Penghargaan Ramon Magsaysay (yang sering disebut sebagai Nobel versi Asia ini) diserahkan kepada Hasanain dan lima peraih lainnya di Kota Manila, Filipina, Rabu 31 Agustus.

Sebagai pemimpin Pondok Pesantren Nurul Haramain di Desa Lembuak, Lombok Barat, Propinsi Nusa Tenggara Barat, kini namanya sejajar dengan tokoh-tokoh seperti Abdurrahman Wahid, Mochtar Lubis, atau Pramoedya Ananta Toer, yang juga pernah meraih penghargaan Ramon Magsaysay. Tahun ini, selain Hasanain, warga Indonesia lainnya yang peroleh penghargaan ini adalah Tri Mumpuni. Tri berhasil memberdayakan masyarakat melalui pembangkit listrik tenaga air yang ramah lingkungan.

Hasanain mengaku bahwa energi terbesar yang memotivasinya dalam mengembangkan pesantrennya adalah nilai-nilai agama. “Energi saya dari ajaran agama,” jelas Hasanain Juaini. Melalui energi itulah, dia mampu menyulap lahan gundul di kawasan hutan seluas lebih dari 33 hektar menjadi hijau dan berpohon lebat.

Memakan waktu lebih dari 9 tahun, konservasi hutan dan ladang -yang melibatkan santri serta warga sekitar- kini berdampak luas dan terus berjalan. Sebagai pemimpin pondok pesantren yang mendalami nilai-nilai agama, alumni Pondok Pesantren Gontor (1984) ini, menganggap kearifan terhadap lingkungan sudah diatur dalam Al-Qur’an. “Kita sudah mendapatkan begitu banyak dari alam ini, maka kita harus tanya pada diri seberapa banyak yang kita berikan kepada alam,” ungkapnya, seraya menyitir sebuah ayat dari kitab suci itu.

Pemahaman agama, juga kultur, ternyata tidak cukup untuk meyakinkan warga sekitar pesantren. “Saya terpaksa membawa kalkulator ke mana-mana,” katanya mengenang upayanya meyakinkan warga tentang nilai ekonomi jika mereka mau melakukan penghijauan. “Dari segi materi, saya hitung, uang saya sekitar Rp 4,3 miliar habis. Tidak mungkin saya tidak melanjutkan. Saya harus lanjutkan. Akhirnya, saya singsingkan lengan baju, saya turun langsung dan bekerja,” ungkapnya.

Sekarang, setelah lahan menjadi hijau, Hasanain bertambah semangat. “Dan penghargaan Magsaysay membuat saya harus bekerja lebih keras lagi”.

Salah-satu alasan Yayasan Magsaysay menganggap Hasanain layak diberi penghargaan adalah karena komitmennya dalam mempromosikan kesetaraan gender di pesantren yang dipimpinnya. Di pondok pesantren yang didirikan tahun 1996 itu, Hasanain menerima dan mendidik santri putri sekitar 400 siswa, selain sekitar 500 santri putra.

Dia lantas memberi contoh program komputerisasi yang diterapkan di pesantrennya. “Saya dahulukan yang perempuan (untuk memperoleh fasilitas komputer). Secara rutin, Ketua Forum Pendidikan Anak Usia Dini di Propinsi Nusa Tenggara Barat ini juga mengundang sejumlah tokoh perempuan -mulai menteri hingga bupati perempuan- ke pesantrennya, agar dapat memotivasi para murid perempuannya.

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37228

Untuk melihat artikel Profil lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :