Kasus dugaan suap
dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dua pimpinan KPK, Bibit Samad
Riyanto dan Chandra M. Hamzah, masih berjalan panjang.

Terbitnya Surat Keputusan
Pemberhentian Penuntutan (SKPP) terhadap keduanya, rupanya bukan akhir cerita. Tetapi
justru babak baru yang menarik dicermati. Pasalnya, publik kini terkesan terbelah
menjadi dua kubu.

Kubu pertama menganggap
kasus ini adalah kriminalisasi pimpinan KPK untuk mengkerdilkan intitusi
tersebut dan mendesak agar kasus ini diakhiri. Sementara kubu yang lain, menganggap
harus tetap dilanjutkan untuk dibuktikan persidangan dan terlepas dari tekanan publik.

Dalam kasus ini
tekanan publik atau faktor sosiologis memang cukup besar dan berpengaruh
Tim
Independen Klarifikasi Fakta dan Proses Hukum Kasus Bbibt dan Chandra atau lebih dikenal “Tim Delapan” merekomendasikan
penerbitan SKPP yang kemudian dituruti Kejaksaan Agung.

Lalu sebenarnya bagaimana
kronologi kasus ini hingga bergulir bak bola panas seperti sekarang?

4 Mei 2009
Ketua KPK Antasari Azhar ditahan di Polda Metro Jaya sebagai
tersangka kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin
Zulkarnaen. Kasus ini diduga terkait soal wanita.

16 Mei 2009
Nyaris bersamaan dengan kasus Antasari, bergulirlah kasus
dugaan suap yang dilakukan pimpinan KPK. Dari balik penjara, Antasari kemudian membuat
testimoni tentang penerimaan uang sebesar Rp 6,7 miliar oleh sejumlah pimpinan
KPK. Antasari juga pernah bertemu dengan Anggoro Wijdjo, kakak Kandung Anggodo
di Singapura pada 10 Oktober 2008. Dalam testimoni tersebut, Antasari mengaku
mendapat pengaduan dari Anggoro,  bahwa Anggoro
menyuap sejumlah pimpinan KPK melalui adik kandungnya, Anggodo Widjojo.

24 Juni 2009
KPK menetapkan Direktur PT Masaro Radiokom Anggoro Wijodjo
sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat SKRT Departemen Kehutanan. Saat
itu Anggoro sudah lama lari ke Singapura.

6 Juli 2009
Antasari secara resmi melaporkan dugaan suap terhadap
pimpinan KPK terkait kasus yang melibatkan PT Masaro ke Polda Metro Jaya.

15 Juli 2009
Anggodo Widjojo, Anggoro Widjojo dan Ary Mulyadi membuat
pengakuan dirinya menyerahkan uang suap sebesar Rp 5,1 miliar ke pimpinan KPK
Bibit dan Chandra.

7 Agustus 2009
Laporan itu ditindaklajuti polisi, dan polisi mengaku
memperoleh fakta adanya tindak pidana penyalahgunaan wewenang oleh Bibit dan
Chandra terkait pencekalan dan pencabutan cekal yang tidak dilakukan secara
kolektif. Bukti itu, Chandra mencekal Anggoro, Bibit mencekal Joko Tjandra,
lalu Chandra cabut pencekalan terhadap Joko.
Bibit dan Chandra masih berstatus saksi.

15 September 2009
Bibit dan Chandra ditetapkan menjadi tersangka kasus
penyalahgunaan wewenang.



28 September 2009
Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto menunjukkan bukti foto di
Peru
saat kejadian pemerasan seperti disangkakan pada dirinya terjadi. Atas dasar
itu, Bibit yakin bahwa sangkaan pemerasan dan suap sehingga ia dan Chandra M
Hamzah tidak dilandasi dengan bukti yang kuat.



6 Oktober 2009
Presiden SBY melantik tiga orang Pejabat Pelaksana tugas (Plt)
Pimpinan KPK yang bertugas selama enam bulan, untuk menggantikan Bibit dan
Chandra. Mereka adalah mantan Wakil Ketua KPK Tumpak Hatorangan Panggabean, Mas
Achmad Santosa, dan mantan Deputi Pencegahan KPK Waluyo. Tiga nama ini
diperoleh SBY dari rekomendasi Tim Lima.

13 Oktober 2009
Pengacara Bibit-Chandra mendaftarkan permohonan uji materil
UU KPK No 20 Tahun 2002 ke Mahkamah Konstitusi. Pasal 32 ayat 1 yang berbunyi
‘Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi berhenti atau diberhentikan karena
menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan’.

21 Oktober 2009
Bibit mengatakan bukti rekaman percakapan pejabat Polri dan
Kejagung ada di tangan Ketua Sementara KPK.

23 Oktober 2009
Transkrip rekaman rekayasa kriminalisasi KPK beredar di
media massa.
Isinya percakapan antara Anggodo dengan mantan Jamintel Wisnu Subroto dan Wakil
Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga. Percakapan pada Juli-Agustus 2009 itu
disebut-sebut merancang kriminalisasi KPK. Nama petinggi kepolisian dan RI 1
juga disebut.

29 Oktober 2009
Dalam putusan selanya, MK menunda pemberhentian pimpinan KPK
ada putusan akhir MK. Selain itu, MK juga meminta KPK menyerahkan semua dokumen
berupa transkrip dan rekaman.

2 November 2009
Presiden SBY bentuk Tim Delapan (Tim Independen Klarifikasi
Fakta dan Proses Hukum Kasus Bibit dan Chandra) yang diketuai oleh Adnan Buyung
Nasution.

3 November 2009
Mahkamah Konstitusi (MK) memperdengarkan rekaman sepanjang
4,5 jam dalam persidangan uji yang berisi percakapan antara Anggodo dengan
sejumlah petinggi di Kejaksaan Agung dan Mabes Polri.

6 November 2009
Polisi menyatakan memiliki alat bukti kuat dalam kasus
dugaan pemerasan yang dilakukan dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
nonaktif Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. “Mobil dinas KPK dengan
nomor sekian ada di Pasar Festival, ada di Apartemen Belagio. Tapi ini semua
ada di BAP jadi tidak bisa kita tunjukkan. Insya Allah perkara ini sangat cukup
bukti untuk diajukan ke pengadilan,” ujar Kapolri Bambang Hendarso Danuri.

22 November 2009
Presiden SBY meminta agar kasus Bibit-Chandra tak perlu
diajukan ke pengadilan dan menginstruksikan Kapolri serta Jaksa Agung melakukan
tindak korektif ke dalam.

23 November 2009
Kejaksaan Agung melakukan konfrensi pers soal kasus
Bibit-Chandra. Sikap kejaksaan saat itu akan menyatakan berkas lengkap,  namun selanjutnya mengeluarkan SKPP.
Penerbitan ini sesuai rekomendasi Tim Delapan.

1 Desember 2009
Kejaksaan resmi mengeluarkan SKPP untuk Bibit dan Chandra.
Bibit dan Chandra Bebas. SKPP dikeluarkan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
 (Kejari)

24 Maret 2010
Anggodo Widjojo melalui pengacaranya melakukan gugatan praperadilan
atas SKPP tersebut ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

19 April 2010
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan
Anggodo dalam gugatan praperadilan. Akibatnya, dua pimpinan KPK tersebut tetap harus
dibawa ke pengadilan dengan dugaan pemerasan kepada Anggoro Widjojo, kakak
kandung Anggodo. Majelis Hakim menilai penerbitan SKPP adalah perbuatan melawan
hukum dan tidak sah.

3 Mei 2010
Kejaksaan Agung mengajukan banding terkait putusan penolakan SKPP yang dikeluarkan
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Banding diajukan ke pengadilan yang lebih
tinggi, yakni Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.

3 Juni 2010
Permintaan banding Kejaksaan Agung ditolak Pengadilan Tinggi
DKI Jakarta. Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menguatkan putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Alhasil, kasus Bibit-Chandra harus diteruskan ke persidangan.
Kubu Bibit-Chandra kemudian mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah
Agung.

8 Oktober 2010
Majelis hakim di Mahkamah Agung dalam putusannya tidak dapat
menerima permohonan Peninjauan Kembali SKPP yang diajukan kubu Bibit-Chandra. Hakim
menegaskan bahwa keputusan sebelumnya di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sudah inkracht alias berkekuatan hukum
tetap.  Bibit-Chandra pun langsung
menjadi tersangka lagi. Keduanya harus bersiap menghadapi persidangan dalam
perkara penyalahgunaan wewenang dan pemerasan. (sumber:tribunnews.com)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?35711

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Klik di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :