Siapa yang tidak mengenal desainer legendaris Indonesia yang satu ini. Kepiawaiannya menyulap sebuah kain menjadi sesuatu yang fantastis, glamoristis, berkelas tanpa meninggalkan unsur filosofi membuat serpak terjangnya dalam bidang mode busana sudah tidak perlu dipertanyakan lagi. Harry pun menjadi inovator dari karya yang dihasilkannya. Karya yang dibuat oleh tangannya menjadi anti-repetisi karena itu adalah sesuatu yang baru yang belum pernah ada sebelumnya.

Pembaharuan bagi Harry adalah suatu keniscayaan dan merupakan salah satu kunci karyanya. Seperti yang belum lama ini dia tunjukkan pada sebuah jenis busana batik, yaitu Batik Lasem yang ditampilkan dalam drama musical Putih Hitam Lasem yang dihelat di Jakarta beberapa waktu yang lalu.

“Pembaharuan dan pembauran itu adalah dua hal yang beda, pembauran itu sangat klasik dan tidak perlu diungkit. Contoh pembauran adalah 98 persen orang Indonesia semuanya peranakan tidak hanya orang Tionghoa saja, beda dengan di melayu yang arti peranakan berarti peranakan tionghoa. Jadi isu pembauran sudah agak sedikit lama dan harus ada pembaharuan “ kata pria yang lahir di Mojokerto, Jawa Timur, 15 Maret 1952 ini.

Harry menekankan yang diperlukan sekarang adalah pembaharuan seraya membuat sesuatu yang baru.

Harry Darsono-1Di Batik Lasem, Harry memodifikasinya menjadi sesuatu yang berbeda. Batik tersebut dikemas lebih modern mengikuti perkembangan zaman. Harry berkata, batik jika terus-menerus seperti batik seadanya, tidak akan menyentuh anak-anak muda seperti anak-anak K-pop. Batik selayaknya bersanding dengan syal Louise Vitton.“Batik tidak selalu tradisonal, dan saya anti dengan tradisionalisme. Saya lama di Inggris dan Perancis membuat kostum shakesperian, anak-anak muda tidak akan menyentuh pakaian yang dipakai oleh orang tuanya. Mereka tidak mau memutar jam kembali dan mereka mau yang baru” tuturnya.

Harry pun memberikan penjelasan, batik itu akan terlihat mahal jika tidak ditunjukkan semuanya. Jadi penerapannya itu secara fragmentasi saja, seperti bagian depan atau belakangnya saja. Batik ditampilkan sepotong-potong tanpa harus meninggalkan makna simbolisme dari batik itu sendiri. Batik Lasem bukan dari batik kanjengan seperti batik yang ada di Surakarta atau Yogyakarta Karena batik pesisir batik lasem sifatnya folknorik, atau batik-batik orang biasa tanpa banyak makna simboliknya seperti butung hong, kipas dan lainnya

Di Batik Lasem ini, warna yang dominan adalah warna merah. Selain itu juga kuning, biru, dan hijau khas pesisir. Namun dalam busana yang dibuat oleh Harry, warna-warna tersebut dicampurkan dengan warna lain supaya tidak terlalu berat. Seperti warna merah yang dicampurkan dengan orange dan pink, atau birunya dibuat lebih terang mengikuti perkembangan zaman.

Akan halnya dengan motif Batik Lasem. Motif batik ini banyak menampilkan motif flora dan fauna seperti burung hong, naga, seruni, teratai, hingga bentuk kipas. “Kalau biasanya motif kipas digambarkan sangat utuh dengan kerangkanya, saya justru menampilkannya dengan lebih sederhana, tanpa rangka dan tidak selalu simetris. Saya juga arahkan agar batik bisa dipadupadankan dengan jins atau kaos, supaya anak mudanya semakin tertarik,” tuturnya.

Harry Darsono mengatakan sudah sepantasnya derajat kain-kain batik Indonesia naik di mata dunia. Harry ingin batik lasem khususnya, dapat setara dengan Chanel. Kain batik itu sangat indah dan sudah saatnya bisa disejajarkan dengan merek luar negeri. Harry menginginkan agar para desainer Indonesia memiliki tujuan yang sama dengannya memajukan serta membuat kain batik khususnya dari daerah Lasem sejajar dengan merek seperti Dior dan Louis Vuitton. “Desainernya juga harus kreatif mengemas kain batiknya jangan sampai asal jadi saja. Harus dengan teknik yang bagus, menghargai kain batik, menghargai orang yang sudah membatik. Dari sana akan muncul busana yang indah”tuturnya.

Pria pemilik nama lengkap Mercelino Dominicus Savio Harry Daroeharto Darsono ini pun mengatakan perihal ambisinya sebelum menutup usia. Dia ingin sekali koleksinya berada di kota rumah mode dunia, yaitu Milan, Paris, London, New York, dan Tokyo.“ Saya ingin koleksi saya ada di kota rumah mode dunia, di Milan, Paris, London, New York, dan Tokyo” kata Harry. Meski selama ini hal tersebut sudah hampir 100% terwujud, dia ingin namanya harum di berbagai kota mode dunia. Mengingat usianya yang tak lagi muda, Harry berharap impiannya itu bisa terlaksana dan dikenang sebagai desainer dunia, seperti Karl Lagerfeld atau Donatella Versace.

Dari Paris sampai Museum Pribadi

Hharry darsono 1arry menapaki jejak sebagai desainer dimulai ketika menempuh pendidikan di Paris Academy of Fashion. Kemudian melanjutkan ke Fashion Marchandising & Clothing Technology di London College of Fashion, Inggris pada tahun 1972. Harry lalu mengejar gelar Phd nya di Psychology di Christchurch College, Oxford, Inggris.

Di awal karir pada dekade 1970-an, Harry bekerja di berbagai rumah mode ternama di Paris dan sempat bekerja sebagai instruktur di almamaternya, Paris Academy of Fashion. Ia membuat kostum panggung untuk pertunjukkan kelas dunia, seperti Julius Caesar yang dipanggungkan di beberapa negara selama belasan tahun, hingga pertunjukan terkenal seperti Madame Butterfly karya Puccini, serta karya-karya William Shakespeare antara lain Halmet dan Othello, King Lear dan Romeo dan Juliet.

Matang akan pengalaman, Harry mulai membangun karirnya di Indonesia dan mendirikan rumah modenya sendiri. Ia pun tercatat pernah menjadi Pengajar Etika dan Estetika Busana Muslim Fatayat NU hingga tahun 1978. Penata motif dan busana sutera Mido Pte. Ltd. dan China Silk House, Singapura, dan menjadi Perancang motif dan busana di PT Batik Keris.

harry darsono 6Di rumah modenya ini, Harry bekerja menjadi Konsultan mode dan penasihat rancangan. Di samping sibuk dengan rumah modenya, Harry yang gemar bermain piano ini juga dikontrak oleh perusahaan, seperti dexmaco, dan Selvira. Di PT Sarinah Jaya ia pernah menjadi perancang pakaian jadi sekaligus penasihat dan konsultan. Selain aktif di dalam dunia mode, Harry juga mengurus berbagai yayasan yang didirikannya, antara lain Harry Darsono Foundation, Pantara, Masyarakat Anti Narkoba, dan yang terakhir Hamien; sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial edukatif untuk pemuda putus sekolah dan kesulitan belajar.

Selain itu di tahun 1996-2001, Harry membangun museum pribadinya yang terletak di kawasan Cilandak. Museum seluas 800 meter persegi ini berdiri di atas tanah seluar 1 hektar bergaya baroque ini menyimpan berbagai karya Harry sejak 1970 hingga sekarang dalam bentuk adi busana, art to wear, kostum panggung kontemporer, tapestry, lukisan berukuran besar di atas sutra, desain-desain perhiasan, desain trofi, tenun ikat, sulaman dekoratif dan kontemporer, serta novelty fabrics untuk interior dan adibusana yang terbuat dari sutra halus. Pemerintah Kota Jakarta pun menetapkan rumah ini menjadi daerah tujuan wisata museum di kawasan Jakarta Selatan. (1009)

Klik disini untuk melihat Majalah Digital Kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?71433

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

intero