September adalah momentum. Di bulan ini banyak orang
mengenang korban dan kekejaman teroris. Sebelas September 2011 adalah
terdahsyat dari sekian terorisme di dunia. Namun terorisme ada di
mana-mana. Di Amerika Serikat, Nikaragua, Irlandia, Afganistan,
Philipina, Indonesia dan banyak negara lainnya.

Banyak hal ditempuh berbagai pihak untuk menghentikan atau mencari
solusi yang paling baik atas terorisme di dunia. Akhir Juni lalu,
Konferensi Melawan Kekerasan Ekstremisme (Summit Against Violent Extremism/SAVE) diadakan Google Ideas di Convention Centre of Dublin (CCD).
Di forum itu, sejumlah pelaku dan korban duduk bersama dan merumuskan
strategi untuk menghentikan kekerasan karena terorisme tersebut.

Diantara pesertanya terdapat seorang Indonesia. Dia dipuji karena
telah mencari dan menemukan cara berkegiatan untuk mantan teroris. Di
Indonesia, dia amat sering dimintai pendapat soal terorisme. Noor Huda
Ismail namanya. Siapa dia?

Noor memang sudah dekat dengan kelompok Islam. Sejak muda dia sudah
masuk kelompok revolusioner ‘kanan’. Bapaknya adalah pegawai negeri
sipil, pendukung partai Golkar sejati, tapi tersingkir karena intrik
politik. “Ibu saya tidak boleh pakai kerudung ketika menghadiri acara di
kantor Bapak,” ucapnya. Karena itu, sejak kecil dia sudah mendendam
kepada rezim Orde Baru.

Dia memutuskan masuk Pondok Pesantren Al Mukmin Ngruki, Solo. Sebuah
pesantren yang banyak dibicarakan oleh publik paska ‘bom Bali’. Ketika
masuk Ngruki, dia berkenalan dengan sejumlah nama. Di antaranya yang
paling dekat adalah Mubarok, teman sekamarnya yang kini terpidana seumur
hidup karena menjadi operator utama ‘bom Marriott I 2003’. Di Ngruki,
dia kemudian direkrut masuk Darul Islam (DI). Ini terbawa hingga dia
kuliah rangkap di IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan Fakultas Komunikasi UGM.
“Ada latihan-latihan militernya juga. Tapi, tidak sepadat dan seserius
latihan militer Jemaah Islamiyah” ucap penulis novel jurnalistik
berjudul ‘Temanku Teroris’ ini.

Pada pertengahan 1989, perpecahan melanda DI. Bukan hanya secara
internal, tetapi juga dengan kelompok radikal Islam lainnya. Membuatnya
kecewa. “Saya memutuskan keluar. Bagaimana tidak kecewa, sama-sama
salatnya, sama-sama nabinya, tapi malah saling menyalahkan,” urainya.

Setelah itu, hidupnya berubah menjadi sekuler. Lulus UGM pada 1999, dia berkelana. Dia kemudian menjadi kontributor Washington Post di kawasan Asia Tenggara hingga 2005. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa di jurusan International Security di St Andrews University, Skotlandia. Dia mempelajari semua faksi politik bersenjata di seluruh dunia.

Untuk itu, dia sempat mengunjungi sejumlah titik terorisme dunia, terutama Eropa. Dia pernah bertemu mantan anggota Baader Meinhoff di Jerman, Brigatte Rosse di Italia, kelompok separatis ETA di Basque, Spanyol, dan ke Irlandia Utara bertemu tokoh-tokoh IRA.
Yang paling berkesan ketika dia berkunjung ke Irlandia Utara. “Di sana
program rekonsiliasinya bagus. Pemerintah Inggris benar-benar tanggap
bagaimana menangani masalah radikalisasi,” urainya.

Setelah sekolah di Inggris dan menjadi konsultan PMA
yang lumayan sukses, Noor membaktikan hidupnya untuk mengurus proses
rekonsiliasi. Dia datang lagi ke komunitas lama dan berusaha mengajak
kawan-kawan yang mantan teroris untuk kembali hidup baru. Namun, tak
mudah baginya untuk bisa masuk kembali. Dia pun dikecam. Abu Bakar
Ba’asyir pun menganggap dirinya sebagai agen Barat. Di Ngruki, dia juga
tidak terlalu diterima kembali.

“Saya penasaran, kenapa hidup para mantan napi kasus terorisme masih
susah dan tidak mendapat apresiasi dari masyarakat?” kata bapak satu
anak itu. Menurutnya banyak pihak tidak memberi kesempatan kedua bagi
para mantan ini. Sehingga bila terus menerus dipersulit dan tak bisa
hidup normal di masyarakat, mereka cenderung akan kembali lagi ke
habitat asalnya. “Mereka bisa balik lagi meneror. Kalau ini dilakukan,
bisa menjadi ancaman serius,” imbuhnya.

Dengan kelebihan yang dimiliki, Huda lantas berupaya memberdayakan
para mantan napi teroris. Kali pertama yang dia lakukan adalah
mendirikan sebuah yayasan yang dinamakan Yayasan Prasasti Perdamaian (YPP).
Yayasan yang berdiri pada 2008 itu khusus bergerak di bidang
rekonsiliasi. Yakni, merekonsiliasi para mantan napi teroris dengan
masyarakat dan pemerintah agar bisa hidup normal dan tak terus-menerus
dicurigai.

Huda mendirikan unit-unit usaha bagi sejumlah mantan Jamaah Islamiyah
(JI). Yang paling besar adalah tambak udang seluas tiga hektar di
sebuah desa di Kendal, Jawa Tengah. Lalu, sebuah usaha garmen menengah
di Solo dan sebuah rental mobil di Jakarta. Semuanya dikelola para
mantan napi kasus terorisme.

Sejumlah usaha modal menengah dan kecil juga dikelola Huda bagi para mantan teroris. Misalnya e-trading
dan mendirikan tiga buah restoran dan kafe di Semarang. Tengok saja
restoran Dapoer Bistik. Dikelola oleh 10 mantan teroris yang tak kaku
melayani keinginan tamu. Restoran ini memiliki menu andalan yaitu iga
bakar.

Machmudi Hariono, disapa Yusuf adalah veteran perang yang tergabung dalam Front Pembebasan Islam Moro (MILF),yang
berbasis di Mindanao, Filipina adalah satu orang yang dirangkul oleh
Huda dan jadi penanggungjawab restoran ini. Yusuf baru keluar dari
penjara dua tahun lalu terkait kasus terorisme. Tak menyangka bila
jalan hidupnya harus seperti itu. “Dulu ketika berjuang di hutan, kami
bertahan hidup dengan memasak binatang buruan seperti rusa. Semuanya
juga menggunakan bumbu-bumbu yang tak jauh beda. Cuma khasnya saja yang
berbeda. Dulu ketika kita makan sambil megang M16, sekarang kita makan
iga bakar dengan memegang garpu-sendok. Senjata api juga ada. Cuma ini
sendok dan piring. Ha ha ha..”

Tak semua para mantan ini cocok dengan hidup barunya. Beberapa juga
pergi dari Yayasan Perdamaian dan kembali ke kehidupan terorismenya.
“Tak apa, karena saya tidak melakukan de-radikalisasi tapi ‘pelepasan’
untuk para mantan itu,“ katanya. Upaya Huda memang harus dihargai. Tak
bisa mengandalkan hal itu pada negara. Ini adalah sebuah program dari
masyarakat sipil yang ingin memanusiakan manusia. Dan masyarakat sipil
yang memberi kesempatan kedua pada para mantan teroris itu adalah Huda.
(indah)

Nama : Noor Huda Ismail.

Pekerjaan :

Vice President of Sekurindo Global Consulting, a Security Consulting Division of PT Sekurindo Gada Patria, Jakarta, Indonesia
2003-2004 ; Koresponden Washington Post biro Jakarta

Pendidikan :

Pondok Pesantren Al Mukmin di Ngruki, Cemani, Sukoharjo- Solo.
UIN Sunan Kalijaga – Yogyakarta dan ilmu Komunikasi FISIP-UGM.
2005, Defense and Security Studies Nanyang Technological University , Singapore .
Beasiswa British Chevening Awards untuk Master bidang International Security Studies from St. Andrews University.

Karya : Temanku Teroris , 2009.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37270

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :