Kabarinews – Pidana mati di Indonesia selalu memantik pro dan kontra. Salah satu pihak yang kontra dengan pelaksanaan hukuman mati adalah Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM) dan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang berada dalam posisi menolak pidana mati.

Berdasarkan dari  data yang terhimpun oleh ELSAM dan ICJR, semenjak 1987 ada setidaknya 189 terpidana yang telah dijatuhi pidana mati, dari jumlah tersebut, sampai dengan Januari 2015, masih ada 164 terpidana mati yang menunggu eksekusi Jaksa Agung.  Menurut keterangan Kejaksaan Agung, eksekusi mati yang jatuh pada hari Minggu, (18/1) merupakan eksekusi mati gelombang pertama. Artinya, masih ada gelombang eksekusi berikutnya yang akan dilakukan pada tahun ini.

Keputusan tersebut bagi ELSAM dan ICJR dalam siaran persnya, Jumat, (16/1) menegaskan absennya komitmen HAM dari pemerintah Indonesia, utamanya dalam melindungi hak untuk hidup (right to life). Terlebih karena dalam dua tahun terakhir ini pemerintah menerapkan praktik hukuman mati secara eksesif. Tahun 2013, berdasarkan data dari Kejaksaan Agung, tercatat ada 5 terpidana yang telah dieksekusi. Situasi ini kontras sekali dengan kecenderungan dunia internasional yang kini tengah bergerak menuju penghapusan hukuman mati.

Penerapan hukuman mati menunjukkan sikap pemerintah masih menutup mata terhadap berbagai kontradiksi dan risiko-risiko pemberlakuan aturan hukuman mati. Setidaknya terdapat tiga argumen pokok mengapa hukuman mati menjadi tak relevan untuk diterapkan di Indonesia.

Pertama, penerapan hukuman mati bermasalah secara konseptual, bertentangan dengan hak untuk hidup dalam konstitusi.Kedua, penerapan hukuman mati juga bermasalah dalam tataran implementasi. Hal ini terkait dengan sistem hukum di negeri ini yang masih korup. Ketiga, pemberlakuan hukuman mati juga sejatinya bertentangan dengan tujuan pemidanaan. Tujuan pemidaan pada dasarnya adalah koreksi, bukan ajang pembalasan dendam.

ELSAM dan ICJR juga menyerukan agar pemerintah segera menangguhkan eksekusi mati untuk terpidana kasus kejahatan narkoba tersebut dan secara konsisten melakukan moratorium hukuman mati sebagaimana disarankan oleh Komite ICCPR. Moratorium eksekusi pidana mati, juga sekaligus akan menaikkan posisi pemerintah di dunia internasional.

Terlebih Indonesia juga menghadapi kenyataan setidaknya ada lima sampai tujuh TKI yang terancam dipidana mati di Arab Saudi, Malaysia, Emirat Arab dan Hongkong. Kritik Pemerintah Indonesia terhadap pelaksanaan pidana mati bagi TKI di luar negeri tentu saja akan terlihat lebih nyaring apabila di dalam negeri Indonesia menunjukkan sikap adil terkait pengetatan pidana mati.

Selain itu ELSAM dan ICJR menyatakan agar pemerintah meminimalisir penggunaan ancaman hukuman mati, dalam penanganan kasus-kasus kejahatan, sehingga bisa menjadi titik permulaan untuk melakukan penghapusan terhadap keseluruhan ancaman pidana mati. Penghapusan hukuman mati menjadi satu hal yang tak bisa ditawar-tawar lagi.

Pertama, tidak dapat diperbaikinya lagi kemungkinan terjadinya kekeliruan (error judiciaire) karena yang bersangkutan telah meninggal. Kedua, penerapan hukuman mati tak pernah memicu turunnya angka kejahatan, karena statistik tidak menunjukkan demikian. Efek jera yang selama ini menjadi jantung argumen penerapan hukuman mati tak pernah terbukti, baik di Indonesia maupun belahan dunia lainnya. Ditegaskan PBB, tak-ada bukti ilmiah yang meyakinkan bahwa hukuman mati dapat mengurangi tingkat kejahatan.(1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/74310

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Allan Samson

 

 

 

 

Kabaristore150x100-2