Masalah bea masuk film impor yang timbul awal tahun ini sudah mulai dirasakan penonton bioskop. Sejumlah film favorit produksi Hollywood yang sudah diputar di Amerika Serikat belum juga tayang di Indonesia.

Film Fast and Furious, misalnya. Sebab, film Fast Five yang di Amerika Serikat sejak April hingga kini belum ditayangkan di bioskop-bioskop Indonesia. Film dengan suguhan utama aksi kebut-kebutan karya sutradara Justin Lin tersebut diproduksi Universal Studios, satu di antara enam studio utama anggota Asosiasi Produsen Film Amerika Serikat- Motion Picture Association (MPA).

Hingga kini, MPA mempertanyakan cara penghitungan bea masuk yang dipungut Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Di sisi lain, bea dan cukai juga telah mencabut sementara izin impor tiga perusahaan pengimpor film yang menguasai jalur distribusi fim-film produksi MPA. Tiga importir besar yang menguasai jaringan distribusi MPA berada dalam Grup 21, yakni PT Camila Internusa Film, PT Satrya Perkasa Esthetika Film, dan PT Amero Mitra Film.

Berdasar audit bea dan cukai, tiga importer tersebut harus melunasi kekurangan pembayaran bea masuk pada 2008–2010 sebesar Rp 30 miliar. Karena buntu, tiga importer itu kini mengajukan banding ke pengadilan pajak. ’’Kita tunggu saja proses di pengadilan pajak ya,’’ kata Direktur Teknis Kepabeanan Ditjen Bea dan Cukai Heri Kristiono mengutip Antara.

Masalah film impor itu berawal dari pengaduan Badan Pertimbangan Perfilman Nasional (BP2N) yang dimotori sineas nasional Deddy Mizwar pada awal tahun lalu. Mereka mengeluhkan pajak produksi film nasional yang jauh lebih tinggi daripada pajak film impor.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan lantas menemukan cara penghitungan yang dinilai keliru atas film sebagai barang kepabeanan. Hingga pada awal Januari tahun ini, muncul surat edaran yang meminta aparat bea cukai menghitung bea masuk impor film sesuai dengan UU Kepabeanan yang berlaku.

Karena berbentuk surat edaran, tidak ada tarif baru yang berubah. Namun, perubahan dasar penghitungan bea masuk dan pajak membuat importer harus membayar jauh lebih besar daripada yang selama ini mereka setor.

Dalam surat edaran yang dirilis awal tahun ini, importer film wajib mendasarkan pula nilai pabean kepada royalti yang disetor ke produsen, sesuai dengan UU Kepabeanan 2006. ’’Penghitungan berdasar royalti itu sudah sesuai dengan ketentuan WTO (Organisasi Perdagangan Dunia),’’ kata Heri.

Selain bermain di bisnis impor film, Grup 21 juga dikenal memiliki jaringan bioskop paling dominan melalui PT Nusantara Sejahtera Raya. Grup itu menguasai 130 bioskop di antara total 178 bioskop di tanah air.

Langka sejak Februari

Di Bandung di sejumlah studio 21 seperti BSM 21, Empire 21 BIP, Premier 21 Ciwalk, tak terlihat antrian penonton. “Saat ini sudah terlihat penurunannya meski tidak drastis, sejak Februari, penonton relatif menurun. Setiap studio hanya terisi sekitar 30 hingga 50 penonton saja. Itupun untuk film-film yang lagi ramai seperti film Indonesia Arwah Goyang Karawang dan film beberapa film Hollywood yang masih dalam stok kami, ” kata Chief 21 Cineplex BIP, Mala.

Sementara itu Marketing of Head Blitz Megaplex -Paris Van Java, Dian Sunardi mengatakan, penurunan atas dampak penghentian film impor memang mulai ada. Pihaknya juga bingung promosikan film-film dengan teknologi 3D (3 dimensi) yang banyak diproduksi asal Hollywood.

“Untuk di Blitz megaplex ada studio khusus 3D, sehingga jika film Hollywood benar-benar dihentikan, maka untuk studio khusus 3D tidak bisa difungsikan. Karena film Indonesia belum ada yang menggunakan efek 3D,” kata Dian.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36737

Untuk melihat artikel Jakarta lainnya,
Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :