Ketika Aceh sudah tuntas, perhatian orang beralih ke provinsi
paling timur Indonesia, Papua. Sejak pembubaran Kongres Rakyat Papua III,
pertengahan Oktober lalu, situasi Papua memanas. Belasan orang tewas
,juga yang melibatkan perusahaan tambang asal Amerika Serikat, PT Freeport McMoran, maupun kegiatan yang menyangkut Majelis Rakyat Papua (MRP).

Orang-orang yang mengatasnamakan MRP dan
pihak yang menginginkan kemerdekaan penuh bagi Papua di berbagai negara
terus menyuarakan kemerdekaan bagi rakyat Papua. Sebenarnya, apa yang
diharapkan rakyat Papua ? Menjadi negara sendiri atau tetap bergabung
dengan Indonesia?

Seperti Timor Leste (dulu bernama Timor Timur) sejarah masuk Papua ke
dalam wilayah Indonesia memiliki cerita panjang. Setelah kemerdekaan
Indonesia diproklamasikan, Papua tidak serta merta diakui dunia
internasional masuk wilayah Indonesia. Papua dibebaskan oleh tentara
Amerika Serikat (AS) dari kekuasaan Jepang dan diserahkan kepada Belanda
untuk diurus. Papua dianggap sah menjadi koloni Belanda setelah Perang
Dunia II.

Namun rakyat Papua melakukan perlawanan terhadap Belanda. Gerakan ini
bukan saja suatu fenomena agama dan adat, tetapi juga merupakan
penolakan budaya dan politik untuk mempertahankan identitas orang Papua.

Pada tahun 1961, Pemerintah Belanda melunak dan mengeluarkan
Peraturan Pemerintah yang menetapkan bendera “Bintang Kejora” sebagai
lambang dan lagu “Hai Tanahku Papua” sebagai nyanyian kebangsaan,
bersamaan dengan berdirinya Dewan Rakyat Papua (Nieuw Guinea Raad)
yang efektif sejak 1960. Rakyat Papua bersiap menjadi satu negara
sendiri. Namun pidato Bung Karno melalui pidato Tri Komanda Rakyat
(Trikora) 19 Desember 1961 di Yogyakarta yang salah satunya ingin
membubarkan “negara boneka Papua buatan Belanda” memporakporandakan
rencana itu.

Setelah Bung Karno berniat melibatkan militer ke Papua, Belanda, atas
desakan AS terpaksa tunduk dan menyerah, karena AS akan sangat sulit
terlibat dalam suatu konfrontasi militer jika terjadi perang baru di
kawasan itu. AS sangat berkepentingan terhadap Papua karena potensi
tambangnya yang luar biasa. Pada 2 Januari 1962 Belanda bersedia
melibatkan Indonesia dalam perundingan tentang masa depan Papua.

Konfrontasi militer yang hampir pecah dan menyulut perang terbuka
Belanda-Indonesia, akhirnya diatasi usul Elsworth Bunker (nama Duta
Besar AS di United Nations). Inti rencana Bunker ialah, Papua dialihkan
dari Pemerintah Belanda ke Indonesia, di bawah pengawasan UN. Masalah
Papua antara Belanda dan Indonesia berakhir pada Persetujuan
Middleburg, 14 Agustus 1962. Perjanjian Middleburg ini mengatur, bahwa
Papua akan segera diserahkan Belanda kepada UN, dan di akhir 1969 akan
dilakukan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) dengan pilihan; menjadi
negara sendiri, masuk wilayah Belanda atau masuk wilayah Indonesia.

Masuk ke wilayah Indonesia, memperoleh suara terbanyak dalam Pepera.
Namun, empat puluh tahun lebih berlalu, keinginan merdeka dan menjadi
negara sendiri ini tidak mati. Sampai sekarang, para penggagas dan
aktivis yang berkeinginan merdeka, masih berjuang, baik di dalam maupun
di luar Papua.

Indonesia segera menyetujui AS untuk menggali potensi alamnya lewat Freeport.
Eksplorasi dan eksploitasi aneka sumber alam itu dianggap tidak banyak
menguntungkan rakyat Papua. Dugaan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh militer Indonesia juga mendorong kehendak untuk merdeka semakin besar.
Sejak masa presiden Soeharto, nama Papua dirubah menjadi Irian Jaya.
Ketika itu, masalah Papua diselesaikan dengan pendekatan keamanan.
Bahkan membuat daerah ini menjadi DOM (Daerah Operasi Militer). Pelangangaran Hak Azazi Manusia (HAM)
oleh militer, banyak terjadi. Namun para pengganti Suharto, mulai dari
B.J. Habibie, Megawati Sukarnoputri, KH Abdurrahman Wahid, hingga Susilo
Bambang Yudhoyono, mencoba memakai pendekatan politis.

Di era Gus Dur (tahun 2000) nama Papua dikembalikan. Bahkan Gus Dur
mengizinkan pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai lambang budaya dan
identitas orang Papua, bukan sebagai bendera nasional. Dan tahun 2001,
otonomi khusus diberikan kepada provinsi ini. Otonomi khusus diyakini
bisa menjadi solusi bagi penyelesaian masalah Papua. Berbagai tokoh juga
dirangkul dalam lembaga, dewan adat yang diharapkan memiliki suara
dalam menjalankan pemerintahan Papua. Tercatat sekitar 300 suku dan 250
bahasa daerah terdapat di Papua.

Kenyataan menunjukkan, banyak masalah muncul di lapangan.
Ketidakpuasan rakyat masih ada. Tahun 2001, salah satu tokoh Dewan
Rakyat Papua, Theys Hiyo Eluay diculik dan dibunuh serta supir
Aristoteles Masoka dihilangkan dan tidak ditemukan mayatnya sampai saat
ini. Yustinus Murip dan delapan temannya dibunuh di Yeleka, Wamena
(2003). Pdt. Elisa Tabuni dibunuh di Puncak Jaya (2004). Kelly Kwalik
dibunuh di Timika (2010).

Artinya, status otonomi khusus pun tidak menjamin keamanan penuh di
wilayah. Pemerintah Indonesia mengatakan, bahwa sebagian mereka itu
adalah dari Organisasi Papua Merdeka (OPM)
yang bersifat separatis. “Kami akui dalam banyak aspek, pelaksanaan
otonomi khusus di Papua belum efektif “, kata Staf Khusus Presiden
Bidang Otonomi Daerah, Velix Wanggai.

Keinginan Berdialog dari Pemerintah

Sorotan internasional terhadap banyaknya pelanggaran HAM
dan adanya aset asing di wilayah ini, membuat pemerintah mengupayakan
dialog dengan masyarakat Papua. Jakarta menunjuk Farid Husain sebagai
pembuka jalan dialog setelah sebelumnya Farid dianggap sukses membidani
dialog perdamaian Aceh.

Hingga akhir November, format dialog belum jelas. “ Kami belum
menemukan tokoh atau kelompok yang layak disebut wakil sejati rakyat
Papua,” kata Farid. Presiden SBY juga
membentuk Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang
diketuai Bambang Dharmono dan diharapkan bisa mempercepat penyelesaian
masalah Papua. Telah banyak pendekatan yang sudah ditempuh Pemerintah,
namun belum terlihat jalan keluar untuk menyelesaikannya.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
yang juga pemerhati persoalan Papua, Muridan Widjojo mengatakan, bahwa
proses menemukan warga Papua yang diakui oleh seluruh kelompok, akan
membutuhkan waktu lama. “Karena memang tidak hanya satu dua orang yang
diajak bicara, tapi ada sejumlah faksi dan tidak hanya di kota tapi juga
di hutan dan di luar negeri seperti Vanuatu, Australia, Papua Nugini,
Amerika, Belanda dan Inggris,” kata Muridan.

Lamanya proses dialog kata Muridan, juga diakibatkan oleh konflik dan
kasus kekerasan di Papua yang terjadi selama 46 tahun. “Apalagi ada
langkah mundur yang dilakukan oleh pemerintah saat proses dialog sedang
terjadi, seperti aparat yang masih melakukan kekerasan, asrama mahasiswa
Papua diintimidasi dan MRP (Majelis Rakyat
Papua) dipecah dua. Ini berpotensi mengganggu proses dialog.” katanya.
Yang patut dicatat adalah, ketika masalah Papua belum tuntas dipecahkan,
sepertinya tidak ada jaminan kekerasan akan berhenti di bumi
Cendrawasih.(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37761

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :