KabariNews – Dalam kunjungannya ke Eropa tanggal 18-24 April lalu, salah satu agenda Presiden Jokowi adalah membahas percepatan perundingan kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau Comprehensive Economic Partnership Agreement (IEU-CEPA). Saat ini dokumen ruang lingkup kerja sama (scoping papers) sebagai acuan untuk masuk ke tahap perundingan IEU CEPA telah dirampungkan.

Pemerintah berkeyakinan bahwa percepatan perundingan IEU-CEPA ini sangat penting untuk menjawab permasalahan semakin menurunnya tren perdagangan Indonesia-Uni Eropa dalam lima tahun terakhir. Melalui kerjasama IEU CEPA, Pemerintah berharap daya saing produk-produk Indonesia di pasar Uni Eropa dapat ditingkatkan, demikian pula peran Indonesia dalam rantai nilai global (global value chain).

Hanya saja, harus dipahami bahwa Indonesia-UE CEPA adalah kerjasama yang nantinya berbentuk kerjasama bilateral yang bersifat resiprokal. Ketidaksiapan Indonesia akan berpotensi merugikan.  Di tengah lesunya perekonomian dan ketidakpastian politik di Eropa saat ini, Mohammad Faisal, Ph.D Direktur Riset CORE Indonesia berpendapat ada beberapa poin yang perlu diperhatikan dalam perundingan IEU CEPA

Pertama, perekonomian Uni Eropa diperkirakan masih akan tumbuh lamban (<2%), maka kecil kemungkinan, pasca kunjungan ini, akan terjadi peningkatan ekspor yang sangat pesat dalam jangka pendek. Kalaupun ada peningkatan ekspor, lebih banyak pada ekspor komoditas/bahan mentah.

Kedua, perhatian penting harusnya berada pada sisi daya saing produk-produk Indonesia. Hingga saat ini, daya saing produk ekspor Indonesia dibanding produk yang sama dari negara pesaing di pasar Eropa, sudah lebih rendah tanpa memperhitungkan hambatan tarif dan/atau non-tarif. Sehingga pangsa ekspor Indonesia di pasar Eropa lebih kecil dibanding pesaing, meski tarif rate dan perlakuan yang sama.

Ketiga, tanpa IEU CEPA pun, sebagian tarif impor yang dikenakan UE pada beberapa produk Indonesia saat ini sudah rendah. Sebagai contoh, produk kayu/furniture dan karet yang hanya dikenakan tarif sebesar 0-1,7%. Namun sayangnya, Uni Eropa lebih protektif terhadap produk manufaktur dan produk lain yang bernilai tambah tinggi, sehingga peluang akses yang lebih besar hanya diberikan pada bahan mentah yang bernilai tambah rendah. Sebagai gambaran, pada tahun 2015, rata-rata weighted tariff1 yang dikenakan untuk impor bahan mentah/baku hanya sebesar 0,23%, sementara weighted tariff yang dikenakan untuk impor barang antara (intermediate goods), barang konsumsi, dan barang modal masing-masing sebesar 3,16%. 8,14%, dan 2,95%.

Keempat, Uni Eropa pada dasarnya masih cenderung protektif dari sisi non-tarif. Tercatat di WTO, beberapa hambatan non-tarif Uni Eropa terhadap produk Indonesia, seperti = tindakan anti-dumping untuk produk biodisel, sepeda, glass fibress, fatty alcohol dan produk yang mengandung monosodium glumate. Begitu juga degan hambatan non-tarif berbentuk ketentuan teknis (technical barrier to trade), yang menghambat penetrasi produk ekspor Indonesia, seperti ketentuan pelebelan pada produk makanan dan tembakau.  (1009)