KabariNews – Praktik sensor film layar lebar, dan kepentingan perlindungan anak sering dianggap membatasi proses kreatif para film maker. Tiga hal ini menjadi isu utama dalam Diskusi Publik bertema “Mengurai Sensor Film dan Menggagas Perfilman Indonesia yang Lebih Cerdas”, yang diselenggarakan Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI).

Hadir dalam diskusi ini Rommy Fibri (Komisioner Lembaga Sensor Film/LSF), Maria Advianti ( Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia/ KPAI), Anggi Umbara Film Maker (Sutradara Comic 8), Ody Mulya Hidyat (Produser Film Maxima International) dan Khalid Fathoni (Kepala Bidang Pusat Pengembangan Film Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan).

Rommy Fibri mengatakan LSF saat ini mengedepankan dialog ketimbang main gunting atas karya para sineas nasional. “LSF tak lagi seperti dulu main gunting, sekarang modelnya direview, dicatat adegan tertentu yang tak sesuai klasifikasi usia,” tutur juru bicara LSF ini dalam diskusi yang berlangsung di Piring Jahit, Pasar Festival, Jakarta, Minggu, 3 April 2016.

Ia menekankan LSF lebih mengedepankan klasifikasi film dan penggolongan usia penonton dan mengedepankan dialog daripada sensor.Klasifikasi film dan penggolongan usia penonton nampaknya beririsan dengan hak anak untuk mendapatkan edukasi melalui medium film.

KPAI memandang bahwa seharusnya film dan sensor atas film harus memiliki perspektif perlindungan anak, bukan sebaliknya, memandang anak sebagai pasar semata. “Untuk trail film anak kemasannya harus disesuaikan, karena di ruang publik anak menyerap lebih dari 80 persen konten film dan menganggapnya sebagai dunia nyata,” ungkap Maria Advianti.

Sebaliknya, sebagai seorang film maker, Anggy Umbara yang juga Sutradara Comic ‘8’ memandang sensor yang harus dilakukan pertama kali adalah orang tua terhadap tontonan anaknya. Menurutnya, sudah menjadi hak prerogatif seorang film maker atas karya yang dibuatnya. “Terkadang film selain bermuatan pendidikan jika perlu sebagai kritik sosial, bahkan sebagai medium propaganda,”katanya menerangkan.

Ia meyayangkan industri bioskop Indonesia kurang ketat membatasi usia penonton, sehingga kerap didapati anak-anak menonton film kategori dewasa. Ia mencontohkan di Singapura setiap orang ditanya berapa usianya sebelum masuk ke bioskop.

Senada, Odi Mulya Hidayat Produser Film dari Maxima Pictures menyampaikan bahwa bioskop memegang peran penting dalam industri film. Dalam produksi film yang menjadi nadinya adalah berapa jumlah orang yang menonton film di bioskop. Untuk itu, ia sepakat bahwa sensor terbaik adalah keluarga , bagaimana orang tua saat mendampingi anak-anak menonton di bioskop harus benar mematuhi aturan klasifikasi film dibioskop. “Kami sudah melakukan sensor sendiri. Ternyata banyak penonton yang tidak memperhatikan tanda klasifasifikasi usia film, “ tuturnya

Khalid Fathoni (Kepala Bidang Pusat Pengembangan Film Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan) mengatakan saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sedang menyiapkan peraturan menteri yang mengatur agar bioskop ketat menyeleksi penonton sesuai klasifikasi film.  “Sekitar pertengahan tahun aturan ini akan keluar, sekarang sedang dibahas,” katanya.

Ia mengatakan pentingnya mendorong tumbuhnya industri perfilman. Karena jika tidak dikembangkan oleh masyarakat Indonesia sendiri, para cineas luar negeri siap mengakusisi industri film Indonesia, jika industri film Indonesia lemah.

Pendekatan bukan sanksi untuk meningkatkan industri film, memang harus difasilitasi. Industri film ini harus dibesarkan bersama, mencari titik tengah yang bisa menguntungkan semua pihak. “Industri film Indonesia harus kuat, karena jika kita lemah maka orang asing yang akan mencuri pasar kita. Indonesia adalah pasar besar dalam Industri film, “ujarnya. (1011)