Konflik Maluku bagai episode film yang terus berulang.
Konflik meledak, tak lama kemudian mereda. Ketika situasi kondusif,
perlahan gerakan damai dirajut. Tak berselang lama, meledak lagi. Dialog
antara pemuka agama dan masyarakat mulai dilakukan. Begitu terus.
Namun, ada satu daerah di Ambon yang berusaha sekuat tenaga untuk tak
terpengaruh pada berbagai konflik itu.

Desa itu bernama Mayame, tak jauh dari bandara Pattimura. Pada saat
letusan senjata terdengar siang-malam, dentum bom menggelegar, ratusan
bangunan jadi puing serta ribuan nyawa menjemput maut, Masjid Darul
Na’im dan Gereja Peniel tetap berdiri berdampingan di tengah desa seluas
33.158 meter itu. Desa yang berpenduduk sekitar 3.500 jiwa ini memilih
untuk tidak mencampuri urusan konflik di sekitarnya.

Sejak pecah kerusuhan 19 Januari 1999 yang bernuansa religius hingga
konflik 25 April 2004 akibat arak-arakan simpatisan Republik Maluku
Selatan (RMS) , ruang netral di Ambon sangat
sempit. Saat itu hanya ada di tiga wilayah netral yakni kantor Gubernur
Maluku (gedung Telkom Talake), bandara Pattimura Ambon dan desa Wayame.
Di luar itu, hampir semuanya berpotensi terjadi konflik laten. Wayame
menjadi satu-satunya desa di Pulau Ambon yang tidak pernah tersentuh
konflik.

Kenapa Wayame begitu kuat?

Khas daerah Ambon. Satu desa biasanya didiami oleh satu agama. Islam
saja atau Kristen saja. Di Wayame tidak begitu. 45 persen Kristen dan 55
persen Islam. Namun mereka saling menghargai dan tak ada keinginan
untuk selalu berbeda pendapat hanya karena keyakinan. Tidak ada ikatan
tradisional atau kultural yang terlalu kuat di Wayame, karena para
penduduk Wayame berasal dari berbagai desa yang berbeda secara adat dan
tradisi.

Penduduk yang pindah ke Wayame umumnya berlatar belakang pendidikan
dan tingkat ekonomi yang tinggi. Mereka adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), dosen perguruan tinggi, dan pegawai swasta. Pemerintah membangun kompleks perumahan Bank Tabungan Negara (BTN)
di Wayame pada tahun 1992 dan banyak orang berminat mendiaminya. Desa
ini berjarak 27 kilometer dari kota Ambon, hanya menyeberang dari
pelabuhan Ambon dengan menggunakan ferry. Kondisi desa ini sangat nyaman
untuk tinggal bagi mereka yang bekerja di Universitas Pattimura yang
berlokasi di Poka dekat Wayame.

Kedamaian di Wayame tidak begitu saja ada. Memerlukan kerja keras dan
kemauan kuat berbagai pihak di desa itu untuk mewujudkannya. Pemikiran,
dialog dan perumusan aturan yang berlaku di desa mereka memerlukan
waktu dan energi yang tidak sedikit.

Terdapat banyak faktor yang mendukung terciptanya perdamaian di
Wayame. Faktor utama adalah, bahwa penduduk desa itu berhasil membentuk
sebuah mekanisme lokal yang sering di sebut sebagai Tim 20 Wayame. Tim
20 ini terdiri dari 10 pimpinan Kristen dan 10 orang pemimpin Muslim
termasuk tokoh agama, kepala desa dan tokoh kunci lainnya.

Pastur dan Imam mengumpulkan umatnya dengan mengatakan kepada mereka
“Kalian suka konflik atau lebih suka damai?” Pastur dan Imam menghimbau
kepada warganya untuk tidak terlibat dalam konflik Ambon dan tidak mudah
terprovokasi oleh seseorang. Kedua pimpinan agama berupaya mengontrol
isu, mencari bukti-bukti tentang gunjingan, melakukan konfirmasi
terhadap isu yang berkembang di desa itu serta memberikan informasi yang
benar kepada masyarakat. Penyampaian konfirmasi ini dilakukan di mesjid
ketika sembahyang Jumat oleh Pastur, dan di Gereja pada hari Minggu
oleh Imam.

