KabariNews – Ketika cinta sudah bertaut, apapun dapat dilakukan untuk selalu bersama. Meski harus pergi jauh dan melewati proses yang berliku. Pengorbanan dan kesabaran harus dihadapi. Tapi jika pasangan saling mendukung dengan dasar cinta yang kuat maka yang dihasilkan adalah cerita cinta yang lebih berwarna dan lebih indah.

Jehan Medina Glaze, Austin, Texas

jehan1Cerita cinta Jehan, ibu seorang gadis cilik bernama Hagia ini cukup seru. Berkenalan, berlanjut berteman dan berkabar lewat email di tahun 2002 dengan pria asal Texas tanpa terbersit sedikitpun pikiran bahwa tujuh tahun kemudian cowok itu menjadi pendamping hidup sekaligus ayah dari anaknya. “Di sini saya baru benar-benar percaya, segala sesuatu itu kalau memang sudah waktunya dan memang jalannya, semua akan berjalan lancar dan mudah.”

Di tahun 2002, sekitar bulan Juli sampai September, Jehan yang tinggal di Jakarta diajak teman-temannya ke Bali untuk menonton mereka berkompetisi skateboard di Canggu. Sekaligus liburan. Di tengah acara, tanpa sengaja Jehan melihat salah satu kontestan, cowok gondrong sebahu, penuh keringat, berusaha keras makan nasi di kardus dengan tangan. Tentunya jadi perhatian karena cowok ini bukan orang Indonesia yang terbiasa makan dengan tangan. “Karena ketahuan ngelihatin, biar saya nggak malu, saya sapa ‘Hi’. Eh dia nyodorin tangannya yang berminyak sambil jawab, ‘Hi, I’m John.’ Saya pun balas ngasih nama dan nyodorin tisu basah,” cerita Jehan tentang pertemuan pertama dengan John. “Perkenalannya sederhana tapi selalu bikin kami ketawa kalau ingat lagi.”

Sejak itu mereka berteman dan berbalas email. Meski Jehan mengaku selalu menunggu-nunggu e-mail dari John karena isinya pasti seru dan sangat deskriptif kalau bercerita, tapi selama bertahun-tahun berteman belum ada rasa naksir sama sekali. John sering bercerita tentang tempat tinggalnya di Austin, tentang makanannya dan tentang teman-temannya. Itulah yang membuat Jehan merasa tak asing ketika pindah ke Austin. Pertemuan kembali terjadi beberapa kali jika John ke Jakarta. Saat di Indonesia, John lebih senang tinggal di Bali. “Dia nggak kuat kalau harus menghadapi macetnya Jakarta.”

Sampai suatu hari tahun 2008 saat mereka bertemu di Jakarta, itulah menjadi awal kencan pertama yang membersitkan rasa lebih dari sekedar teman biasa. Ada sesuatu yang berbeda saat itu. Mereka menghabiskan waktu berdua, menonton film dan berlanjut makan malam. “Dan setelah itu semua seperti berjalan cepat. Kami benar-benar jadi tak terpisahkan dan yakin untuk melanjutkan hubungan ke jenjang pernikahan di tahun 2009. Setahun kemudian kami sudah menjadi orangtua dari Hagia Sophia Faith Glaze.”

jehan4Banyak kejutan yang terjadi dalam hidup pasangan ini. Dari mulai kejutan saat awal bertemu sampai kejutan saat memulai berumah tangga. Kejutan yang sungguh menyenangkan sampai kejutan yang mereka harus hadapi dengan penuh kesabaran. Rencana setelah menikah mereka ingin tinggal di Bali. Tapi ternyata mengurus izin tinggal, surat-surat, terasa rumit dan untuk WNA tidak dapat izin bekerja di sana. Selain itu lingkungan tempat tinggal tidak terlalu nyaman untuk membesarkan anak. Terlalu ramai dan tak ada taman bermain. Sehingga mereka memutuskan untuk pindah ke Austin.

Awal pindah ke Austin tidaklah berjalan mulus. John harus memulai dari nol sedangkan Jehan juga harus mengurus izin tinggal dan ditambah lagi tak berapa lama kemudian John menderita sakit infeksi usus buntu yang mengharuskan menginap di rumah sakit selama sebulan penuh. “Saat itu perasaan saya campur aduk, sedih dan cemas kalau terjadi sesuatu, karena saya nggak ngerti harus gimana di negara orang pula. Terasa banget peran orang tua dan saudara-saudara saya maupun John yang tanpa henti mencurahkan perhatian dan energi mereka untuk membantu kami sampai John sehat kembali,” cerita Jehan sambil mengucap syukur.

John yang saat ini bekerja sebagai quality control manager di perusahaan minuman besar di Austin dan Jehan yang bekerja sebagai graphic designer di perusahaan furnitur salon bersyukur dapat membangun tim yang kuat bersama Hagia menghadapi hidup bersama. Saling bahu-membahu. Sehingga perjalanan hidup mereka terasa tidak berat sama sekali. Bagi John, tidak ada pekerjaan berlabel kerjaan perempuan atau laki-laki. Seperti memasak termasuk mengurus anak sejak bayi dilakukan bersama. “John pula yang mencetuskan perlunya sanity break yaitu salah satu dari kami berhak mendapat waktu untuk jalan sendiri beristirahat sejenak dari tugas sebagai orang tua dengan berkumpul bersama teman, nonton, atau olahraga.”

Enny T.L. Ellison, Central City, Nebraska

Enny TL EllisonHidup di negara orang, jauh dari keluarga serta kerinduan akan makanan khas Indonesia dapat melahirkan sesuatu yang kreatif dan positif dan hasilnya membanggakan. Seperti cerita Enny ini yang hidupnya berubah dari kota Semarang yang ramai pindah ke kota kecil di Amerika yang sesama orang Indonesia pun tak ada. Untuk mengusir kebosanan dan kerinduan akan masakan kampung halaman menjadikan Enny bukan hanya pandai memasak tapi juga menjadi pengisi acara demo memasak di sebuah televisi lokal dan diundang sebagai pembicara di acara workshop untuk memperkenalkan masakan dan budaya Indonesia.

Dulu berawal dari keinginan untuk mengembangkan kemampuan bahasa Inggrisnya, Enny rajin nongkrong di warnet (warung internet) sekitar tempat tinggalnya di Semarang. Dari beberapa kali online di satu chat room, Enny berkenalan dengan seorang pria berkebangsaan Amerika bernama Jeremiah. Pertemuan itu sungguh suatu kebetulan karena pekerjaan Jeremiah sebagai programmer lebih menyenangi kerja malam maka mereka berdua malah dapat sering ngobrol. Perbedaan waktu selama 12 jam dan pekerjaan Jeremiah menjadi satu keberuntungan. Saat Enny di warnet siang hari, justru waktu yang tepat bertemu dengan Jeremiah yang saat itu malam hari di Amerika. Dari rajin mengobrol, akhirnya mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih dekat. Setelah satu tahun berteman dan dua setengah tahun pacaran jarak jauh, Jeremiah berkeinginan untuk bertemu secara langsung, berkenalan dan mengenal lebih dekat keluarga Enny. Maka selama enam bulan Jeremiah tinggal di Indonesia.

Setelah enam bulan di Indonesia, Jeremiah mendapat pekerjaan baru dan harus kembali ke Amerika. Keduanya merasa berat karena entah kapan lagi bisa bertemu. Tetapi kalau memang sudah jodoh tak akan kemana. Dua bulan setelah Jeremiah kembali ke Amerika, dia mengajukan surat permohonan ke pemerintah Amerika untuk mengundang Enny sekaligus akan segera menikah. Akhirnya setelah menunggu tiga bulan, surat persetujuan diterima dan di dalamnya menyatakan bahwa satu minggu dari keluarnya surat itu, staf dari kedutaan Amerika di Jakarta akan menghubungi Enny untuk mengurus dokumen-dokumen yang diperlukan. Tak perlu waktu lama, semua dokumen dan tiket pesawat sudah di tangan, “Dengan berat hati bercampur girang karena akan berkumpul dengan kekasih hati, saya meninggalkan keluarga, teman dan tanah air tanpa tahu kapan saya akan kembali berkunjung.”

Sejak itu, tahun 2005, Enny tinggal di kota kecil Grand Island yang jauh bedanya dengan Semarang. Tak ada makanan kampung halaman, tak ada teman sesama orang Indonesia. Kerinduan akan makanan Indonesia begitu menyiksa terutama waktu Enny sedang mengandung. “Saya benar-benar ngidam makan tempe goreng dan sambal terasi, saya telpon Ibu saya dan beliau dengan tegasnya berkata bahwa ini adalah keputusan saya sendiri
yang sudah saya ambil untuk pergi jauh meninggalkan tanah air untuk mengikuti suami, makanya mau tidak mau harus belajar masak sendiri.” Pernyataan tersebut dirasakan Enny bagaikan tamparan yang membangunkannya. Dari situlah Enny tersadar bahwa ibunya tinggal sangat jauh dan itu artinya dia harus mandiri. Sejak itu, Enny belajar memasak dari menu-menu yang sederhana sampai menu yang lebih menantang.

Enny TL Ellison-2Begitu banyak suka duka tinggal jauh dari keluarga dan sanak saudara. Culture shock memang ada tapi bukan halangan untuk Enny terus belajar dan menyesuaikan diri. Termasuk memasak. Di Amerika, semua pekerjaan rumah, mengurus anak, mencuci pakaian, mengurus kebun dan ternak, semua dikerjakan sendiri. “Anak-anak saya homeschool sejak mereka masih bayi.” Setelah empat tahun tinggal di Grand Island, Enny dan suami memutuskan untuk membeli rumah dan tanah yang berlokasi tidak jauh dari Grand Island. Karena letaknya di daerah perkebunan, maka untuk menghilangkan rasa sepi dan bosan, Enny makin mendalami masakan-masakan Indonesia, beberapa masakan Amerika dan Meksiko selain belajar menghias kue tart untuk anakanaknya tiap kali berulang tahun.

“Sampai suatu saat salah satu pembawa acara di TV lokal tempat saya tinggal menawari untuk demo masak di acaranya. Dan ternyata produser dari acara lainnya dengan penuh antusias meminta booking manager untuk memberi jadwal pada saya mengisi salah satu segmen di acaranya juga,” ujar Enny yang mengaku merasa senang sekaligus grogi. “Jadi beberapa bulan sekali jika mereka ingin selingan di acaranya, dia akan meminta saya mengisi demo masak untuk memperkenalkan masakan Indonesia di acara tersebut.”

Selain memperkenalkan masakan Indonesia di televisi lokal itu, Enny juga diundang untuk mengisi workshop kuliner. Beberapa bulan lalu perpustakaan di kota Grand Island, mengundangnya untuk menjadi pembicara dan memperkenalkan Indonesia kepada para peserta workshop yang tertarik untuk mengenal Indonesia. “Saya pun dengan senang hati menerima tawaran tersebut dan saya memperkenalkan kebudayaan Indonesia melalui berbagai baju-baju daerah koleksi saya dan makanan Indonesia seperti Nasi Kuning kepada para peserta yang ternyata hampir semua dari mereka belum pernah mendengar tentang Indonesia apalagi makan makanan Indonesia.” Karena mereka begitu terpesona dengan ragam budaya dan makanan Indonesia, mereka memberikan Enny ‘PR’ untuk menulis buku masakan Indonesia yang begitu kaya dengan cita rasa dan keunikan rasanya.

Diya Ariyanti, Tyler, Texas

diya-ariyanti2Diya, ibu dari dua anak yang telah tinggal di Amerika selama sebelas tahun ini menceritakan perkenalannya dengan pria Amerika awal tahun 2004 di sebuah Mal di Surabaya tidaklah terlalu membekas di hati. “Hanya berkenalan sebentar, apalagi saat itu saya masih punya pacar orang Surabaya dan tak ada keinginan sedikitpun menikah dengan
bule,” ceritanya yang saat berkenalan masih kuliah semester terakhir di UNAIR. Tapi perkenalan mereka kemudian berlanjut lewat email, surat dan telepon setelah Diya putus dengan sang pacar.

Beberapa bulan kemudian, tepatnya September 2004, pria bernama Douglas ini datang lagi dan mengesahkan hubungan lebih lanjut sebagai pacar dan meminta izin keluarga bahwa nanti selesai Diya lulus kuliah akan menikah. Bulan April tahun 2005, Diya menyelesaikan kuliahnya dan seperti kesepakatan mereka, Douglas datang di bulan Juni lalu mereka menikah pada bulan yang sama. Karena akan memboyong istrinya ke negara tempat tinggal Douglas, Diya langsung mengurus visa. Tanpa disangka selesai di bulan Juli dan setelah itu langsung boyongan ke Amerika. “Alhamdulilah urusan visa diberi kemudahan. Mungkin karena jodoh jadi semua urusan surat-surat mudah dan lancar tanpa harus memakai pengacara.”

diya-ariyantiBagi Diya, hidup di Amerika penuh suka dan duka. “Sukanya tinggal di Amerika mungkin semua gampang tempatnya bersih, dan banyak sekali obyek wisata. Dukanya pasti rindu dengan keluarga di Indonesia, rindu makanannya dan kemudahan punya pembantu,” katanya tersenyum. Tapi pasangan ini memiliki rencana beberapa tahun lagi kembali ke Indonesia dan menjalani masa pensiun di sana. Saat ini Diya bekerja di sebuah rumah sakit sebagai fotografer bayi yang baru lahir. Usaha lainnya masih berhubungan dengan keahliannya memotret yaitu sebagai fotografer pernikahan, anakanak, keluarga, sekolah, binatang dan obyek lainnya. Sedangkan suami memiliki dua tractor trailer yang dikendarai sendiri dan satunya dikendarai pegawainya.

Pada tahun 2007, pasangan Diya dan Douglas dikarunia seorang putra, Derrick Saira Ibrahim yang sekarang sudah berumur sembilan tahun dan kelas lima SD. Lalu menyusul anak kedua, Violet Star Ibrahim, umur lima tahun yang baru akan memasuki taman kanakkanak.Berhubung memiliki rencana nantinya tinggal di Indonesia, apakah suami dan anak-anak belajar bahasa Indonesia? “Suami sih semangat belajar tapi anak-anak kurang semangat,” jawabnya. (1004)