Bahasa mencerminkan budaya. Demikian kata pribahasa. Artinya kurang lebih, orang yang berbahasa baik maka budayanya juga baik dan orang yang berbudaya baik, bahasanya juga baik.

Bahasa yang kita pakai sekarang adalah “Bahasa Indonesia”. Asalnya dari bahasa Melayu yang diketahui telah digunakan Kerajaan Sriwijaya sejak abad ke- 7 sebagai bahasa kenegaraan, namun mengalami perkembangan sehingga menjadi seperti sekarang.

Bahasa Indonesia termasuk varian bahasa Melayu, sebuah bahasa Austronesia dari cabang bahasa-bahasa Sunda-Sulawesi, yang digunakan kemungkinan sejak abad-abad awal penanggalan modern.

Hingga akhir abad ke-19 setidaknya ada dua kelompok bahasa Melayu yang dikenal masyarakat Nusantara. Bahasa Melayu Pasar yang tidak baku serta bahasa Melayu Tinggi yang dipakai di lingkungan bangsawan. Bahasa ini dapat dikatakan sebagai lingua franca, istilah linguistik yang artinya adalah “bahasa pengantar” atau “bahasa pergaulan” di suatu tempat di mana terdapat penutur bahasa yang berbeda-beda.

Jadi ketika itu bahasa Melayu masih berstatus bahasa kedua atau ketiga, mendampingi bahasa Belanda atau Inggris sebagai bahasa utama. Bahasa ini digunakan di semenanjung Melayu, mulai dari Indonesia, Malaysia bahkan hingga Filipina.

Pada awal abad 20 bahasa Melayu ini terpecah ke dua kiblat, bahasa Melayu Hindia Belanda berkiblat pada ejaan Van Ophuijsen, dan Ejaan Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson.

Awal abad itu pula bahasa Melayu ejaan Van Ophuijsen mulai mendapat perhatian pemerintahan Hindia Belanda yang membentuk badan penerbit buku-buku bacaan, Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka.

Sejak itu, bahasa Melayu menjadi bahasa penting, karena mulai digunakan untuk pengaturan administrasi pemerintahan Hindia Belanda. Pada tanggal 16 Juni 1927 Jahja Datoek Kajo menggunakan bahasa Indonesia dalam pidatonya dalam sidang Volksraad (Dewan Rakyat). Hal ini merupakan hal yang pertama kalinya.

Saat kongres Pemuda 28 Oktober 1928 di Jakarta, pemuda Muhammad Yamin mengusulkan agar bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan Indonesia. Usul ini diterima dan menjadi satu dari tiga asas Sumpah Pemuda 1928 ; Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa.

Lalu sastrawan muda dari angkatan Pujangga Baru, Sutan Takdir Alisjahbana membuat buku penggunaan bahasa Indonesia pertama tahun 1936. Buku itu berjudul “Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia”.

Pada tanggal 25-28 Juni 1938 dilangsungkan Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Kongres ini diprakarsai oleh dua wartawan muda, Soemanang dan Soedarjo Tjokrosisworo. Mereka prihatin koran-koran di Indonesia belum memakai bahasa Indonesia, melainkan masih memakai bahasa Melayu pasar. Padahal usia bahasa Indonesia sudah 10 tahun.

Keprihatinan mereka kemudian berwujud Kongres Bahasa I yang pembukaannya diresmikan  oleh salah satu ahli bahasa Indonesia, Dr. Poerbatjaraka di Solo.

Ki Hajar Dewantara dalam kongres tersebut sempat mengatakan, “jang dinamakan ‘Bahasa Indonesia’ jaitoe bahasa Melajoe jang soenggoehpoen pokoknja berasal dari ‘Melajoe Riaoe  akan tetapi jang soedah ditambah, dioebah ataoe dikoerangi menoeroet keperloean zaman  dan alam baharoe”.

Bahasa Indonesia diresmikan sebagai bahasa negara melalui Pasal 36 Undang-Undang Dasar 1945, yang ditandatangani pada 18 Agustus 1945. Selanjutnya terbitlah ejaan Republik sebagai pengganti ejaan Van Ophuijsen pada 19 Maret 1947.

Penyempurnaan bahasa Indonesia terus dilakukan. Pada tanggal 28 Oktober 1954  diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia II di Medan. Kongres ini bertekad untuk terus- menerus menyempurnakan bahasa Indonesia.

Setelah bertahun-tahun, tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Soeharto meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD) melalui Keputusan Presiden No. 57 tahun 1972.

Pada tanggal 28 Oktober-2 November 1978 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia III d di Jakarta. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda ke-50 ini bertujuan memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

Lima tahun kemudian, pada tanggal 21-26 November 1983 diselenggarakan Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta. Kongres ini memutuskan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan.

Setelah itu Kongres diadakan setiap lima tahun sekali, yakni Kongres bahasa Indonesia ke III tahun 1978, Kongres Bahasa Indonesia ke IV tahun 1983, Kongres Bahasa Indonesia ke V tahun 1988, Kongres Bahasa Indonesia VI 1993, Kongres Bahasa Indonesia VII 1998 yang semuanya dilakukan di Jakarta.  (yayat)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?35627

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :