

Namun akan hal ini, Pendeta Hengkie berpandangan berbeda, pria yang terakhir pulang ke Jakarta pada tahun 2008 ini berujar, “Amat setuju, keduanya berjumpa pada pertanyaan moral dasar yang sama, kapan sebuah kehidupan lengkap manusia dimulai. Alkitab cukup eksplisit menandaskan bahwa kehidupan manusia eksis ketika konsepsi terjadi (Jer. 1:4-5; Max. 139:13-19). Pada momen tersebut, size doesn’t matter (sambil tersenyum), embrio 100% manusia dengan 46 kromosom yang berfungsi penuh plus kode genetik yang unik. Dan Konsensus Embryologist dunia mengkonfirmasi pandangan ini.”

Jadi apakah Pak Syamsi Ali dengan sepenuhnya mendukung penelitian stem cell bagi kesehatan dan menyembuhkan penyakit? Pria yang pada 5 November 2007 lalu tampil dalam acara talk show televisi “Face to Face, Faith to Faith” acara yang dimoderatori oleh Katie Couric, yang juga menampilkan tiga panelis, Rabbi Rubin Stein, Senior Rabbi pada Central Synagogue, Reverend Michael Lindvall, Senior Pastor The Brick Church menjelaskan, “Saya kira sepanjang tidak merupakan pembunuhan, dan dalam hal in saya tidak melihatnya sebagai pembunuhan manusia, maka saya dukung.

Dalam dunia kontemporer saat ini manusia semakin ditantang untuk maju dalam berpikir sehingga mampu menemukan solusi dari berbagai permasalahan yang pada abad-abad lalu belum ditentukan.

Secara pribadi, saya melihat bahwa dalam melihat berbagai kemajuan dunia ilmu pengetahuan sekarang ini, kita perlu melakukan langkah-langkah agresif jika hal itu tidak secara langsung mengganggu nilai-nilai dasar keimanan kita. Islam adalah agama yang sangat mendukung kemajuan dunia ilmu pengetahuan, selama upaya itu memang membawa kemaslahatan bagi kehidupan manusia.”

Demikian pula dengan Bapak Hengkie, pendeta beristri pintar masak dan beranak tiga ini setuju dengan kosnep penelitian stem cell dan berkata, “Saya amat mendukung, sejauh orientasi pengembangan penelitian tersebut fokus pada “Adult stem cell”. Hal yang lebih menggembirakan adalah didapatkannya sumber –sumber lain yang kaya dengan stem cell jenis , misalnya pada ‘umbilical-cord blood’ dan plasenta.” (inna)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33214

Untuk melihat Berita Amerika / Amerika / Kesehatan lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket