KabariNews – Helen Keller, seorang penulis, aktivis, dan dosen yang menyandang buta dan tuli karena suatu penyakit. Katanya, optimisme adalah kepercayaan yang akan membawa kita sampai kepada suatu prestasi. Angkie Yudistia membuktikan kebenaran itu. Dengan kondisi telinga yang tidak dapat mendengar alias tuna rungu, tapi ia berhasil menggali potensi diri dan mengukir prestasi cemerlang.

Angkie perempuan menembus keterbatasan

Angkie perempuan menembus keterbatasan

Keterbatasan yang dimiliki Angkie tidak menyurutkan keyakinan dan tekadnya, bahwa penyandang tuna rungu dapat berprestasi. Tercatat wanita cantik ini pernah menjadi Delegasi Indonesia di Asia Pacific Center of Disability (Thailand) dan di International Young Hard of Hearing (Perancis). Ia juga bekerja sebagai Corporate Public Relations PT Geo Link Nusantara, Marketing Communication IBM Indonesia, bahkan menjadi CEO Thisable Enterprise dan menerbitkan dua buku berjudul Setinggi Langit dan Invaluable Experience to Pursue Dreams (Perempuan Tuna Rungu Menembus Batas). Angkie benar-benar percaya bahwa rintangan berupa keterbatasan pendengarannya ini justru menghantarkannya meraih segala prestasi.

Angkie Yudistia lahir di Medan, 5 Juni 1987 dalam kondisi fisik yang normal, dalam artian sehat dan sempurna dengan segala indera yang dimiliki. Ia juga bisa mendengar suara apa pun yang ada di sekitarnya, sampai di umur 10 tahun perlahan tapi pasti keadaan mulai berubah. Indera telinganya tidak lagi mampu berfungsi secara normal. Ia kesulitan mendengar panggilan orang sekitar. Bahkan sulit sekali mengikuti pelajaran di sekolah. Tak pelak, ini membuatnya kalang kabut.

Orang tua membawanya ke dokter telinga, hidung, dan tenggorok (THT). Dari hasil pemeriksaan yang intensif ternyata terkuak kalau Angkie mengalami masalah pendengaran yang tidak diketahui asal mulanya. Dokter demi dokter mereka kunjungi untuk mendapatkan jawaban, dan tentunya mencari kesembuhan agar Angkie dapat mendengar kembali. Pada akhirnya, beberapa dokter menganalisa bahwa telinga Angkie tidak dapat mendengar karena waktu kecil sempat mengalami sakit malaria, dan ia tidak kuat dengan obat antibiotiknya.

Angkie dan orang tuanya tidak kecil hati. Mereka terus memburu segala pengobatan, dari yang tradisional sampai modern. Saat berumur 16 tahun, ia memakai alat bantu dengar untuk menolong pendengarannya. Syukurlah, alat itu dapat membantu, meski tidak sepenuhnya. Angkie tetap mengalami kesulitan mengikuti pembicaraan orang di sekitarnya. Untuk itulah, ia tetap mengandalkan visualisasi mata untuk melihat dan memahami gerakan bibir saat berbincang dengan orang lain.

Pernah Alami Di-Bully

Angkie dengan suami tercinta

Angkie dengan suami tercinta

Menjadi seseorang yang berbeda, dulunya dapat mendengar, lalu tuna rungu, kata Angkie, rasanya seperti memasuki dunia yang berbeda sama sekali. Dari dunia bersuara memasuki dunia yang diam.

Angkie kagum sekali kepada orang tuanya. Tidak sekali pun ia melihat airmata jatuh di pipi ibu dan bapaknya melihat kondisi Angkie. Ibunya sangat tegar, dan bapaknya selalu siaga.

“Kombinasi yang sempurna dalam mendidik saya yang berbeda ini untuk tumbuh berkembang secara baik. Ibu tidak pernah menangis di depan saya agar saya tidak jatuh terpuruk secara mental psikologis. Bapak saya selalu berjuang dengan pekerjaannya agar menghasilkan materi yang cukup untuk memperjuangkan pengobatan saya yang tidak murah itu,” kata Angkie kepada KABARI.Sebaliknya, sang ibu selalu menyibukkan Angkie di beragam kegiatan. “Dulu dari Senin hingga Jumat adalah waktu tersibuk saya sepanjang hidup. Tujuan Ibu agar saya dapat meningkatkan potensi dan mudah berbaur dengan siapapun. Benar saja, walaupun tumbuh bukan sebagai perempuan yang pintar, tapi saya berhasil melalui pendidikan hingga jenjang S2 sebagai Master of Communication. Itu juga dibantu Bapak yang selalu berusaha untuk mendukung segala kebutuhan saya,” tutur wanita yang bersuamikan Budi Prasetyo ini.

Angkie menyelesaikan SD hingga SMA di sekolah umum. Di Taman Kanak-kanak ia bersekolah di Ambon, setelah itu menyelesaikan SD di Ternate dan Bengkulu. Setelah itu menamatkan SMP dan SMA di Bogor. Pada masa-masa sekolah Angkie merasakan tantangan sebagai anak yang ‘berbeda’ itu tidak mudah. Ledekan atau tindakan bullying dari teman-teman sekolah bukan hal yang asing baginya. Namun, mengingat kembali bullying yang diterimanya dulu, Angkie hanya menerima secara pasrah, dan mengambil sisi positifnya saja. Menurutnya, bullying adalah pelajaran mental. Memang tak dipungkiri, ada rasa sakit hati ketika itu, tetapi dia tidak bisa menyalahkan mereka. Pasalnya, mereka sendiri sebenarnya tidak paham apa yang dirasakan oleh Angkie.

“Saya memang si itik buruk rupa pada saat itu, tapi dalam hati, saya selalu menanamkan ambisi, bahwa suatu saat nanti saya akan buktikan, bahwa mereka yang pernah mem-bully saya akan merasa bersalah,” katanya.

Selepas SMA, seorang dokter memberinya saran untuk tidak melanjutkan kuliah, karena stres akan memperparah pendengarannya. Namun, Angkie menolak saran itu. Ia bahkan segera mendaftarkan diri di Jurusan Periklanan London School of Public Relations, Jakarta. Terbukti ia mampu, dan lulus dengan Indeks Prestasi Kumulatif 3,5. Dengan program akselerasi, Angkie kemudian melanjutkan program master di bidang komunikasi pemasaran.

Angkie bersama para koleganya

Angkie bersama para koleganya

Angkie tidak menyalahkan dokter itu, karena memang benar, semakin capek, kondisi telinganya tidak stabil. Ia juga tidak menyesal dengan keputusannya dan mensyukuri tekad yang dilakukannya. “Siapa sangka seorang tunarungu dapat mengikuti pelajaran komunikasi? Padahal aspek yang diperlukan adalah pendengaran. Jadi, tidak ada yang tidak mungkin. Walaupun saya terbatas, tetapi bukan berarti membatasi segala hal. Buktinya saya masih memiliki mata untuk melihat dan mata adalah pengganti suara yang hilang. Nah, tidak ada masalah yang tidak ada solusinya, ‘kan?” Angkie berargumentasi.

Berbagai prestasi dibuat Angkie. Semasa kuliah ia pernah jadi finalis Abang None mewakili wilayah Jakarta Barat, selanjutnya The Most Fearless Female Cosmopolitan 2008, serta Miss Congeniality dari Natur-E. Angkie mengatakan, keikutsertaan dirinya dalam beragam kegiatan itu sebagai motivasi dirinya, seperti bagaimana dia yang tadinya seorang yang ibaratnya itik buruk rupa bisa berubah menjadi angsa cantik.

“Perempuan manapun pasti berharap bisa tampil sempurna di atas panggung tanpa terlihat keterbatasannya. Saya sangat bahagia bisa menjadi bagian dari beberapa pemilihan itu, dan nilai plusnya adalah saya bisa lebih banyak teman,” katanya.

Selepas kuliah berhubungan cita-citanya adalah menjadi wanita karir. Angkie pun mulai mencari kerja. Dia mencari lowongan perusahan yang memiliki sistem yang bagus untuk dapat dipelajari. CV dikirim secara online, wawancara selalu didatangi. Dan Angkie tidak pernah bohong dengan keadaan diri sendiri yang memiliki keterbatasan dalam mendengar. Dia mengakui memang sulit, karena banyak yang tidak siap. Mungkin, pikir Angkie, pihak perusahaan masih merasa bingung bagaimana yang harus dihadapi jika merekrut karyawan dengan keterbatasan.

Hanya saja bagi Angkie sama seperti yang dikatakan oleh Hellen Keller, ketika satu pintu tertutup, masih ada pintu lainnya yang menunggu terbuka. Angkie yakin masih ada yang mau menerimanya sebagai karyawan dalam keadaan apa pun. Dan, terbukti benar optimisme itu. Angkie tercatat pernah bekerja di beberapa perusahaan, yakni First Media, IBM Indonesia, PT Geo Link Nusantara Oil and Gas Services.

Mendirikan Thisable Enterprise

Di tahun 2009, Angkie bergabung dengan Yayasan Tunarungu Sehjira dan dia menjadi salah satu delegasi Indonesia dalam acara Asia-Pacific Development Center of Disability di Bangkok, Thailand. Setahun kemudian, Angkie membuat perusahaan yang berorientasi sosial sekaligus bisnis dengan nama Thisable Enterprise.

Thisable Enterprise ini dapat dikatakan wadahnya dalam berkarya. “Selangkah lagi menggapai impian saya untuk mandiri dan bisa mempekerjakan siapapun yang membutuhkan dengan sistem inklusi. Maksudnya, menyatukan faktor disabilitas dan non disabilitas untuk sama-sama bekerja dalam passion yang sama. Bentuk dari kegiatan Thisable Enterprise ini adalah social business for society profit, “ kata dia.

Angkie dengan bukunya berjudul Perempuan Tunarungu Menembus Batas

Angkie dengan bukunya berjudul Perempuan Tunarungu Menembus Batas

Empat tahun perjalanan Thisable Enterprise memang tidak mudah. Tahun pertamanya membangun branding dengan strategi marketing communication, yakni menerbitkan sebuah buku berjudul “Perempuan Tunarungu Menembus Batas”. Ini sebagai bentuk suara Angkie kepada masyarakat bahwa kaum disabilitas ada di sekitar kita dan berharap mereka diberi kesempatan yang sama dalam berkarya, baik dalam segi pendidikan dan ketenagakerjaan.

“Buku merupakan suara saya dalam berkarya, walaupun saya tidak bisa mendengar. Tapi saya bisa melihat apa yang terjadi di sekitar, lalu saya menyuarakan dengan bentuk tulisan. Saya berharap semua orang yang membaca akan memahami bahwa hidup kita ini lebih dari sekadar mencari bahagia, tetapi juga berjuang menciptakan kebahagiaan,” kata Angkie.

Tahun kedua, Thisable Enterprise melakukan pendekatan dengan berbagai pihak dengan melakukan program-program yang Angkie dan tim lakukan adalah CSR integrated. Kerja sama dilakukan dengan berbagai perusahaan menyankut isu disabilitas. Micro Enterprise mencetak entrepreneur disabilitas agar lebih mandiri, kemudian mendirikan Learning Center, yaitu bekerja sama dengan institusi pendidikan sebagai program pengabdian masyarakat. Salah satunya yang telah dilakukan adalah menggaet The London School of Public Relations Jakarta dengan membuka kelas komunikasi untuk kaum disabilitas agar mereka memiliki pengetahuan mengenai komunikasi sebagai penciptaan sumber daya manusia yang siap bersaing di era modern. Employement Services yaitu mendukung perusahaan dalam merekrut karyawan disabilitas. Dan Social Marketing Communication membuat event tahunan sendiri yaitu Thisable Festival sebagai salah satu bentuk awareness untuk menciptakan lingkungan yang inklusif.

“Tidak mudah menjalankan Thisable Enterprise ini, tetapi karena passion saya di dunia komunikasi, maka saya enjoy saya menggabungkan social communication sebagai bentuk pesan saya kepada dunia, bahwa disabilitas adalah sumber daya manusia milik negara dengan beragam potensinya. Life is not finding ourselves, but life is about creating ourselves. Jangan hanya diam tanpa suara untuk mencari kesejahteraan, tetapi bergerak maju menciptakannya bersama.” (1009)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/76301

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln

 

 

 

 

kabari store pic 1