Mereka berkeliling desa sebagaimana penjaga desa. Mereka mengunjungi
rumah warga dan mengupayakan dialog dengan seluruh masyarakat Wayame.
Tim 20 mengundang penduduk untuk pertemuan rutin. Contohnya, setiap hari
Rabu masyarakat berkumpul di depan gereja dan setiap hari Sabtu, mereka
berkumpul di depan mesjid mencari solusi bersama.

Desa-desa lain di sekitar Wayame mengkritik Wayame atas ketidak
ikutsertaan mereka dalam konflik di Ambon dan menyebut desa ini sebagai
“penakut” atau “mereka bukan orang Maluku”, atau “mereka tidak memiliki
simpati terhadap kelompoknya”. Tapi Wayame tetap tidak terpengaruh. Tim
20 memiliki kepemimpinan yang kuat sehingga dapat mengontrol situasi dan
mempertahankan perdamaian di Wayame, sehingga desa ini tidak terpisah
berdasarkan garis agama.

Masyarakat juga sepakat untuk membuat aturan di desa mereka sendiri,
misal; dilarang menggunakan simbol-simbol agama di luar rumah kecuali
gereja dan mesjid (contoh; kalung salib, foto Yesus, kata-kata dalam
bahasa Arab, baju dan peci Muslim).
Dilarang menggunakan kata-kata kasar terutama kepada agama lain di
Ambon, terutama panggilan Acang (untuk Muslim) dan Obet (untuk Kristen).

Ada juga aturan yang melarang menjual dan mengkonsumsi minuman keras
di Wayame. Jika melanggar, maka dikeluarkan dari desa atau meminta maaf
kepada semua orang didepan umum serta menulis surat pengakuan. Dilarang
membawa senjata dan ikut serta dalam konflik. Jika melanggar, tidak
boleh kembali ke desa Wayame lagi. Jika masyarakat itu terlibat dalam
konflik dan meninggal, maka tidak boleh dibawa ke Wayame serta tidak
boleh dimakamkan di desa itu.

Tim 20 juga berhasil dalam berunding dengan militer. Tim beberapa
kali mengadakan pertemuan dengan polisi dan militer serta mempromosikan
perdamaian. Hubungan dengan militer juga merupakan keuntungan yang besar
karena dapat mencegah terjadinya konflik.

Abdulrachman Marasabessy yang pernah menjadi ketua Tim 20 mengatakan
“Ada juga kelompok-kelompok kecil di Wayame yang terkontaminasi tapi
kita cepat pangkas. Kita tidak akan membiarkan kejahatan itu bertunas.
Kalau ada isu akan ditelusuri. Pernah kita mengusir orang yang mengajak
warga melakukan kekerasan kepada komunitas agama lain di Wayame,”
tegasnya. Meski kini Tim 20 tidak ada lagi, namun semangat untuk damai,
tetap terjaga.

Maluku tempo dulu pernah jadi lambang toleransi dan kerukunan antar
umat beragama di dunia. Hidup berdampingan yang rukun menjadi bagian tak
terpisahkan dari kehidupan masyarakat di provinsi seribu pulau ini.
Kiranya, cerita masa lalu itu bukan saja menjadi cerita manis buat
anak-cucu kelak, tapi menjadi kenyataan sepanjang masa.

Belajar dari pengalaman desa damai Wayame dalam mengatasi konflik
berbau agama di Ambon, kiranya menjadi pelajaran bagi masyarakat lain di
Pulau Ambon maupun Maluku dan Indonesia secara luas. Karena sebenarnya
yang diperangi adalah saudara sendiri, hanya karena kebetulan berbeda
agama. (Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37378

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :