IMG_3056KabariNews – Shandra pernah menjadi korban perdagangan manusia dan kejahatan seksual di AS, karena itu ia tahu betul bagaimana perasaan dan penderitaan yang dialami para korban. Kisahnya sempat ramai tahun 2014, saat dia mengungkapkan pengalaman kelamnya dihadapan publik. Dia berhasil lolos dari sindikat perdagangan manusia di New York tahun 2001 dan membongkar sindikat yang ternyata memiliki jaringan internasional. Kasus yang dihadapinya membawa babak baru bagi Shandra hingga dia memutuskan tetap bertahan di AS sambil memperjuangkan upaya memberantas sindikat perdagangan manusia. Shandra mengatakan pengalamannya memang getir, tapi ia tidak ingin terus terpuruk dengan masa lalunya. “Apa yang terjadi pada saya itu adalah pelajaran, dan saya ingin sekali membagikan apa yang saya ketahui, yang saya pelajari, dari apa yang terjadi. Memberikan input, bagaimana dan apa yang harus dilakukan para korban” papar Sandra pada Kabari di Jakarta.

Dengan pengalamannya yang menyakitkan, ia ingin keadilan ditegakkan, karena itu sejak tampil ke muka umum dan membeberkan kenyataan hidupnya, Shandra membulatkan tekad untuk memberantas perdagangan manusia ke seluruh dunia.

MENTARI

‘Habis gelap terbitlah terang’, pribahasa ini terkenal melekat pada RA. Kartini sosok pahlawan bangsa yang menginspirasi kaum wanita Indonesia untuk bangkit dan berkarya. Seperti halnya mentari di pagi hari, cerah membawa hari yang baru, Shandra dan mantan korban lainnya yang kini aktif sebagai aktivis kemanusiaan mendirikan sebuah yayasan yang diberi nama Mentari. Shandra, berharap berdirinya Mentari dapat menyuarakan kampanye anti pedagangan manusia. Bersama sahabat perjuangannya Imamatul Maesaroh yang juga mantan korban perdagangan manusia, Yayasan Mentari hadir sebagai ‘rumah’ untuk membantu korban kembali percaya diri, mendapatkan kehidupan layak, dan berbaur ke tengah-tengah masyarakat.

IMG_3191Yayasan yang berbasis di New York, Amerika Serikat ini tidak hanya membantu para korban untuk mendapatkan haknya, tapi juga memberikan DREAMS: Direct servies, Resources, Education/ Training, Advocacy Initiatives and Mentorship. Melalui program DREAMS yang dalam bahasa Indonesia berarti mimpi, diharapkan semua korban memiliki kesempatan untuk mendapat hidup layak dan mandiri.

Kiprahnya tidak hanya di AS, di bawah bendera Mentari dua wanita tangguh Indonesia ini juga menjalin bekerja sama dengan berbagai LSM di Indonesia. Oktober lalu, Shandra dan Ima kembali ke Tanah Air. Tak sekedar pulang kampung, mereka membawa misi untuk membantu pemerintah Indonesia memberantas perdagangan manusia dan perbudakan. Tak ada rasa canggung, keduanya terjun langsung mendatangi sekolah-sekolah dan pedesaan yang dianggap potensial menjadi target sindikat perdagangan modern.

Bogor, Cianjur, Bali, Lombok dan Malang menjadi kota-kota yang dikunjungi. Di sana mereka memaparkan beberapa contoh perdagangan manusia yang sering kali terjadi, mulai dijadikan pembantu rumah tangga, dipaksa menjadi pekerja seks komersial, hingga yang paling sadis diambil organ tubuhnya. Ima menegaskan agar tidak terpengaruh bujuk rayu sindikat dengan iming-iming gaji besar. Di setiap kunjungannya, wanita kelahiran Malang Jawa Timur ini mengatakan dirinya adalah bukti nyata korban perdagangan manusia. “Untuk yang ingin bekerja ke luar negeri harus cari tahu informasi tentang negara tujuan juga penyedia lapangan pekerjaan itu. Ini penting sekali, harus waspada. Dapat tawaran bekerja ke luar negeri, kedengarannya enak sekali, dapat bayaran banyak. Hati-hati, kita perlu selidiki. Karena yang kedengarannya enak belum tentu enak dibelakangnya” pesan Ima.

ima_matul_indonesian_activist_usa_Nama Imamatul Maesaroh sempat menjadi perbincangan di Indonesia pada pertengahan 2016. Sebagian warga dunia bahkan mungkin mengenal Imamatul karena beritanya sempat menjadi viral diberbagai media usai berpidato di hadapan Anggota Partai Demokrat di AS pada Juli 2016 lalu. Ima yang kini dikenal sebagai aktivis kemanusiaan ini juga pernah mengalami kisah kelam. Selama tiga tahun bekerja di AS, wanita berperawakan kecil ini hampir setiap hari disiksa, dipukul dan disekap. Ia tak pernah melawan saat paspornya ditahan, dipaksa bekerja lebih dari 18 jam sehari tanpa digaji selama tiga tahun. Dari kisahnya ini, Ima ingin masyarakat melihat dan belajar dari pengalamannya yang menyedihkan. “Saya tidak mau pengalaman yang menimpa saya terulang pada orang lain, karena itu saya ingin mereka waspada dan berhati-hati” ungkapnya.

Selain memberikan motivasi dan berbagi pengalaman, mereka membagikan buku berjudul ‘Impian Dewi’, dimana dalam buku bergambar (komik) diceritakan kisah nyata seorang WNI yang pernah menjadi korban perdagangangan
manusia di AS. Program ini bukan pertama kali, kata Sandra, tahun lalu Yayasan Mentari ke Indonesia untuk membagikan 5000 buku ke berbagai kota di Indonesia. Langkah ini dilakukan untuk mengedukasi dan meningkatkan kewaspadaan para warga di pedesaan khususnya orang tua supaya tidak terbuai bujuk rayu sindikat perdagangan manusia.

“Buku itu berisi pentingnya pendidikan, pentingnya menjaga anak-anak kita, pentingnya tidak menjual anak-anak kita karena anak-anak butuh pendidikan. Kami berharap ‘Impian Dewi’ bisa menjadi pembelajaran untuk anak-anak Indonesia, terutama orang tua. Anak-anak adalah generasi penerus bangsa. Kita melindungi anak-anak dengan jalan pendidikan, penyuluhan dan juga meningkatkan kewaspadaan. Itu tujuan kami” tutur wanita yang sejak 2012 aktif dalam bidang lobi dan perbaikan hukum di New York maupun di negara bagian AS lainnya itu.

PENASEHAT PRESIDEN AS

ima-matul-maisaroh-bersama-presiden-barack-obamaBangga, kaget dan merasa terhormat itulah yang diungkapkan Shandra dan Ima ketika ditanya bagaimana rasanya terpilih menjadi bagian dalam dewan penasehat orang nomor satu negeri Paman Sam. Keduanya bahkan tidak pernah terpikir bakal menduduki posisi penting sebagai tim penasehat Gedung Putih. “Saya dihubungi Gedung Putih minggu kedua Desember 2015 lalu. Tidak menyangka, saya hanya perempuan biasa, WNI yang tinggal di New York. Ada kebahagiaan lain, sebagai wanita Indonesia dengan posisi tertinggi di AS saya melihat ada kemungkinan-kemungkinan saya bisa sumbangsih untuk USA dan Indonesia” papar Shandra. Dua wanita asal Indonesia ini ditunjuk Presiden Barack Obama masuk dalam Dewan Penasehat Presiden AS untuk memonitor dan memberantas perdagangan manusia di Amerika dan dunia. “Tim kami 11 orang, terdiri dari saya dan Ima dari Indonesia, satu penyintas dari Nigeria, satu India, satu dari Dominican Republic, ada dari Mexico, Honduras, Kamerun dan beberapa dari AS” katanya lagi.

Sejak resmi dilantik akhir tahun lalu, keduanya semakin disibukkan dengan berbagai kegiatan dalam lingkup nasional hingga internasional. Tidak hanya duduk sebagai tim penasehat presiden, mereka pun melahirkan ide, dan merekomendasikan langkah terbaik untuk menanggulangi dan menangani perdagangan manusia di AS dan dunia. Shandra mengungkapkan selama berjalan hampir satu tahun sudah ada lima pokok bahasan yang telah digodok dan diajukan kepada pemerintah AS. “Kami sudah melaporkan buku mengenai laporan kerja kami yang sudah disampaikan ke tingkat nasional dan sudah dibagikan dua minggu lalu. Kami bangga karena kami sudah berhasil mendapatkan informasi penting yang akan kita tindak lanjuti melalui rekomendasi kami bagaimana kita bisa kerja sama dalam jangan pendek maupun jangka panjang. Laporan kami sudah diterima dengan positif. Dan tinggal menunggu tindak lanjutnya” papar Shandra

TANTANGAN

14211940_2338169006322103_5825837112323074225_nTerbentuknya Dewan Penasehat Presiden sebagai realisasi nyata Undang-Undang anti perdagangan manusia yang disahkan Presiden Obama Mei 2015 lalu, membuat langkah Shandra, Ima dan aktivis kemanusiaan lainnya dalam memperjuangkan hak kemanusiaan semakin lebar. Namun tantangan yang dihadapi pun tidak mudah. Diakui Shandra, meski sudah menjadi tim yang dipercaya untuk memberi wejangan Presiden, ada banyak tantangan dan kendala yang harus dihadapi. Salah satunya kurang adanya kerjasama antara agen-agen pemerintah, sehingga kerap menghambat proses yang tengah ditangani. “Agak susah kalau kita mau menyampaikan atau menanyakan masalah. Agen-agen pemerintah saling lempar tangan, jadi kami musti menyampaikan pernyataan berkali-kali sampai ketemu orang yang tepat” ungkapnya.

Tantangan lain, karena tidak semua Dewan Penasehat tinggal dalam satu wilayah membuat komunikasi terbatas. “Saya di New York, sebagian tim tinggal di Los Angeles, San Fransisco dan negara bagian lain, jadi komunikasi kita lebih banyak melalui email dan diskusi melalui telepon” paparnya.

“Kalau tidak bertemu, sulit sekali untuk membentuk kesepakatan atau pun rencana kerja, sementara rapat di Washington tidak setiap bulan diadakan, hanya di waktu tertentu dan sudah terjadwal” timpal Ima.

Namun semua kendala yang ditemui tidak serta merta menjadikan mereka acuh dan mendahulukan kepentingan masing-masing. Pada dasarnya tim penasehat Obama dipilih karena dianggap punya potensi dan optimis bisa mewujudkan dunia tanpa perbudakan modern. “Masing-masing dari kami sebagai penyintas punya passion, visi dan misi yang berbeda. Tapi tujuan kami sama yakni bagaimana menghentikan perdagangan manusia. Ini adalah ‘perang’. Kami tidak tahu kapan kita menang, dan kapan perdagangan manusia akan hilang. Tapi kita tidak pernah putus asa, kami akan tetap melakukan usaha untuk mewujudkannya” tutup Shandra. (1001)