Para orang tua ini terlihat sedih dan letih. Mereka mengaku telah menghubungi Kementrian Luar Negeri untuk mendapat kepastian kepulangan anak mereka dari Mesir. Di sana mereka hanya disuruh bersabar. Beberapa dari mereka bahkan menghubungi media elektronik untuk mencari informasi yang lebih baik

M Gultom di Medan, misalnya. Anaknya bernama M. Yusuf Gultom di Mesir, tidak bisa dihubungi lagi sejak hari Rabu. Dia datang ke salah satu biro media elektronik di Medan. Pihak televisi lantas membuat tayangan buat mereka. M. Gultom dapat berbicara dengan Duta Besar RI di Mesir. M. Fachir. Pembicaraan mereka ditayangkan langsung. Di situlah M. Gultom mencurahkan kekhawatirannya kepada Duta Besar. “Sudah dua hari saya tidak dapat menghubungi anak saya Pak. Hari Rabu, ketika bicara sama saya, dia cerita kalau rumah temannya dijarah. Tolong Pak. Saya merasa anak saya tidak aman di sana. Sekarang ibunya sakit. Tolonglah kami, Pak, katanya mengiba. Suara Gultom yang semula lantang, berangsur melemah dan terdengar terisak.

Dalam tayangan itu, komunikasi kadang terputus. Lantas tersambung kembali. Sang Dutabesar sesekali tidak dapat mendengar suara Gultom. Kadang suara mereka bertabrakan. Kadang jawaban Duta Besar, menggaung. Terdengar menenangkan. Emosi sudah tersalurkan. Rasa panik Gultom dapat diredakan setelah mendengar jawaban dari sang Duta Besar. Tayangan itu tak sekadar show. Tapi dapat membantu menenangkan mereka meski hanya sementara.

Beberapa TV di Indonesia menyiarkan perkembangan situasi di Mesir secara terus menerus selama 24 jam. Mereka mendapatkan berita dari ABC atau AlJazeera. Beberapa dikombinasikan dengan perbincangan dengan narasumber di Mesir dan Indonesia. Tayangan terasa menarik bila TV dapat mempertemukan sang anak di Mesir dan orangtua di Indonesia dalam satu layar, meski hanya telewicara. Tapi dengan itu, perasaan kuatir orangtua sedikit berkurang.

M. Gultom tidak sendiri. Beberapa puluh orangtua di Indonesia merasa panik, karena tidak bisa lagi berkomunikasi dengan sanak mereka yang masih di Mesir. Mereka telah menghubungi teman-teman anaknya di Mesir. Mereka sangat mengharapkan sanak mereka segera pulang. Mahasiswa Indonesia di Mesir memiliki beberapa oraganisasi kemahasiswa yang bersifat kedaerahan. Misalnya Perkumpulan Mahasiswa Mesir asal Sumatera Utara. Aceh, Jawa, Jakarta. Namun yang bersifat nasional adalah PPMI (Persatuan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia) Mesir.

MULAI KESULITAN LOGISTIK.

Warga Indonesia yang masih bertahan di Mesir mulai mengalami kekurangan bahan makanan. Juga kehabisan uang tunai karena bank dan mesin anjungan tunai mandiri (ATM) tak bisa dioperasikan. “Kami di sini kehabisan uang. Pengumuman bantuan logistik dari KBRI belum kami terima. Kami seperti hidup di tengah kota mati,” ujar Yovvi Saddan melalui status Facebooknya. Yovvi adalah mahasiswa S-1 Jurusan Tafsir Alquran, Fakultas Ushuluddin, Universitas Al Azhar, yang berasal dari Kota Madiun, Jawa Timur. Akhirya KBRI memang memasok bebrapa dus mie instant untuk mereka.

Menurut dia, dalam situasi Mesir yang terus bergolak, Yovvi dan kawan-kawannya memilih diam di apartemen. Mereka memantau perkembangan di luar melalui siaran televisi. “Kami gak punya kesibukan. Dari pagi hingga malam, kami memantau situasi Mesir melalui TV. Di CNN, BBC atau France 24 dan tersiar kabar bahwa warga Amerika, Israel, Turki, Prancis, Brunei, dan Thailand telah dievakuasi oleh pemerintah masing-masing,” kata dia.

Dia berharap Pemerintah Indonesia segera mengevakuasi mereka dari Mesir, termasuk dirinya. “Kami mendengar bahwa pemerintah telah mengirim pesawat untuk mengevakuasi WNI. Tapi satu persatu. Kalau satu pesawat hanya mampu menampung 400 orang, sekali terbang, itu berarti membutuhkan sekitar 11 pesawat untuk mengangkut seluruhnya. Jarak tempuh dari Indonesia ke Mesir membutuhkan waktu 10 jam,” tutur Yovvi dalam pesannya. Sebagai perbandingan, Pemerintah Malaysia memulangkan sekitar 11 ribu warganya dalam 5 hari. Selain pesawat, Malaysia memanfaatkan juga kapal laut.

KBRI Mesir memerlukan satu hari untuk proses administrasi evakuasi. “Kami cukup cemas karena informasi yang kami terima dari PPMI, para mahasiswa yang belum terangkut diminta menunggu,” ujarnya. “Tunggu saja! Tunggu keputusan pemerintah pusat, karena katanya, inilah instruksi Dubes,” kata Yovi menirukan jawaban yang selalu ia terima dari PPMI.

Ibunda Yovi, Sri Sugiarti, di rumahnya di Jalan Maleo, Kelurahan Nambangan Kidul, Kecamatan Manguharjo, Kota Madiun, Jatim, mengaku cemas. Pihaknya berharap, pemerintah segera menambah pesawat untuk mengevakuasi WNI.
“Seharusnya jumlah pesawatnya ditambah. Kalau hanya satu tidak akan cepat selesai” kata Sri Sugiarti.

Namun Satuan Tugas Evakuasi Indonesia memberi alasan atas tudingan kelambanan itu. Hassan Wirajuda , selaku ketua Satgas Evakuasi mengatakan bahwa pemerintah berharap proses evakuasi bisa berjalan cepat. “ Namun ternyata tidak mudah karena terkendala situasi di lapangan.Namun,proses evakuasi kedua ini sudah lebih mudah. Tolong dimengerti situasinya. Karena untuk evakuasi bukan hal mudah.Memerlukan waktu karena akses ke bandara juga sulit dari sana. Transportasi sulit,”ungkapnya.

Mantan menteri luar negeri Indonesia ini mengatakan,pemerintah sebenarnya mengontak 3 maskapai ; Garuda, Lion Air dan Batavia Air untuk mempercepat kepulangan warga Indonesia. Namun hanya Garuda yang bisa melaukan misi itu
Walaupun Lion Air memiliki Boeing 737-400, maskapai tersebut tidak mendapat akses bahan bakar di Cairo. Garuda bisa , karena sudah memiliki jaringan pengisian bahan bakar. Mereka telah memiliki jalur penerbangan internasional ke kawasan tersebut. “Bahan bakar untuk Garuda tidak perlu bayar cash.Tapi, kalau maskapai lain, harus cash,meski Lion Air sudah menyanggupinya,” ujar dia.

EVAKUASI KEDUA TIBA.

Pemulangan kedua warga Indonesia, Hari Jumat siang (4/2) tiba di bandara Soekarno Hatta. Disambut Wakil Presiden Boediono, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri Perhubungan, Freddy Numberi dan Hassan Wirajuda. Jumlah mereka 421 orang termasuk 31 anak-anak. Pemerintah masih memprioritaskan wanita dan anak-anak untuk dipulangkan lebih dahulu ke Indonesia.

Setiba di Bandara mereka ditampung sementara di Asrama Haji Jakarta. Wajah haru dan sukacita terlihat saat rombongan bertemu sanak mereka. Beberapa mahasiswa batal wisuda karena gejolak di Mesir. Herman, 28,warga Cirebon, langsung memeluk erat istrinya,Imro Atul Rofia,25,mahasiswi S-2 jurusan sastra di Universitas Al-Azhar.

Dia mengaku bahagia ketika memastikan istrinya, tiba dengan selamat. Wisuda istrinya terpaksa dibatalkan. “Harusnya diwisuda tahun ini, tetapi terpaksa dipulangkan karena kondisinya tidak memungkinkan,” ungkapnya. Herman mengaku sempat khawatir karena dari kontak terakhir, istrinya sempat minta bertahan menunggu wisuda.Namun,setelah kondisi tidak kunjung membaik, akhirnya terpaksa dipulangkan.

Pemerintah Indonesia juga menyiapkan tempat menginap di gedung A, B, dan C di Asrama Haji untuk keluarga yang belum dijemput keluarganya. Setelah melakukan proses administrasi, mereka pulang ke daerah masing-masing dengan tanggungan penuh dari pemerintah. Dua WNI dikabarkan sakit pada pemulangan kali ini. Keduanya pingsan setiba di Asrama Haji Jakarta. (Indah W)

Untuk share atrikel ini klik www.KabariNews.com/?36295


Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :