Film tiga dimensi sedang mewabah tahun ini dan akan berlanjut
tahun depan. Dipastikan sudah ada sekitar 30 film 3D yang antri rilis
mulai April sampai akhir tahun 2011. Dari mulai genre dokumenter,
animasi, horor, fiksi ilmiah, sampai epik. Apakah ini sekedar tren,
unjuk kecanggihan spesial efek, atau mengacu pada segi keuntungan
kantong para pekerja industri film?

Menurut Tim Burton, sutradara film Alice in Wonderland, fenomena ini
bisa dibilang membanggakan sekaligus mencemaskan. Karena menurutnya
pasti akan ada film-film yang dipaksakan ikut arus 3D meski tidak cukup
kuat. Baik dari segi cerita maupun spesial efeknya. Setiap industri
selalu mengacu pada satu hal yang sukses, tapi bukan berarti latah tanpa
memperthitungkan kemampuan sendiri. Ujar Tim yang juga menggarap Alice
in Wonderland dalam versi 3D.

Film panjang pertama dengan efek 3D adalah “Bwana Devil” karya
sutradara Arch Oboler. Film bergenre petualangan ini rilis di tahun
1952. Dulu, film ini dimaksudkan untuk kembali mengajak orang
berbondong-bondong datang ke bioskop, bukan hanya menonton televisi di
rumah.

Alasan ini kembali terulang beberapa puluh tahun setelahnya. Saat
orang-orang lebih menyenangi nonton film di televisi secara gratis, maka
dipikirkan cara agar mereka kembali tertarik datang ke bioskop. Selain
itu, film 3D ditujukan untuk ‘melawan’ pembajakan dvd. Maka setelah
Bwana Devil, film lain pun mengekor seperti “It Came From Outer Space”
(1953). Dan berlanjut sempai era 80-an seperti “Friday the 13th Part 3”
(1982) dan “Jaws 3D” (1983).

Tapi ternyata dari hasil survei yang dilakukan para pekerja film
Hollywood, tidak semua orang menikmati menonton film dengan versi 3D.
Apalagi kalau adegannya sangat cepat dan berdarah-darah. Seperti
komentar salah seorang penonton “Alice in Wonderland” yang dilayangkan
ke Tim Burton. “Film ini sangat indah dan menarik, tapi bikin sakit
kepala dan sakit telinga saat terjadi adegan perkelahian dengan raungan
yang keras.” Itulah salah satu efek yang mesti diwaspadai, kebanyakan
nonton film 3D bikin sakit kepala, mata, dan telinga. Jangan lupa, kita
juga harus merogoh kocek lebih dalam karena harga nontonnya berbeda
dengan film konvensional.

Sejumlah sutradara Hollywood kondang mengaku membatasi membuat film
3D. Meski diakui merupakan suatu keasyikan tersendiri, tapi jika terlalu
banyak tentu saja malah jadi tidak menyenangkan.

Banyak kritik dilontarkan soal akibat menonton film 3D selama hampir dua
jam. Kepala rasanya nyut-nyutan dan matapun capek. Jadi masalah juga bagi
mereka yang memakai kacamata. “Kacamata 3D mesti dipakai untuk
menghidupkan karakter dan spesial efeknya tapi tetap saja buram kalau
aku menanggalkan kacamataku. Bingung, kan, masak aku pakai dua-duanya?”
keluh salah satu penonton Avatar di media U.K.

Sebuah fenomena memang selalu mendatangkan pujian dan kritik. Tinggal
kita lihat sampai berapa lama bertahan. Paling tidak sampai 2011,
bioskop kita masih diserbu film-film panjang versi 3D. Bahkan tersiar
kabar film “Titanic”, “Star Wars” dan serial “Adams Family” akan dibuat
ulang dengan versi tiga dimensi. Bagi penggemar film animasi dan fiksi
ilmiah, silakan tunggu film versi 3D, “Iron Man 2”, “Clash of the
Titans”, “Toy Story 3”, “Legends of Flight”, “Shrek Forever After”,
“Happy Feet 2”, “Smurfs”, “Alvin and the Chipmunks”, “Ghosbuster 3” dan
masih banyak lagi. Untuk penggemar film musikal, tunggu saja versi tiga
dimensi, “Step Up”. (riana)

Untuk Share Artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?34684

Untuk melihat Berita Amerika / Amerika / Film lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :