Iwan Setyawan. Muda, energik, cerdas, bersekolah dan berkarir
sangat baik. Tahun lalu dia tinggalkan karirnya yang cemerlang sebagai Director Internal Client Management di Nielsen Consumer Research, New York untuk kembali ke kota kecilnya, Batu Malang, demi sebuah kamar impiannya.

Kedengarannya romantis. Tapi itu yang benar-benar dilakukan oleh
belia ke tiga dari lima bersaudara ini. “Saya besar di kota kecil
penghasil apel di Jawa Timur. Orang sering mendengar Batu tak jauh dari
Malang, itulah kota saya, “ kata Iwan. Gunung Panderman dan Arjuno yang
tak jauh dari kotanya yang sejuk membuat hatinya tak pernah melupakan
kota itu.

Lahir tahun 1974, menjadi satu-satunya laki-laki dari 4 saudaranya (2
kakak dan 2 adik). Ayahnya adalah supir angkutan kota (angkot) dan
ibunya adalah ibu rumah tangga. “Semasa kecil, saya tak pernah memiliki
kamar pribadi sendiri. Rumah kami hanya 6×7 meter dan hanya berkamar
dua” katanya menceritakan kehidupan lalunya. Itu menjadikan dirinya
selama tumbuh di sana, untuk tidur pun selalu berpindah. Dari kamar
orang tuanya, kamar saudara perempuannya, ke ruang tamu, dapur dan rumah
neneknya yang berada di sebelah rumah mereka.

Ketika dia batuk-batuklah – karena dia sering tidur beralaskan
selembar pelapis di atas tanah- ayahnya yang memiliki satu angkot dan
mengemudikannya sendiri, membuatkannya tempat tidur berukuran 0,5×1,5 m.
“Saya tak berani meminta lebih, sebuah kamar khusus untuk saya,
misalnya. Bila itu saya lontarkan, itu sama dengan permintaan bodoh yang
tak berhati,” katanya.

Mereka hidup sangat terbatas. “Kami hanya bisa bermain dengan buku
pelajaran dan mencari tambahan uang dengan berjualan pada saat bulan
puasa, mengecat boneka kayu di wirausaha kecil dekat rumah, atau
membantu tetangga berdagang di pasar sayur,” tulis Iwan.

Dengan keadaan seperti itu dan cita-cita yang ingin diraihnya,
keluarga adalah energi utama yang dimilikinya. Dan Iwan sangat terkesan
dengan sosok ibunya. Sejak kecil, ibunya mengajarkannya menabung. Ibunya
juga pintar mengatur berapa liter nasi yang harus ditanak tanpa tersisa
keesokan harinya, bila keluarganya harus makan daging, ayam, atau
tempe. Ibu adalah pengarah dan pengatur hidup terbaiknya.

Iwan mengungkapkan, ibunya tahu barang apa yang harus digadaikan
untuk membeli sepatu baru bagi anaknya dan mengatur pembayaran uang
sekolah. “Dia selalu menghadirkan keinginan berbagi di tengah
pergulatan hidup. Ibuku adalah cermin kesederhanaan yang sempurna di
mata kami dan kesederhanaan inilah yang menyelamatkan kami,” papar Iwan
menggambarkan ibunya.

Ibunya memiliki hati yang sangat kuat. Kemiskinan tak menggoyahkan
hatinya. Melalui pendidikan, ibunya yakin, anak-anaknya akan memiliki
masa depan yang cerah. Karena itu, ia gigih berjuang agar anak-anaknya
tetap sekolah. “Ibu melihat pendidikan sama dengan menanam modal. Dia
amat kuat melihat masa depan dan tidak mengeluh dengan apa yang
dihadapinya sehari-hari. Ia bersikeras semua anaknya, termasuk yang
perempuan bersekolah sampai universitas,” tutur Iwan.

Lulus dari SMAN 1 Batu dengan prestasi yang baik, Iwan mendapat undangan khusus untuk kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB)
jurusan Statistik, merupakan jurusan yang amat digemarinyaa. Keluarga,
senang. Tapi bagaimana dengan biaya ? Suatu saat Iwan berdialog dengan
ibunya.
“Kau harus berangkat sekolah. Kami mendukungmu,” kata ibunya ketika Iwan ragu.

“Saya melihat keluarga sebagai sebuah tim,” katanya. Menurutnya “tim”
itu melihat Iwan sangat berpotensi, sehingga kuliah di Bogor harus
ditempuhnya, seberapa pun berat itu untuk keluarga. “Karena itu, kakak
yang sebetulnya juga kuliah memutuskan tidak kuliah demi saya, agar
biaya dapat dialihkan ke saya. Begitu juga dengan ayah dan ibu. Mereka
menjual angkot. Satu-satunya barang berharga milik kami untuk mendukung
agar saya bisa sekolah di Bogor,” katanya. Setelah ayahnya menjual
angkot, dia menjadi supir truk.

Seluruh apa yang dilakukan keluarganya itu mendorong Iwan belajar
dengan baik di Bogor. Mahasiswa yang berhasil masuk jurusan ini semuanya
memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)
tinggi di Tingkat Persiapan Bersama. “Setelah tingkat dua, persaingan
menjadi sangat tajam dan tak sedikit mahasiswa yang harus mengulang atau
drop-out. Aku mungkin salah satu siswa terbaik di Batu, tapi
di sini aku menjadi sangat “kecil” di tengah siswa berprestasi lainnya:
siswa teladan nasional, finalis olimpiade matematika internasional,
juara karya ilmiah nasional, dan sederet prestasi panjang lainnya,”
katanya.

Dalam kegalauan hatinya, ibunya menenangkannya. “Coba dulu, belajar
yang rajin, jangan takut.” Nasihat sang ibu memberi keyakinan dan ia
dapat melepaskan ketakutannya untuk belajar dengan baik. 1997, Iwan
berhasil menjadi lulusan terbaik di jurusannya.

Setelah lulus IPB, Iwan bekerja di AC Nielsen Jakarta sebagai data analis selama dua tahun, lalu di Danareksa Research Institute (DRI). Tak lama di DRI, Iwan mendapat tawaran sebagai data processing executive di Nielsen International Research
di New York, AS. Ia tak pernah bermimpi mendatangi New York, dan
berkarir di kota terbesar di dunia itu, namun berkat kerja keras dan
ketekunan, ia berhasil melampaui mimpinya.

Sukakah dia dengan Manhattan? “Seperti di kota lainnya, saya juga
pernah mengalami suka duka. Tahun pertama ketika berjalan sendiri menuju subway,
saya diserang seseorang berbadan besar dan berusaha mengambil apapun di
saya,” katanya. Untunglah dia diselamatkan oleh orang yang berteriak
dan orang yang menyerangnya itu, lari.

Setelah 8 tahun berkarier di New York, Iwan berhasil menduduki posisi tinggi, sebagai Director Internal Client Management di Nielsen Consumer Research,
New York. Karena kerinduannya yang dalam pada tanah kelahirannya, Batu,
di tahun ke-10 Iwan memutuskan untuk berhenti dari perusahaan ini dan
memilih kembali ke Indonesia. “Aku ingin membangun sebuah kamar kecil,
di Tanah Airku,” janjinya.

Banyak teman yang mengatakan bahwa Iwan sudah gila. “Hanya dua teman
saya yang dengan hati-hati dan pelan mengatakan, bahwa keputusan saya
adalah keputusan yang berani,” katanya ketika menceritakan sikap
teman-temannya waktu dia memutuskan pulang ke Indonesia.

Tentu, dia tidak semata pulang dan meninggalkan karirnya yang
cemerlang hanya untuk masa lalunya. Iwan menulis buku dan kini
berkeliling Indonesia untuk buku. Buku pertamanya Melankoli Kota Batu
berupa kumpulan fotografi dan narasi puitis, dipersembahkan untuk Kota
Batu. Dia juga menulis novel yang menceritakan tentang dirinya yaitu 9 Summers 10 Autumns.
Buku yang laris ini telah menginspirasi dan memberi energi bagi banyak
orang, untuk melampaui mimpi mereka masing-masing seperti yang telah
dilakukan Iwan.(1002)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?38034

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :