Kisah Perjuangan Wanita Bangladesh Muslim Tradisional Di London

Film debut arahan sutradara wanita asal Inggris, Sarah Gavron ini
menceritakan perjuangan gadis lugu dari sebuah desa di Bangladesh yang
dipaksa kawin dengan pria tua dan tinggal di Inggris. Brick Lane
diadaptasi dari novel sukses berjudul sama karangan Monica Ali. Nazneen
(Tannishtha Chatterjee) nama wanita itu, dipaksa kawin dengan pria tua
Muslim bernama Chanu (Satish Kaushik) yang digambarkan sebagai pria
berpendidikan, sukses, akan tetapi juga tua, gemuk dan jelek. Film ini
mengambil setting tahun 80-an.

Nazneen masih
berusia 17 tahun saat dipaksa menikah dengan Canu yang tinggal di
London, tepatnya di daerah bernama Brick Lane, dimana banyak penduduk
Muslim dari Pakistan, India, Sri Lanka dan Bangladesh. Nazneen yang
penurut dan pendiam harus meninggalkan keluarga dan kehidupannya menuju
sebuah rumah susun kecil dengan seorang suami yang ia tidak cintai.
Perkawinan yang tidak pernah membuatnya bahagia itu membuahkan dua anak
perempuan yang sangat ia sayangi.

Photobucket

Meski tak bahagia,
Nazneen menjalankan fungsinya sebagai istri sekaligus sebagai ibu yang
baik. Ia bekerja menjadi penjahit pakaian dan celana jeans di rumah.
Beberapa tahun berlalu, semuanya berjalan normal. Hingga suatu saat ia
bertemu dan jatuh cinta kepada seorang pemuda pengantar toko pakaian
bernama Karim (Christopher Simpson) yang tampan dan ramah. Karim
ternyata juga menyukai Nazneen karena sifatnya yang kalem, keibuan, dan
tidak terpengaruh oleh kebudayaan barat. Karim berusaha mencoba
menaklukkan Nazneen. Karena usaha Karim yang keras, Nazneen akhirnya
luluh juga hatinya. Tanpa sepengetahuan suami dan anak-anaknya, Nazneen
dan Karim tiap hari bermesraan dan bercinta. Walaupun sepertinya
Nazneen yang berbuat jahat kepada suaminya, akan tetapi Karim bisa
membuat Nazneen bahagia, tertawa dan merasakan cinta untuk pertama
kalinya. Tidak seperti Chanu yang suka berteriak dan marah-marah, dan
saban hari menyuruh Nazneen untuk melayaninya seperti raja. Mulai dari
menggunting kuku kaki sampai dipaksa bercinta kapan pun ia mau.

Photobucket

Tidak lama kemudian, terjadilah peristiwa kelabu 9/11. Gedung WTC
dan Pentagon luluh lantak dihantam empat pesawat komersial yang dibajak
teroris Muslim. Mendengar berita ini, Nazneen dan Chanu serta seluruh
penduduk Muslim di London panik dan ketakutan akan masa depan mereka di
Inggris. Karim pun demikian, ia khawatir dan merasa terancam pasca
tragedi 9/11, namun ia sanggup menyimpan perasan itu di depan Nazneen.
Bahkan, Karim lambat laun menjadi sosok militan. Ia membentuk kelompok
radikal bersama teman-temannya dan berencana melakukan pemberontakan.
Suatu malam kelompoknya mengadakan diskusi sesama Muslim di daerah
Brick Lane. Saat itu Nazneen dan Chanu juga hadir. Karim berorasi dan
mengajak hadirin untuk berbuat sesuatu yang radikal dan mendorong
supaya berontak kepada pemerintah demi melindungi kaum Muslim di
London. Chanu yang tidak pernah tertarik dengan politik, mendadak
tampil dan menentang argumen Karim karena akan mengakibatkan kehidupan
kaum Muslim lebih terancam. Dengan airmata bercucuran dan sambil
memegang dadanya ia berkata, “My Islam is in here, and that is the only
thing worth defending.”
Saat itulah untuk pertama kalinya Nazneen
terharu dan bangga akan suaminya. Merasa situasi bagi masyarakat Muslim
di London tidak aman, dengan mantap, Chanu bertekad untuk membawa
Nazneen dan anak-anak kembali ke Bangladesh. Tetapi Nazneen menolak
keras niat Chanu, alasannya masa depan anak mereka ada di London bukan
di Bangladesh.
Karim lalu diam-diam mendatangi Nazneen dan
mengajaknya menikah. Meski Nazneen mencintai Karim, namun Nazneen
menolak karena Karim sekarang sudah jauh berubah dan tidak baik menjadi
ayah dari anak-anaknya. Singkat cerita setelah melalui diskusi panjang,
akhirnya Chanu setuju membiarkan Nazneen dan anak-anak tetap tinggal di
London. Setelah kepergian Chanu, Nazneen memilih hidup sendiri dengan
anak-anaknya. Dan kepahitan hidup menjadikan Nazneen sosok yang lebih
kuat, tabah, mandiri dan tidak takut untuk mengontrol hidupnya.

Photobucket

Film
ini berkonteks faktual, seperti mengenai isu imigrasi dan perjuangan
merekatkan budaya dan tradisi yang tiada henti-hentinya. Film ini juga
mengungkap kekuatan cinta. Sarah Gavron, sang sutradara, wanita lembut
yang sebelumnya lebih sering membuat film dokumentasi ini, sempat
berujar kepada Kabari, “Ketika saya ditawari oleh produser Alison Owen
untuk menyutradarai film ini, terus terang saya kaget dan tidak siap.
Namun karena saya sudah baca novelnya dan suka sekali, akhirnya saya
tertarik dan menurut saya tawaran ini suatu hal yang tidak mungkin
ditolak.”
Sarah yang tahun ini dinobatkan Sundance International Film Festival
sebagai salah satu dari sepuluh sutradara yang menjanjikan,
menambahkan, “Meskipun banyak tantangan, seperti harus merangkum cerita
yang seharusnya berdurasi 20 dekade menjadi 101 menit saja di layar
lebar, namun saya puas sekali dengan hasilnya. Termasuk kepada semua
pemainnya. Saya beruntung sekali dapat bekerja sama dengan Tannishtha
Chattaerjee dan Satish Kaushik, mereka adalah pemain-pemain hebat.
Lebih bangganya lagi, ini merupakan film pertama saya dimana kru
produksi utama termasuk produser dan penulis skenario semuanya wanita.”
(inna)

Durasi: 101 menit, Rated: PG-13 Bahasa: English, Bengali Select Theaters

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31679

Klik Disini untuk membaca Artikel ini di Majalah Kabari Agustus 2008 ( Kabari E-Magazine )

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

MedicIns

Lebih dari 10 Program Asuransi Kesehatan

Klik www.TryApril.com         Email : Info@ThinkApril.com

Telp. 1-800 281 6175