Di antara banyak persoalan yang dihadapi Polri, salah satu
masalah yang paling krusial adalah soal profesionalitas. Memang tak bisa
dipukul rata, namun laporan pengaduan masyarakat yang masuk terkait
tindak-tanduk aparat polisi cukup memprihatinkan.

Data yang dikeluarkan Komnas HAM pada tahun
2009 menunjukan, dari 1.845 pengaduan terhadap hak untuk memperoleh
keadilan, didominasi dengan pengaduan yang terkait kepolisian. Mulai
dari pengaduan mendapat perlakuan buruk saat diperiksa polisi, sampai
dugaan rekayasa kasus baik di tingkat penyidikan hingga pemberkasan
kasus.

Jangan dulu bicara mengenai kasus kesalahan terbesar Polri saat
menangkap dan memenjarakan Sengkon dan Karta tahun 1974. Rekayasa
kasus-kasus kecil pun masih kerap terjadi hingga kini.

Berdasarkan laporan Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Jakarta, rekayasa kasus terjadi ketika kasus ditangani oleh pihak
kepolisian, terutama ketika pemeriksaan dan pembuatan Berita Acara
Pemeriksaan (BAP).

LBH Jakarta mencatat, selama enam bulan ini
saja sedikitnya ada enam kasus yang diduga rekayasa polisi di wilayah
Jakarta dan sekitarnya. Salah satunya kasus yang menimpa Muhron di
Jakarta Utara yang ditangani Polres Metro Jakarta Utara pada 6 September
2009. Muhron dituduh mencabuli adik iparnya.

Menurut pengakuan Muhron kepada LBH
Jakarta, dirinya diintimidasi dan disiksa dengan cara dipukul demi untuk
membuat BAP sesuai keinginan polisi. Lantaran
takut, Muhron terpaksa menandatangani BAP dan
kini sedang menghadapi meja hijau.

Sebetulnya, sejak beberapa tahun belakangan, kepercayaan masyarakat
terhadap Polri sudah membaik, terutama setelah Polri menggaungkan
gerakan reformasi internal dan berhasil membongkar jaringan terorisme di
Indonesia. Namun kepercayaan publik itu kemudian terus menurun seiring
masih banyaknya kasus penyalahgunaan wewenang, rekayasa, salah tangkap
hingga kekerasan.

Keadaan Polri semakin terpojok pasca kasus kriminalisasi KPK mencuat. Polri sepertinya terus jadi
bulan-bulanan jika terpeleset sedikit saja. Seperti dilansir situs
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), anggota Komisi Kepolisian
Nasional, Adnan Pandu Praja, juga mengakui, hingga kini banyak laporan
masyarakat yang masuk ke Kompolnas berisi aduan soal praktik rekayasa
oleh oknum polisi.

Kasus dugaan rekayasa yang belakangan menarik perhatian publik saat
ini, sebut saja misalnya kasus narkoba yang menimpa pemulung Chaerul
Saleh. Pemulung yang hidupnya serba pas-pasan ini diduga dijebak oleh
oknum polisi untuk mengakui ganja yang bukan miliknya.

Bahkan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri Inspektur
Jenderal Oegroseno mengakui, ada indikasi rekayasa dalam kasus tersebut.
Oegroseno juga menyebut modus menjebak menggunakan narkoba merupakan
modus klasik oknum polisi.

Kasus lain yang juga mencoreng profesionalisme Polri adalah kasus
salah tangkap yang menimpa peneliti, dosen, dan penulis sejarah, JJ
Rizal, di Depok, Jawa Barat. Polisi dari Polsek Beji, Depok, akhir
Desember 2009 menangkap dan memukuli JJ Rizal tanpa alasan. Konyolnya,
dalam penyelidikan lanjutan oknum polisi itu menangkap dan memukuli
Rizal karena Rizal dikira pencopet.

Sampai kapan rekayasa demi rekayasa perkara harus terus terjadi? Sampai
kapan kita menunggu profesionalitas Polri? Jawabnya hanya Polri yang
tahu.(yayat)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?34688

Untuk

melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik

disini

Klik disini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :