Apa yang ada dalam benak para teroris ketika beraksi? Apa yang bisa dirasakan para korbannya? Juga, bagaimana sulitnya kehidupan yang harus dijalani ekstremis yang sudah tobat? Pertanyaan-pertanyaan itu akhirnya terjawab dalam Konferensi Melawan Kekerasan Ekstremisme (Summit Against Violent Extremism/SAVE) yang diadakan Google Ideas di Convention Centre of Dublin (CCD) pada 26 Juni hingga 29 Juni 2011.

Sejumlah pelaku dan korban bisa duduk bersama dalam satu forum, saling berbicara, dan kemudian merumuskan strategi untuk menghentikan kekerasan karena ekstremisme tersebut. 
Yang paling diminati pada hari terakhir kemarin adalah sesi yang menghadirkan presiden Kolombia yang baru lengser, Alvaro Uribe Valez.
Dia disandingkan dalam satu panel dengan Vera Grabe dan Ricardo Ramirez, dua mantan pentolan Fuerzas Armadas Revolucionarias de Colombia (FARC, sayap militer komunis Kolombia yang menjadi pemberontak saat pemerintahan Alvaro, Red).
Pada 1983, ayah Alvaro ditembak mati gerilyawan FARC pimpinan Vera dan Ricardo dalam sebuah upaya penculikan yang gagal. Panel sesi itu juga menghadirkan Mark Henderson, turis AS yang pernah diculik gerilyawan FARC di hutan-hutan Kolombia.
Dengan bahasa Spanyol yang kemudian diterjemahkan, Alvaro menyatakan bahwa dirinya harus bisa memaafkan FARC atas pembunuhan ayahnya. “Untuk kepentingan rekonsiliasi nasional, saya harus bisa memaafkan. Saya pikir ayah saya pasti akan mengerti,” kata Alvaro yang langsung mendapat tepuk tangan audiensi.
Di bagian lain, Vera maupun Ricardo mengungkapkan, setelah belasan tahun bergerilya, mereka merasa seperti kosong. “I feel like disillusionment (saya merasakan kekecewaan). Dengan kekerasan, perjuangan yang kami lakukan bertahun-tahun tak membuahkan perdamaian,” tuturnya. Itulah yang kemudian membuat Vera pada 2002 banting setir. Dia kemudian mendirikan sebuah LSM bernama Center for Peace.
Selain itu, dalam sesi tersebut dihadirkan Amanda Lindhout, mantan jurnalis yang diculik selama berbulan-bulan oleh gerilyawan Somalia dan baru dibebaskan pada 2009. Dalam forum tersebut, dia bertemu Moe Muhamed, salah seorang anggota kelompok militan Somalia. Seperti Alvaro dengan FARC, Amanda menyatakan, kunci untuk melangkah maju dan menghentikan kekerasan adalah dengan cara memaafkannya. Amanda memang luar biasa. Setelah dibebaskan, dia mendirikan LSM bernama Global Enrichment Foundation untuk memberdayakan kelompok militan yang menculik dirinya tersebut. 

Indonesia menghadirkan Ali Fauzi dan Febby Firmansyah Irwan. Febby adalah salah seorang survivor bom JW Marriott yang dilakukan Jamaah Islamiyah, tanzhim jihadi, dengan Ali Fauzi sebagai pentolannya. “Acara ini memang luar biasa. Saya merasakan tak ada unsur dendam dari para korban. Seperti saya dengan Febby ini,” ujar Ali Fauzi lantas merangkul erat kawannya tersebut. Febby mengungkapkan, dirinya telah mengikhlaskan semua. Karena itu, dia harus memberikan maaf.

Sesi hari kedua tersebut merupakan sesi panjang terakhir dalam konferensi. Menurut Direktur Google Ideas, Jared Cohen, hari pertama memang lebih banyak digunakan untuk merumuskan apa yang salah sehingga banyak kaum muda yang bergabung dengan kelompok militan. “Pada hari kedua ini, kami lebih banyak bicara tentang konkretisasi program,” tutur pria 29 tahun tersebut.
Konkretisasi program itu membahas penataan ulang jaringan sosial. “Intinya, kami ingin melakukan sesuatu untuk melawan ekstremisme. Sebab, perbuatan ekstremisme ini berefek terhadap semua aspek kehidupan,” ujar pria yang mulai diprediksi menjadi presiden AS pada masa mendatang tersebut.
Sementara itu, penampilan delegasi dari Indonesia menuai pujian. Dalam sesi “menemukan dasar dari semua bentuk ekstremisme”, salah seorang delegasi Indonesia, yakni Direktur Yayasan Prasasti Perdamaian Noor Huda Ismail, menjadi salah seorang panelis. Uraiannya mendapat pujian.
“Saya melakukan rebranding terhadap mereka dan mentransformasikan kawan-kawan jihadi ini. Singkatnya, dari yang biasa membuat bom, mereka kini membuat bebek goreng atau membuat iga bakar,” katanya yang kemudian disambut tawa dan tepuk tangan peserta.
Jangankan menawarkan deradikalisasi, Noor Huda menyatakan, dirinya mempersilakan bagi mereka yang mau radikal untuk tetap radikal. “Tapi, harus benar-benar melihat konteks dan perjuangannya. Sebab, jihad, atau apa pun sistem pertahanan, itu dipunyai tradisi mana pun,” tegasnya.
Hadirin pun kemudian bertepuk tangan ketika dia menyatakan telah membentuk restoran sebagai wadah bagi para mantan ekstremis untuk memulai hidup baru.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36952

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini


Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :