Demo menggaung hingga ke banyak negara bagianKabari News E Pluribus Unum, Unity in Diversity, berbeda-beda tetapi tetap satu. Itulah Amerika Serikat, negara demokrasi yang multietnis, multiagama, dan menghargai keberagaman dan toleransi antarsesama. Tampaknya kini, nilai tersebut tengah diuji!

Ratusan ribu orang di penjuru Amerika Serikat menantikan dengan tegang berita dari Missouri pada Senin, 24 November 2014. Sebagian besar berkumpul di luar markas besar kepolisian Ferguson, ada juga yang memberi dukungan dari Union Square, New York. Akhirnya, keputusan itu diumumkan: Darren Wilson, anggota kepolisian berkulit putih bebas dari hukuman setelah menembak mati seorang remaja kulit hitam, Michael Brown (18) di pinggiran Kota St. Louis Agustus lalu. Kemarahan, kesedihan dan kekecewaan meledak seketika. Banyak pihak mempertanyakan keadilan dalam sistem hukum Amerika Serikat. Mungkinkah rasisme memasih kental di tengah masyarakat Amerika Serikat?

Nampaknya, bagi komunitas kulit hitam, situasi nasional di Amerika Serikat saat ini jauh dari cita-cita Gerakan Hak-Hak Sipil (1955-1968) yang dulu diperjuangkan nenek moyang mereka. Maraknya kekerasan yang dijatuhkan kepada warga kulit hitam membangunkan kesadaran untuk menuntut lebih keras, mengikutsertakan lebih banyak suara dan melalui gerakan yang lebih berani.

AMARAH MASYARAKAT TERSULUT

“I can’t breathe!” (Saya tidak bias bernafas!) adalah salah satu protes yang diteriakkan para demonstran dalam mobilisasinya. Kalimat itu ucapan terakhir Eric Garner (43), warga kulit hitam dari Staten Island, New York sebelum meninggal dunia setelah diringkus anggota kepolisian (NYPD) dengan gerakan chokehold (mencekik). Insiden yang sebetulnya terjadi sebelum kematian Brown.

Keputusan untuk kasus ini dikeluarkan hanya 8 hari setelah kasus Ferguson, Missouri. Juri pengadilan memutuskan Daniel Pantaleo, polisi terkait, juga tidak bersalah. Menurut pihak kepolisian, obesitas, asma dan penyakit jantung yang berkontribusi terhadap kematian Garner.

Miris, suara hati anak-anak yang ngeri akan sikap diskriminatifKeputusan ini sangat mengecewakan bagi keluarga Garner. Dalam wawancara dengan stasiun berita CNN, ibu korban, Gwen Carr, menolak segala bentuk permintaan maaf dari polisi terkait. Menurutnya, permintaan maaf tidak akan mengembalikan anaknya dan Pantaleo seharusnya mendengar permohonan Garner untuk melepaskan cekikan dan membiarkannya bernafas.

Tidak hanya keluarga korban yang kecewa, tetapi juga menyulut kemarahan masyarakat, terutama komunitas kulit hitam. Artinya, dua polisi kulit putih bebas dari hukuman setelah membunuh warga kulit hitam.

Ribuan orang protes di beberapa bagian kota New York dan demonstrasi serupa terjadi di 170 kota di Amerika Serikat. Para demonstran melakukan aksi simbolis die-in di mana mereka berbaring di tempat umum sebagai simbol kematian dan ketidakberdayaan. Ratusan ribu lainnya berunjuk rasa di jalan, menutup akses jalan tol, melakukan penjarahan dan mobilisasi melalui media sosial.

Memang banyaknya pengunjuk rasa dan ketidakpuasan terhadap sistem hukum tidak menghapuskan fakta, bahwa Brown dan Garner juga melakukan tindakan kriminal. Jika Brown merampok toko mencuri cerutu ketika insiden terjadi, Garner adalah penjual rokok ilegal. Tindakan yang diambil pihak kepolisian dipermasalahkan banyak pihak, karena kedua korban tidak bersenjata.

Tak hanya sampai di situ, satu lagi pemuda kulit hitam, Akai Gurley (28), tertembak mati oleh seorang anggota NYPD di tangga apartemen kekasihnya. Polisi Peter Liang yang sedang berpatroli menembaknya tepat di dada. Gurley juga tidak bersenjata, dan sejauh ini belum ada laporan yang menyatakan adanya perlawanan.

Dua hari sesudahnya, seorang remaja berumur 12 tahun, Tamir Rice, juga ditembak mati di Cleveland, Ohio. Menurut laporan kepolisian, Rice terlihat membawa senjata api di tempat umum. Namun, senjata yang dibawanya itu ternyata _ airsoft gun_. Lalu apa masalah sesungguhnya?

KURANGNYA AKUNTABILITAS DALAM SISTEM HUKUM

Darrick Hamilton, dosen kebijakan publik di universitas The New School, New York mengatakan, bahwa pembunuhan yang terjadi terhadap warga kulit hitam oleh anggota kepolisian bisa terulang akibat kurangnya akuntabilitas dalam sistem hukum.

Menurut Hamilton, perhatian sesungguhnya harus diberikan kepada sistem secara keseluruhan. Bukan hanya spesifik pada kasus yang baru saja terjadi, karena sistemlah yang membiarkan kejadian serupa terus berulang.

“Tanpa adanya hukuman yang dijatuhkan kepada anggota kepolisian, maka tidak akan ada perubahan,” ujarnya. “Hukuman kurungan juga bisa berlaku untuk para polisi yang bersalah. Jika mereka mulai mendapat hukuman kurungan, maka anggota kepolisian akan berpikir dua kali untuk membunuh warga kulit hitam tanpa alasan yang cukup kuat.”

Semangat E Pluribus Unum di Amerika sedang diujiKeinginan yang sama juga dilontarkan oleh banyak pihak, termasuk mereka yang bukan warga kulit hitam. Jeffery Berryhill, mahasiswa kulit putih dan aktivis sosial, ikut serta dalam setiap demonstrasi di New York belakangan ini. Menurutnya, kehidupan masyarakat tanpa rasisme akan menguntungkan semua pihak, tidak hanya warga kulit hitam.

“Menurut saya kita harus mulai menuntut otonomi yang lebih, misalnya dengan menjaga keamanan komunitas kita sendiri tanpa harus mengandalkan polisi yang sudah jelas beroperasi untuk kepentingan kalangan tertentu,” tegas Berryhill.

Tidak begitu halnya dengan Sally Mehreteab, seorang ibu dan warga kulit putih. Ia tetap menilai pentingnya aparat keamanan. Baginya, polisi sangat diperlukan dalam komunitas manapun, tetapi segala tindakan yang diambil harus adil dan terlepas dari ras seseorang.

Hal serupa disampaikan Hamilton. Menurutnya, catatan kriminal yang menekankan pada tingginya angka keterlibatan warga kulit hitam merupakan self-fulfilling prophecy. “Ketika sebuah sistem hukum menjalankan profilisasi ras, maka secara otomatis akan ada ras tertentu yang menjadi target pengawasan dan penangkapan yang lebih ketat. Dari sanalah mengapa tercatat lebih banyak warga kulit hitam yang ditangkap. Padahal banyak warga kulit putih yang juga melakukan tindakan kriminal, tetapi mereka tidak mendapatkan perhatian yang sama.”

Dalam menjelaskan ketidakadilan yang terus terjadi pada warga kulit hitam, Hamilton menegaskan dua hal besar yang harus segera ditangani. Pertama, akuntabilitas. Setiap anggota kepolisian dan bagian dari sistem hukum harus bertanggung jawab terhadap perbuatan mereka masing-masing. Artinya, harus ada hukuman yang konkret. Kedua, ditegaskan Hamilton, pentingnya pemerataan materi atau kapital.

“Dalam masyarakat kapitalis, kapital yang memberikan akses kepada kebebasan untuk menjalankan hidup seseorang,” tegas Hamilton. “Kecukupan materi membuka akses kepada kontribusi politik, pendidikan, dan menjadi tumpuan finansial, sehingga seseorang bisa menghadapi kondisi darurat dengan baik, bahkan bisa meninggalkan pekerjaan yang tidak cocok, untuk menekuni hal-hal yang lebih dia gemari atau kuasai.”

Menurut riset yang dilakukannya, sampai saat ini pasar tenaga kerja Amerika Serikat masih belum terbuka secara adil bagi warga kulit hitam. Kemungkinan seorang warga kulit putih mendapatkan pekerjaan masih tiga kali jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kulit hitam. Seruan senada datang dari Mehreteab, “Perubahan harus dimulai dalam berbagai bidang, pendidikan, tempat tinggal, pekerjaan, kesehatan dan hukum. Jika kita hanya berkonsentrasi pada satu aspek, maka tidak akan ada perubahan yang signifikan.”

Beberapa perbaikan telah diterapkan dalam institusi kepolisian, seperti di New York. Misalnya, larangan untuk memberikan tembakan peringatan, telah mengurangi jumlah tembakan yang dilancarkan oleh polisi sebanyak lebih dari 2/3 sejak 1995. Anggota kepolisian juga diwajibkan memakai kamera di tubuh mereka dalam tugas untuk merekam segala kejadian—walaupun dalam kasus Garner rekaman yang dipakai sebagai bukti tetap tidak mengubah keputusan juri.

Namun, tidak semua kasus pembunuhan oleh anggota kepolisian berujung pada pembebasan. Pada 2005, Bryan Conroy dari kepolisian New York dinyatakan lalai dalam menjalankan tugas dan berujung pada pembunuhan. Dia dijatuhi masa percobaan hukuman selama lima tahun dan 500 jam pelayanan publik setelah membunuh seorang imigran dari Afrika Barat, OusmaneZongo.

Pada 4 Desember 2014, seorang mantan polisi bernama Richard Combs, dinyatakan bersalah atas tindakannya membunuh seorang pria kulit hitam, Bernard Bailey (53) di luar Departemen Kepolisian Eutaville, South Carolina tiga tahun lalu. Di bawah pemerintahan Barack Obama, terdapat 27 kasus aktif serupa dalam proses penanganan. (1012).

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/73990

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

jason_yau_lie

 

 

 

 

Kabaristore150x100-2