Sabtu pagi jam 10 di awal Mei 2007. Jalanan di persimpangan Distrik Castro yang biasanya ramai  masih lengang. Sementara itu Michelle Saraswati sudah bersiap membuka galeri seni di salah satu pojok tikungan itu. Gecko Gecko Art Shop itu menempati bagian bawah rumah bergaya Victoria. Di luar ada umbul-umbul mini. Di dalamnya ada berbagai barang seni Indonesia, mulai dari batik, kain ikat, wayang golek, lukisan sampai topeng Bali. Di sini Michelle membantu menjaga toko milik kawannya. Sehari-hari lulusan Arkitektur Trisakti ini bekerja sebagai drafter di Oakland.

“Ayo… masuk saja, “ begitu ujar Michelle menyilakan tamunya ke dalam. Suaranya lembut tanpa intonasi berat. Jika kurang perhatian, orang tidak menyangka bahwa dua tahun yang lalu Michelle adalah seorang lelaki  bernama Michael. Pagi itu wajah Michelle terlihat bersih dengan bedak tipis dan lipstik bening. Terkesan feminin dengan rok hitam yang dikenakannya. Dia duduk menyilangkan kaki di atas bar stool tinggi di belakang cash register. Ditemani musik gamelan Jawa kalem, meluncurlah kisahnya.

“Tolong…Tolong… keluarkan aku dari sini,“ ungkap Michelle membuka cerita. Dalam dua minggu pertama dia menjerit sejadi-jadinya ketika dijebloskan ke Penjara Santa Clara County. Meski di ID sudah tertera female, Michelle masih juga dimasukkan ke penjara lelaki. Ini pengalaman pertamanya yang mencekam mendekam di balik terali besi. Itu terjadi setelah empat agen ICE (Immigration Custrom Enforcement) menahannya karena pelanggaran imigrasi pada 8 Agustus 2006. Michelle terancam dideportasi dari Amerika Serikat karena klaim asylum sebagai lelaki berorentasi seksual gay ditolak di Pengadilan Imigrasi dan Board of Immigration Appeal di tahun 2005.

Singkat cerita, Michelle meringkuk di tahanan selama tiga bulan. Atas usaha kawan-kawan dekat dan Zachary Nightingale, pengacaranya, dia berhasil keluar dengan bond sejumlah duapuluh ribu dollar. Pengacaranya kemudian segera mengajukan banding ke Ninth Circuit Court, sejenis pengadilan tinggi di bawah Mahkamah Agung. Proses naik banding ini otomatis memberinya ijin tinggal sementara di Amerika Serikat. Pada tanggal 20 September 2006 kasus Michelle berhasil dibuka kembali di Pengadilan Imigrasi karena identitas gender sebagai transeksual.

Michelle tetap duduk di kursinya. Tangannya kemudian meraih dan menenggak segelas air putih di dekatnya dan kemudian berkata, “Saya sangat takut untuk pulang ke Indonesia karena impian saya menjadi diri sendiri akan buyar berantakan”. Sorot matanya sungguh menegaskan rasa takut dan cemasnya itu.

Percaya atau tidak, bisa jadi ini merupakan kasus pertama waria Indonesia mencari suaka di Amerika Serikat.

Seraya menarik napas dalam-dalam, Michelle mengungkapkan bahwa nama aslinya adalah Budi. Dia lahir dari keluarga Jawa tradisional di Surabaya. Ayahnya seorang dokter yang dominan dalam keluarga dan sangat ketat membesarkan anak-anaknya. Sedangkan ibunya bertipe ibu rumah tangga yang taat mengabdi suami. Sejak kecil Budi memang sudah punya kecenderungan menjadi perempuan. Tetapi itu ditekan dari awal oleh ayahnya dengan suntikan dan pil hormon lelaki. “Ingat, bapakku seorang dokter dan bisa melakukan itu secara privat di Indonesia, “ ujarnya.

Pendeknya, Budi dibesarkan di kota Surabaya dan Jakarta. Meski mengaku tidak terlalu religius dan ber-KTP Islam, Budi kebanyakan dididik di sekolah Katholik. Sejak tahun 1990-an dia mulai memakai nama keren Michael di antara teman-temannya. Secara perlahan Michael mulai membuka diri dan mengaku sebagai gay dalam lingkungan terbatas di Jakarta.

Tidak tahan dengan perlakuan terhadap gay di Indonesia, Michael meminta suaka politik di Amerika Serikat tahun 2001. Sementara itu hasrat menjadi dirinya sendiri sebagai perempuan itu masih tetap bergejolak dalam hati sanubarinya. Semula dia sama sekali tidak tahu menahu tentang komunitas transgender di Amerika Serikat. Setelah riset internet intens, dia menemukan Klinik Tom Waddel di San Francisco. Mulai tahun 2005, dia mulai menjalani konseling ganti kelamin menjadi perempuan. “Saya putuskan ini bukan untuk mendapatkan suaka politik. Ini keputusan hidup saya yang paling penting dan saya sangat bahagia sekali saat ini,“ ujarnya dengan mimik serius sembari memegangi satu kemasan berisi pil hormon estrogen dari Rite Aid.

Keputusan Michelle menjadi perempuan sudah bulat. Nama itu diambilnya dari kakak tertuanya yang meninggal sewaktu orok. Berbekal surat dokter tentang rencana operasi kelamin, di tahun 2006 dia meminta California ID dengan nama legal “Michelle Saraswati”.

Kebahagiaan Michelle itu akan berubah menjadi bencana jika dia dipulangkan ke Indonesia. Meminum sisa air putih dan mengusap rambutnya yang digunting seperti layaknya seorang perempuan, Michelle bilang, “Saya benar-benar takut pulang!”.

“Terus terang saya sudah tidak punya siapa-siapa lagi di Indonesia, “ ungkapnya. Orang tua Michelle sudah almarhum dan kakak adiknya praktis sudah tidak menganggapnya lagi sebagai saudara. Sudah membuangnya. Dia tahu bahwa keputusan untuk menjadi perempuan adalah noda hitam buat keluarga besarnya yang bernama harum di Indonesia.

Bukan itu saja, kerabat Michelle Saraswati masuk kalangan penting dalam lingkaran elite Indonesia. Jika salah satu anggota keluarga membawa cemar nama besar keluarga, tidak mustahil nama Michelle Saraswati akan “dibersihkan” sekalian di Indonesia.

Tidak hanya itu. Michelle sangat mengkuatirkan keselamatan dan jaminan hukum apabila hidup terbuka sebagai transgender di Indonesia. “Kasus pembunuhan waria tanpa proses hukum yang jelas masih sering terjadi,“ ungkap King Oei, aktivis di Arus Pelangi, sebuah LSM pembela hak kaum waria di Indonesia. Banyak orang Indonesia melihat waria adalah pekerja seks, drag queen atau pekerja salon kecantikan. “Saya tidak punya modal. Sebagai trans, mana ada perusahaan arkitektur yang mau menerima saya bekerja, “ ujar Michelle tanpa menanti jawaban.

Jangankan di Indonesia. Di Amerika Serikat sekalipun, Michelle yang Katholik ini menghadapi tantangan besar untuk diterima apa adanya di kalangan masyarakat Indonesia.

Hari-hari Michelle dipenuhi was-was menantikan tanggal sidangnya.

Menutup pembicaraan pagi, dengan mata berkaca-kaca Michelle Saraswati bilang, “Matur Nuwun ya”.

(peter)

Anda dapat mengklik berita terkait disini

Untuk Share Artikel ini, Silakan Klik www.KabariNews.com/?31697

Untuk melihat artikel imigrasi Amerika lainnya, Klik disini

Klik Disini untuk membaca Artikel ini di Majalah Kabari Agustus 2008 ( Kabari E-Magazine )

Mohon Beri Nilai dan Komentar di bawah Artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

Gihan Law Office