“cabe-cabean” dan “terong-terongan” telah menjadi fenomena sosial saat ini. Istilah “cabe-cabean” itu mengacu kepada perempuan yang umumnya digunakan untuk menggambarkan gadis di bawah umur yang mulai merintis bisnis prostitusi. Awalnya, “cabe-cabean” adalah sebutan untuk perempuan ABG yang menjadi bahan taruhan di arena balap liar. “cabe” balapan yang sudah sering berhubungan seksual memilih untuk menjual dirinya.
Nah, “terong-terongan” merupakan pembalap motor liar atau trek-trekan yang lambat laun berubah. Mereka jadi jarang balapan dan lebih sering nongkrong di tempat-tempat contohnya seperti di bawah jalan layang. Perubahan ini mereka lakukan demi mengimbangi gaya hidup “cabe-cabean”.
Keduanya mempunyai persamaan yaitu, dilakoni oleh mereka yang masih berumur belasan. Fenomena ini tercipta, kata Arist Merdeka Sirait ( Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia) saat dihubungi kabarinews.com, dari mereka maksudnya remaja yang mempunyai energi berlebih dalam mencari jati diri dan pengakuan atas dirinya. “Menjadi hal yang wajar bagi remaja kebanyakan, mereka masih muda dan mempunyai banyak energi positif dan negatif yang di dalamnya terkandung hasrat biologis, hormonis yang bergejolak, dan yang lainnya” kata Arist.
Hanya saja energi positif tidak terfasilitasi dengan baik di rumah maupun di sekolah, jadilah energi negatif yang dominan dan jalanan menjadi tempat pelariannya. Arist mengatakan ditambah lagi dengan pendidikan seks yang mereka terima minim sifatnya, kurangnya pengawasan orang orang tua dan kemajuan teknologi, yang salah satunya semakin menjamurnya jejaring sosial. Khusus untuk “cabe-cabean” teknologi membuka diri mereka semakin eksis seraya mencuri perhatian bagi siapa saja yang haus akan sensasi. “Orang dewasa lah yang memanfaatkannya dan ‘cabe-cabean’ pun akhirnya menjadi semacam bentuk penyimpangan seksual di tengah masyarakat” bilang Arist.
Namun bukan berarti fenomena ini tidak dapat dibendung, solusi untuk menghindari semakin meluasnya fenomena ini, kata Arist, salah satunya adalah perlunya pemahaman mengenai pendidikan seks yang lebih baik karena dampaknya akan dirasakan oleh para remaja tersebut. “Hal ini bisa dilakukan pertama kalinya tentu dari keluarga mereka masing-masing yang perlu mengawasinya lebih ketat dengan melarang keluar malam dan tak ketinggalan adalah peranan sekolah” tutur Arist. (1009)
Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?62790
Untuk melihat artikel Sana-Sini lainnya, Klik disini
Supported by :