“Jadi orang Tionghoa di
negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti
nama, masih juga ditanyakan ‘nama asli’nya kalau mendaftarkan anak ke
sekolah atau jika membuat paspor.”

Demikian tulis Gus Dur untuk Majalah Editor pada 21 April 1990 dalam
sebuah kolom. Kala itu Gus Dur masih menjadi Ketua Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU).

Tulisan itu menunjukan, betapa jauh sebelum menjadi presiden, Gus
Dur memberi perhatian bagi kaum minoritas Tionghoa di Indonesia. Perlu
dicatat pula, Gus Dur seringkali menerima tamu-tamu dari lintas agama
dan etnis di kantornya untuk sekedar menjalin silaturahmi. Sebuah
prilaku yang jarang dilakukan pimpinan NU di masa sebelumnya.

Gus Dur lahir di Jombang, Jawa Timur, 7 September 1940, dengan nama
Abdurrahman Addakhil. “Addakhil” berarti “Sang Penakluk”. Belakangan
nama “Addakhil” diganti dengan nama keluarga “Wahid”. Dalam tradisi
pesantren Jawa, karena Abdurrahman Wahid ini adalah anak seorang Kyai
pimpinan pesantren, dia dipanggil dengan panggilan “Gus” yang artinya
“abang” atau “mas”. Maka nama dipanggilah namanya menjadi “Gus Dur”.

Gus Dur adalah putra pertama dari enam bersaudara. Kakek dari
ayahnya adalah K.H. Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama (NU),
sementara kakek dari pihak ibu, K.H. Bisri Syansuri, adalah pengajar
pesantren pertama yang mengajarkan kelas pada perempuan.

Ayah Gus Dur, K.H. Wahid Hasyim, terlibat dalam gerakan kemerdekaan
dan menjadi Menteri Agama tahun 1949. Ibunya, Ny. Hj. Sholehah, adalah
putri pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang. Kakek dan ayahnya
ditetapkan sebagai pahlawan nasional dan namanya dipakai sebagai nama
jalan.

Keturunan Tionghoa

Gus Dur secara terbuka pernah menyatakan dirinya memiliki darah
Tionghoa. Dia keturunan dari Tan Kim Han yang menikah dengan Tan A Lok,
saudara kandung Raden Patah (Tan Eng Hwa), pendiri Kesultanan Demak.
Tan A Lok dan Tan Eng Hwa ini merupakan anak dari Putri Campa, putri
Tiongkok yang merupakan selir Raden Brawijaya V. Tan Kim Han sendiri
kemudian berdasarkan penelitian seorang peneliti Perancis,
Louis-Charles Damais diidentifikasikan sebagai Syekh Abdul Qodir
Al-Shini yang diketemukan makamnya di Trowulan.

Menurut Benny G Setiono, pendiri perhimpunan INTI
(Indonesia Tionghoa), sejak muda Gus Dur memang menaruh perhatian
kepada kaum minoritas. Bagi Gus Dur, semua golongan, etnis, suku di
Indonesia memiliki harkat dan martabat yang sama.

Tidak seperti kebanyakan orang yang hanya bermetafora, sikap itu
kemudian betul-betul dilakoni Gus Dur ketika menjadi Presiden RI
ke-empat menggantikan BJ Habibie.

Hanya beberapa bulan setelah menjabat, Gus Dur mengumumkan hari
Imlek sebagai hari libur nasional. Gus Dur juga mencabut semua
peraturan pemerintah yang pernah dibuat pemerintahan Soeharto tentang
larangan mengadakan perayaan kebudayaan Tionghoa atau huruf Tionghoa.
Dia pula yang mengupayakan penghapusan SKBRI dan pengakuan agama Kong Hu Cu.

“Gus Dur punya prinsip teguh, bahwa dalam bernegara semua warga
negara memiliki hak yang sama, tak peduli minoritas atau mayoritas,”
kata Benny menekankan.

Sebagai orang yang cukup kenal dekat dengan Gus Dur, Benny
mengungkapkan pemikiran-pemikiran Gus Dur dalam bingkai kebangsaan.
“Dia berhasil membuktikan bahwa dirinya bukan cuma mementingkan agama
atau etnis tertentu, tapi mementingkan semuanya demi kelangsungan
bangsa,“ kata Benny lagi.

Benny yang juga penulis buku laris “Tionghoa dalam Pusaran Politik”
mengingat Gus Dur sebagai sosok yang sederhana. Suatu ketika saat
dirinya tengah bertandang ke kantor NU, Benny melihat bagaimana seorang
ketua NU tidur di lantai hanya beralaskan karpet.

“Saya cuma geleng-geleng kepala melihatnya demikian, orang ini benar-benar sederhana sekali,’ kata Benny.

Bukan Cuma Etnis Tionghoa
Pengalaman mengharu biru bersama Gus Dur juga dialami Ahok, mantan
Bupati Kabupaten Belitung Timur. Ahok adalah Bupati pertama di
Indonesia dari kalangan etnis Tionghoa dan kini menjadi anggota DPR Komisi II.

“Gus Dur adalah guru bangsa, beliau bukan cuma panutan saya, tetapi
juga orangtua sekaligus sahabat saya,” ujar Ahok yang bernama lengkap
Basuki Tjahaja Purnama ini.

Dengan suara bergetar, kepada Kabari Ahok mengungkapkan Gus Dur
adalah sosok yang mencintai kaum minoritas, “Bukan cuma etnis Tionghoa
saja, semua etnis yang tertindas, Gus Dur pasti membela, dia mencintai
kaum minoritas yang tertindas,” kata Ahok.

Ahok ingat saat dirinya maju menjadi calon Gubernur Bangka Belitung
tahun 2007, Gus Dur rela terbang dari Jakarta dengan pesawat sipil
kelas murah untuk mendukung dirinya. “Dia sudah seperti menjadi juru
kampanye saya, tanpa saya perlu membayar. Dia bilang, Ahok, maju terus
jangan takut, di negeri ini jangankan jadi gubernur jadi presiden pun
bisa, asal kamu mampu, kata dia waktu itu kepada saya,” ungkap Ahok
kepada Kabari.

“Bahkan karena mendukung orang ‘Cina’ seperti saya, Gus Dur
sampai-sampai dibilang Kyai palsu, tapi Gus Dur bilang, biar saja,
mereka yang ngomong begitu, enggak ngerti agama,” kata Ahok lagi.
Ahok sempat bertanya dalam hati, kenapa Gus Dur mau membela orang
‘Cina’ seperti dirinya? Tapi segera dia mendapatkan jawaban, “Yang dia
bela sebetulnya bukan soal Cina atau bukan Cina, tapi soal bagaimana
menyadarkan masyarakat bahwa semua orang, dari etnis manapun, berhak
memiliki kesempatan yang sama dalam konstitusi, jadi mau keturunan
Cina, keturunan Dayak, keturunan Sunda, asal dia warga negara
Indonesia, semuanya memiliki hak yang sama,” ujar Ahok.

Apa yang dianggap Ahok, benar adanya. Gus Dur memang selalu berada bersama orang-orang yang hak-haknya dicederai.

Dari kalangan artis yang dibela Gus Dur, ada nama Dorce Gamalama
yang dicerca karena melakukan transeksual. Lalu Gus Dur juga berada di
belakang Inul Daratista saat Inul dikritik H. Rhoma Irama. Saat itu Gus
Dur bilang, “Yang bisa menilai goyangan Inul itu melanggar hukum atau
tidak adalah Mahkamah Konstitusi, bukan Rhoma Irama,” ujar Gus Dur
enteng.

Lalu Gus Dur juga pernah menjadi saksi dalam perkawinan sepasang
pengantin yang beragama Kong Hu Cu, padahal saat itu Kong Hu Cu belum
menjadi agama yang diakui.

Gus Dur juga berada di belakang Ahmadiyah saat mereka mengalami
tekanan. Saat itu Gus Dur mengatakan, “Saya bukan dalam posisi
menyatakan Ahmadiyah salah atau bukan, tapi semua orang di negeri ini
dilindungi oleh hukum, jadi tak bisa dan tak boleh sembarangan main
hakim sendiri,” kata Gus Dur.

Kini orang yang menjadi pemimpin sekaligus perekat semua elemen
bangsa itu telah tiada. Seluruh masyarakat Indonesia merasa kehilangan.

Selamat jalan Gus….
(yayat)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?34322

Untuk melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :