Hampir jam delapan pagi. Hari
itu, Minggu 26 Desember 2004, cuaca kota Banda Aceh sedikit mendung.
Tak begitu terang. Orang-orang beraktifitas seperti biasa. Ada yang
berangkat ke pasar, bersih-bersih rumah, ada pula yang tengah senam
pagi. Lalu bumi terasa bergetar, tak banyak yang menyadari gempa
tersebut akan disusul bencana dahsyat yang akan mengubah semuanya.
Beberapa yang menyadari tengah terjadi gempa, segera keluar rumah. Yang
lain tidak.
Beberapa saat kemudian, terdengar suara gemuruh dari
arah pantai, air bah setinggi lebih dari tiga meter menerjang masuk ke
kota. Menghantam apa saja yang menghalanginya sambil menyeret aneka
benda. Atap rumah, balok-balok kayu, dinding-dinding rumah yang jebol,
potongan besi dan seng, motor, mobil, truk, ternak, hingga tubuh
manusia. Orang–orang berteriak histeris. Kekuatan air bah itu begitu
menghancurkan. Gedung, rumah dan bangunan lain seolah tak berdaya.
Hancur berkeping diterjang amuk gelombang. Mereka yang terlambat keluar
rumah dan berlari ke tempat lebih tinggi, tersapu dan hampir dipastikan
tak akan selamat.
Barangkali baru kali itulah, manusia melihat
pemandangan menakjubkan sekaligus memilukan. Ribuan manusia berlarian
dikejar air bah yang masuk hingga ke pusat kota sejauh empat kilometer
dan amuk gelombang menyapu pantai sepanjang seribu kilometer.
Cukup
setengah jam saja. Pulau Simalue, Pulau Nias, serta sebagian daratan
Aceh Barat porak poranda. Lebih dari 130 ribu orang tewas, 37 ribu
orang hilang hanya dalam satu hari. Hari itu juga, ratusan ribu orang
mendadak menjadi duda, janda, yatim piatu, bahkan sebatang kara
kehilangan sanak saudara.

Mayat bergelimpangan
dimana-mana. Dari selokan hingga ke atap rumah. Perlu waktu
berbulan-bulan mengevakuasi mayat-mayat itu. Sampai detik inipun,
sesekali masih ditemukan kerangka manusia yang diduga korban tsunami
2004. Dari ratusan ribu orang yang tewas, tak sampai separuhnya bisa
diidentifikasi. Selebihnya, tewas tanpa nama.
Hari-hari selanjutnya
Banda Aceh bagai kota mati. Bau busuk mendera. Hampir di setiap sudut
kota, mayat bergelimpangan dengan kondisi yang memprihatinkan.
Menggelembung dan membusuk. Dalam sehari bisa ditemukan ratusan mayat.
Begitu memilukan.

Sukur dan Maemunah

Korban
terjangan tsunami seperti Abdullah Sukur (43), hanya bisa termenung.
Pedagang di pasar tradisional Aceh ini tak bisa berkata apa-apa.
Airmatanya seolah kering. Ia kehilangan istri, empat anak, Ayah, dan
adik dalam sekejap. Ia hanya menemukan jenazah dua anaknya, sementara
yang lain hilang entah kemana. Sebelumnya Sukur masih yakin bahwa
keluarganya masih hidup, tapi empat tahun berlalu tanpa jejak mereka,
membuat Sukur pasrah.
Saat terjadi gempa, Sukur sempat menghubungi
adiknya di rumah. Kata adiknya, keluarganya aman-aman saja. Lalu sukur
kembali berjualan. Beberapa saat kemudian ia melihat ratusan orang
berlari ketakutan lewat depan tokonya. Ia telepon adiknya lagi. Tapi
kali ini ponsel adiknya tak bisa dihubungi. Saat sedang kalut seperti
itu, tiba-tiba air bah datang. Ia berlari sekencang-kencangnya menuju
Masjid Baiturahman dan naik ke atasnya. Di sana Sukur berteriak-teriak
menyebut keagungan Illahi sambil menangis membayangkan nasib
keluarganya di rumah. Begitu air surut, Sukur langsung berlari pulang,
berharap keluarganya selamat. Tapi apa daya, rumahnya tinggal puing.
Dan ia menemukan jenazah dua anaknya yang masih berusia 4 dan 9 tahun
tersangkut di sebuah pagar besi di pinggir jalan. Hati Sukur remuk
redam.
Demikian juga yang dialami Maemunah (39). Pada saat kejadian,
Maemunah sedang ikut pengajian di rumah kerabatnya. Maemunah bersama
ibu-ibu yang lain sempat keluar ketika gempa pertama kali terjadi. Tapi
ia takut pulang, apalagi saat itu orang-orang mulai berteriak, “Awas
air..” berulang-ulang. Maemunah hanya bisa berdoa semoga suaminya
sempat menyelamatkan dua anaknya yang masih kecil-kecil.
Bersama
Ibu-Ibu pengajian, Maemunah lari menjauhi kota. Saat itu mereka tak
mungkin berbalik arah, karena air seolah mengejar dari belakang. Satu
jam kemudian ketika air mulai surut, Maemunah pulang sambil menangis
tersedu-sedu. Rumah Maemunah berserta isi dan penghuninya hanyut
diterjang gelombang. Berhari-hari ia mencari suami dan anak-anaknya.
Sampai-sampai, ia mengais-ngais selokan. Maemunah akhirnya menemukan
mereka telah terbujur kaku di Masjid Baiturahman, yang saat itu juga
dipakai sebagai tempat persemayaman sementara jenazah korban tsunami.
Bagi
Sukur dan Maemunah, kejadian empat tahun lalu itu tak mungkin bisa
dilupakan, luka yang menganga itu tak mungkin bisa ditutup begitu saja.
Tapi
hidup harus berjalan terus. Keduanya bertemu dan berkenalan dalam suatu
acara konseling pemulihan trauma yang diselenggarakan oleh sebuah NGO.
Dalam kondisi yang remuk redam, keduanya saling berbagi, saling mengisi
dan saling menguatkan. Akhirnya, duda dan janda itu memutuskan menikah
pada Agustus lalu. Sukur kembali berdagang dan Maemunah mengajari
mengaji anak-anak di lingkungan mereka. Mereka berjuang dari nol lagi.

Aceh kini

Empat
tahun pasca bencana. Pembangunan infrastruktur Aceh yang hancur masih
terus berlangsung. Badan Rehabilitasi dan Restrukturisasi (BRR)
Aceh-Nias mencatat ratusan ribu rumah hancur. Kerugian mencapai
triliunan rupiah. BRR Aceh-Nias juga mengkoordinasi bantuan kemanusiaan internasional dari 44 negara. Bantuan itu konon mencapai puluhan juta dollar.
Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) BRR Aceh-Nias
melaporkan, jumlah rumah baru yang telah terbangun hingga Juni 2008
sebanyak 112.346 unit. Selain itu, juga dibangun 787 unit fasilitas
kesehatan, 1.045 unit sekolah, 2.542 kilometer jalan, 11 bandara atau
airstrip, dan 18 pelabuhan laut. Di samping itu, 96.819 hektar lahan
pertanian telah direhabilitasi atau dicetak baru.
Kehidupan
masyarakat Aceh mulai pulih, meski belum seratus persen. Ekonomi
kembali bergeliat. Apalagi dengan kondusifnya keamanan Aceh pasca
perjanjian damai Helsinki antara pemerintah RI dan GAM. Kepala BRR Aceh-Nias,
Kuntoro Mangkusubroto, menyebut kemajuan ini sebagai kerja keras semua
pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, NGO,
hingga rakyat Aceh sendiri. Rakyat Aceh, ya.. rakyat Aceh memang
seperti tiada habisnya didera kepedihan. Dijadikan sasaran perang
kolonialis, menjadi Daerah Operasi Militer, hingga bencana tsunami.
Tapi mereka tetap tabah, dan siap menyongsong kembali masa depan.(yayat)

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?32271

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket