Timor Leste (dulu bernama Timor Timur) memang tak lagi jadi
bagian dari Indonesia. Perpisahan itu, tak saja membutuhkan kedewasaan
Indonesia, namun dibalik itu sebenarnya Indonesia telah lepas dari
kerikil di sepatu. Kita tak lagi jadi bulan-bulanan di PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) atau sasaran tembak bagi diplomasi luar negeri kita.
Melihat negara kecil ini tumbuh dan sementara ini banyak hal yang masih
tergantung pada Indonesia, sebenarnya kita telah merdeka dari beban kita
sendiri.

Timor Leste dijajah Portugis sejak tahun 1520. Ketika merdeka pada
tanggal 16 Juli 1976, sembilan hari setelah itu terjadi pertikaian
antara beberapa kelompok politik. Lalu tentara Indonesia masuk untuk
berpihak pada salah satu kelompok tersebut(pro Integrasi). Sejak itu
tiap hari terjadi pembunuhan. Ketika Soeharto digantikan Habibie,
diadakan referendum pada tahun 1999 dengan hasil 78,5 persen menghendaki
lepas dari Indonesia. Namun hingga kini penderitaan akibat perang itu
terlihat masih membekas.

Leocadia de Jesus, Ketua Komisi Wanita Gereja Protestan Timor Leste (Igreja Protentante Iha Timor Lorosae)
mengatakan, bahwa luka-luka batin akibat perang saudara dan pendudukan
tentara Indonesia selama 22 tahun masih terus membekas dan memerlukan
pemulihan. Mereka dan kaum gereja sedang bergumul mengentas kemiskinan
dan keterbelakangan rakyat.

Mama Rosa, seorang ibu dan penatua di desa mengatakan, bahwa di sana
sering terjadi keributan. Dia mengakui keributan dalam keluarga dan
pertengkaran antar tetangga sering terjadi akibat tekanan kemiskinan.
“Pendeta kami juga miskin. Jangankan membeli buku, membeli beras pun ia
tidak sanggup,” katanya.

Timor Leste (TL) sekarang ini memang tidak lebih dari sebuah negara
baru dengan persoalan kemiskinan dan berbagai persoalan lainnya yang
kompleks. Sumber Daya Masyarakat (SDM)-nya pun
masih sangat terbatas untuk menjadi sebuah kekuatan perubah bagi TL.
Bagi mereka, potret kemiskinan dan keterbelakangan ini bahkan sempat
menjadi keputusasaan dan kepasrahan.

Sebagai negara yang pernah seperempat abad mengangkangi TL,
sebetulnya Indonesia tidak bisa mencuci tangan dengan realitas sekarang.
Kemiskinan dan buruknya mutu SDM itu adalah sisa-sisa ”peradaban buruk” yang kita bawa ke sana, termasuk soal Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), premanisme, kekerasan, dan ketidakpatuhan pada hukum.

Namun, TL yang kini bermata uang dollar Amerika, boleh jadi adalah
negara yang jauh lebih beruntung dibandingkan Indonesia tahun 1945.
Bahkan nantinya, bisa juga lebih dari Indonesia yang kini terperangkap
dalam tidak menentunya arah reformasi, termasuk reformasi hukum dan
politik. TL hanya berpenduduk 1 juta orang, tidak memberi subsidi beras
dan bahan bakar, sesungguhnya telah menerapkan dasar fiskal yang cukup
baik bagi negara mereka sendiri.

Menjadi Pemenang

Mengubah peran Indonesia dari pecundang ke pemenang memang bisa kita
lihat sekarang, yaitu di dunia bisnis. Sebelum referendum 1999, setiap
tahun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Indonesia harus mengalokasikan sekitar Rp 1 trilyun untuk pembangunan
TL. Belum lagi dana tak terduga yang dikendalikan langsung militer,
serta nyawa-nyawa yang boleh dibilang setiap minggu berguguran di sana.

Lalu, apa yang terjadi kini? Apa yang dimaksud dengan pemenang ?
Beberapa hal, negara kecil ini masih sangat tergantung pada Indonesia.
Sebagai contoh penerbangan Merpati. Sejak akhir tahun 1999, Merpati yang
kini menerbangi Denpasar-Dili tujuh kali seminggu sebagai salah satu
jalur tergemuk, sedikitnya telah mengantungi sekitar 50 juta dollar AS
(Rp 470 milyar) per tahun dari jasa angkutan orang dan barang. Sriwijaya Air juga mengambil rute yang sama. Belum lagi pariwisata di Bali yang menikmati tamu dari Dili setiap akhir pekan.

Pertamina Indonesia juga pesta dollar. Dulu, Pertamina harus menjual
minyak premium dan lain-lain di Dili dengan harga subsidi seperti di
Jakarta. Kini Pertamina menjualnya di Dili dengan harga sekitar AS$ 1.-
atau sekitar Rp 9000 per liter (kini harga premium di Indonesia Rp
4500) Jika konsumsi rata-rata BBM di Timor
Leste adalah 20.000 – 30.000 ton per bulan, kita tinggal hitung saja
berapa keuntungan Pertamina sejak akhir tahun 1999 hingga sekarang.

PT Telkom (Telekomunikasi Indonesia) yang dulu harus mensubsidi
operasinya di TL, kini, Telkom ongkang-ongkang kaki karena menerima
hasil sewa operasi peralatannya oleh Telstra, telkom milik Australia
yang kini berkiprah di TL. Industri dan perdagangan di Surabaya pun
menikmati rezeki lumayan, walaupun sudah mulai mendapat saingan dari
Thailand dan Cina, praktis hampir semua kebutuhan sembako, elektronik,
bangunan, bahan baku industri, kertas, dan alat tulis masih didatangkan
dari Surabaya.

Kita melihat minyak Bimoli, sabun Lux, Rinso, teh dan rokok dari
Indonesia masih banyak ditemukan di TL. Juga makanan seperti soto,
bakso, makanan Padang dan rujak, kita temui di pinggir-pinggir jalan.
Bagi orang Timor, menyekolahkan anak mereka ke Indonesia juga masih jadi
pilihan terbaik. Terbanyak mereka kuliah di Yogyakarta dan Malang.
Selanjutnya Surabaya, Jakarta, Bandung dan Bali banyak menampung
mahasiswa asal Timor ini. Meski Portugal dan Australia juga banyak
menawarkan beasiswa bagi mereka.

Kalau saja tidak ada penempatan kekuatan militer yang begitu menyolok
di perbatasan Timor Leste dan Timor Barat, arus barang dari Surabaya ke
Dili pasti akan jauh lebih cepat dan lebih besar. Selama perbatasan
ditutup atau diperketat, arus barang dari Surabaya harus menempuh
perjalanan laut 2 – 3 minggu untuk sampai ke Dili, padahal jika melalui
jalan darat dan feri hanya 4 – 5 hari.

Arus barang ini juga bisa memberikan dampak yang besar bagi masyarakat sepanjang rute darat Surabaya-Dili itu ketika melewati NTT.
Kehadiran militer dengan skala besar di perbatasan TL dan Timor Barat
(masuk wilayah Indonesia) menghilangkan kesempatan tumbuhnya ekonomi
rakyat setempat. Harga komoditas pertanian di Timor Barat rata-rata
hanya sekitar 30-50 persen dibanding TL (kecuali beras yang belakangan
ini dibanjiri Vietnam). Andaikata terjadi transaksi bebas di perbatasan,
betapa untungnya masyarakat Timor Barat. (indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37127

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :