Glodok dengan luas 37,60 hektar, adalah sebuah kelurahan dengan penduduk 11.428 jiwa atau 3.558 KK. Tingkat kepadatan huniannya 304 KK / km 2. Di utara Glodok berbatasan dengan Kelurahan Tamansari, bagian selatan dengan Kelurahan Keagungan, bagian barat Kelurahan Tambora dan bagian timur dengan Kelurahan Mangga Besar. Hampir seluruh warganya berniaga. Ada yang bergerak di industri rumah, restoran, pedagang kelontong, rumah kost sampai pedagang sayur.

Glodok adanya sekarang adalah Gldok Plaza, Harco yang kondang itu, Glodok Jaya, Pasar Pagi, Pasar Glodok, City Hotel, Hayam Wuruk Indah dan Toko Tiga yang berusia tua, dan lain-lain. Di pusat-pusat perbelanjaan ini, berniaga lebih kurang 10.000 pedagang. Nilai transaksi perdagangan setiap hari di Glodok mencapai 50 Milyar Rupiah, tentu sebelum adanya krisis ekonomi. Disinilah transaksi rupiah terbesar setiap hari di Indonesia

Orang Tionghoa dan Glodok tidak bisa dipisahkan. Glodok sama tuanya dengan Jakarta. Memang, sejak VOC memulai perdagangannya di Batavia pada tahun 1611 – yang saat itu Gubernur Jenderal Belanda dipegang oleh Pieter Both, orang Tionghoa telah meyertainya. Namun, Jan Pieterszoon Coen-lah yang membangun Batavia. Gubernur Jenderal yang terkenal ini, sangat menyukai orang Tionghoa karena mereka ulet dan mudah diatur. Kemudian menjadi pedagang perantara bagi VOC, sehingga dianak emaskan.

Tidak lama setelah Jan Petercon Zoen membuka pelabuhan Sunda Kelapa, orang Tionghoa mendirikan perkampungan di Glodok. Pertalian Pelabuhan Sunda Kelapa dengan Glodok masih menyisakan saksi sejarah. Tertera di peta lama, kawasan ini banyak terdapat kanal yang dibangun oleh VOC. Kanal Jalan Petak Sembilan, Pancoran, Kali Krukut dan Kali Besar menghubungkan Glodok dengan Pelabuhan Sunda Kelapa. Melalui kanal-kanal inilah saudagar membawa dagangannya ke Glodok. Jadilah Glodok sebagai pusat perdagangan internasional sejak itu.

Willard A. Hanna dalam bukunya Hikayat Jakarta menulis, perkembangan pesat. Batavia menarik hati bagi orang Tiongkok. Sedangkan orang Tionghoa di Banten dan Malaka, secara besar-besaran berimigrasi ke Batavia – sehingga menjelang tahun 1632 jumlahnya mencapai 2.300 jiwa. Orang Tionghoa paling kaya dan berpengaruh, atau konglomerat Batavia ketika itu adalah Souw Bing Kong, dipanggil Kapten Bengkong yang hidup bagai raja-raja Mandarin.

Kemesraan orang Tionghoa dengan Belanda tercoreng lembaran hitam ketika tentara Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa pada tahun 1740. Ketika itu penduduk Tionghoa di Batavia mencapai 80.000 jiwa, dianggap suatu jumlah yang berlebihan. Orang Tionghoa ini bekerja di perkebunan tebu, pabrik gula dan perusahaan perkayuan. Ribuan pula yang menjadi pengangguran, gelandangan dan membuat kejahatan. Gubernur Jenderal Adrian Valkenier memerintahkan menangkapi orang Tionghoa untuk dikirim ke Ceylon. Penangkapan-penangkapan tersebut membuat orang Tionghoa berontak. Pemberontakan tersebut dibalas Belanda dengan pembantaian. Ribuan orang mencari perlindungan di rumah-rumah pribumi, ada yang masuk Islam dan melarikan diri ke hutan. Pembantaian tersebut terjadi di pinggiran Glodok sekarang. Orang Tionghoa cepat bangkit dari musibah yang dialaminya, namun tidak pernah beranjak dari Glodok. (Rizal)

Untuk Share ini Artikel, Silahkan Klik  www.KabariNews.com/?2527

Mohon Beri Rating dan Komentar dibawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

April Insurance

Lebih dari 100 Perusahaan Asuransi di California

Klik www.ThinkApril.com atau telpon sekarang 1-800 281 6175