Mungkin tak
ada yang menandingi Indonesia
dalam hal kekayaan alam. Negeri ini begitu melimpah dengan kekayaan alam yang dapat
dijadikan sumber penghidupan. Salah satunya, Energi Panas Bumi.

Energi panas bumi adalah energi panas yang tersimpan dalam
batuan di bawah permukaan bumi dengan fluida yang terkandung di dalamnya. Pemanfaatannya
dapat dibagi menjadi dua jenis, pemanfaatan langsung (tanpa konversi) dan
pemanfataan tidak langsung (dengan konversi).

Pemanfaatan langsung telah dilakukan sejak lama oleh
masyarakat. Panas bumi tidak dikonversi tetapi langsung dimanfaatkan sebagai sumber
panas. Misalnya untuk pariwisata dan pertanian.

Sementara pemanfaatan
tidak langsung ialah dengan mengkonversi panas bumi yang berbentuk uap menjadi
tenaga listrik. Uap panas
dialirkan ke turbin, dan kemudian turbin
akan mengubah energi panas bumi menjadi energi gerak yang akan memutar
generator sehingga dihasilkan energi listrik.

Sampai November
2009 Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengidentifikasi
265
lokasi sumber energi panas bumi di Indonesia dengan potensi mencapai sekitar 28,1
Giga Watts Electrical (GWe), atau setara dengan 12 miliar barel minyak bumi untuk
masa pengoperasian 30 tahun.

Angka ini tentu sangat menjanjikan di tengah cadangan minyak bumi yang semakin hari semakin menipis. Selain itu Energi Panas
Bumi memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber energi terbarukan yang
lain, diantaranya hemat ruang dan dampak emisi sangat minimal, mampu
berproduksi secara konstan selama 24 jam, serta memiliki tingkat ketersediaan yang
sangat tinggi.

Namun apa yang tampak diatas kertas tak seindah aslinya. Pemanfaatan
potensi panas bumi sebagai energi alternatif dan terbarukan ternyata masih belum
maksimal. Saat ini kapasitas terpasang ladang atau sumur energi panas bumi baru
sekitar 1.189 MW, atau hanya 4 persen dari potensi yang dimiliki. Bandingkan
dengan Filipina yang telah memanfaatkan 44,5 persen potensi energi panas
buminya.

Pemerintah sendiri bukannya tanpa rencana, Peraturan
Presiden (Perpres) No. 25/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) jelas menargetkan
peningkatan pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkit listrik hingga 9000
MW pada 2025. Selain itu, beberapa waktu lalu Pemerintah juga telah membentuk unit
baru yakni Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi di
lingkungan Kementerian ESDM.

Kita sepakat pemerintah memberi perhatian kepada pengembangan
dan pemanfaatn energi terbarukan. Tetapi perhatian saja tidak cukup. Harus ditempuh
langkah-langkah strategis dan berkesinambungan yang sifatnya nyata, terintegrasi
serta menyeluruh. Karena banyaknya kendala dalam pembangunan pembangkit energi
terbarukan, dalam hal ini energi panas bumi.

Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) memerlukan
biaya yang tinggi. Mulai dari survei atau pemetaan, analisis dampak lingkungan,
hingga pembuatan sumur (reservoir). Pembangunan PLTP juga dikhawatirkan
berdampak pada lingkungan hidup di sekitar proyek, baik secara fisik maupun sosial.

Sumber panas bumi terkait dengan struktur geologi suatu
kawasan. Yakni uap panas dihasilkan dari magma perut bumi atau pegunungan. Karenanya mayoritas lokasi potensi energi panas
bumi berada di kawasan ekologi hutan. Sementara
energi panas bumi tidak dapat disalurkan dengan pipa gas, sehingga pembangkit harus dibuat di titik panas bumi berada.

Pembebasan hutan atau lahan yang kerap bermasalah, pengaruh
terhadap kondisi tanah dan sumber air, serta dampak terhadap ekosistem hutan, harus
menjadi agenda penting dalam menyelaraskan eksploitasi energi panas bumi dengan
lingkungan hidup di sekitarnya.

Pemerintah telah membuat aturan bahwa pembangunan suatu
proyek yang berada di kawasan hutan, harus menyediakan lahan pengganti.
Kebijakan ini sangat tergantung bagaimana akuntabilitas birokrasi itu berjalan. Pasalnya,
banyak kasus menunjukan, proyek tetap berjalan meski si penanggung jawab proyek
belum menyediakan lahan pengganti.

Diharapkan pemerintah berlaku tegas, baru membolehkan beroperasi
jika lahan pengganti sudah disediakan penanggung jawab proyek. Jangan sampai peristiwa
pembangunan Waduk Kedung Ombo tahun 1985 yang hingga sekarang belum menyediakan
lahan pengganti, terulang.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?35833

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :