15 Juni, 2009, Jakarta, INDONESIA – Greenpeace hari ini menyayangkan kurangnya inisiatif Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono dalam mengatasi perubahan iklim. Di saat delegasi Indonesia lebih banyak diam pada pertemuan iklim di Bonn pekan lalu, di tanah air kebakaran hutan meningkat, menyebabkan lepasnya jutaan ton CO2 ke atmosfir dan menghancurkan habitat spesies langka seperti Orangutan dan Harimau Sumatra, serta masyarakat lokal bentrok dengan perusahaan akibat konflik lahan.

Banyak titik api dan kekerasan terhadap masyarakat lokal terjadi di kawasan hutan perusahaan-perusahaan yang baru-baru ini diberikan izin konversi oleh Menteri Kehutanan di Provinsi Riau, dimana mayoritas berada di lahan gambut yang kaya karbon. April lalu, Greenpeace mendatangi kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk meminta menginvestigasi pemberian konsesi ini.

Menanggapi hal ini, Kaban melalui pengacaranya malah mendesak
pencabutan pelaporan ini, dan mengancam akan menuntut Greenpeace lewat jalur hukum.

“Dibanding pemerintah langsung mengambil tindakan untuk mengatasi masalah, kita malah melihat organisasi seperti Greenpeace diancam akan dituntut karena meminta investigasi, masyarakat diserang, dan hutan terbakar,” ujar Bustar Maitar, Jurukampanye Hutan Greenpeace Asia Tenggara.

“Kebakaran hutan adalah bagian dari siklus ganas perubahan ikllim. Tidak hanya menyebabkan makin parahnya perubahan iklim akibas terlepasnya karbon ke atmosfer, tetapi kebakaran hutan pada gilirannya semakin menjadi hal yang lazim terlihat pada proses perubahan iklim.”

Pembabatan hutan adalah penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca Indonesia, yang juga merupakan salah satu tertinggi di dunia. Undang-undang Indonesia melarang untuk membuka lahan dengan pembakaran, tetapi NASA mencatat sudah ada 2.643 titik api tahun ini di kawasan Riau saja (1). Banyak titik api ini secara ilegal berasal dari proses pembukaan hutan alam oleh perkebunan kelapa sawit dan pulp and paper.

“Jika pemerintah tidak menghentikan pembabatan hutan sekarang, perubahan iklim akan makin parah dan akan menghancurkan pertanian, dan akhirnya membuat miskin masyarakat di kawasan ini,” tegas Blucher Doloksaribu, Kepala Badan Meteorologi, Klimatolologi dan Geofisika Riau.

Pada 28 Mei lalu, aksi protes masyarakat Rokan Hulu, Riau terhadap
perusahaan pulp and paper APRIL (RGM international Group) sehubungan dengan konflik tanah, dihadapi secara brutal, sehingga tiga warga masyarakat meninggal dunia dan banyak lainnya luka-luka, seperti diceritakan warga masyarakat. Para saksi mata mengatakan, keamanan pabrik dan aparat lokal menggunakan tongkat berpaku untuk menganiaya para pemrotes.

Sementara itu dari konflik lain yang terjadi antara warga masyarakat dengan Asian Pulp and Paper (APP) Sinar Mas Grup pada akhir 2008 lalu, hingga saat ini 70 warga masyarakat yang ditangkap masih mendekam di penjara.

“Presiden Yudhoyono harus melakukan langkah nyata sekarang, atau dia akan dianggap bertanggung jawab terhadap dampak perubahan iklim. Caranya hanya dengan menyatakan dan mengimplementasikan moratorium (penghentian sementara) pembabatan hutan, yang akan memberi ruang untuk menyelesaikan masalah sosial dan lingkungan saat ini, sekaligus membangun pemerintahan yang kuat,” ujar Maitar.

“Selain itu, kami juga mendesak Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk
menjalankan langkah nyata untuk mengurangi emisi mereka, dan mengeluarkan uang untuk dana mengatasi deforestasi pada pertemuan iklim penting di Kopenhagen Desember mendatang. Kita butuh aksi global untuk mengatasi masalah iklim global ini.” Demikian seperti dikutip dari siaran pers Greenpeace yang diterima redaksi.

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33230

Untuk melihat Berita Indonesia / Jakarta lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket