Andri Rizki Putra bersama ibunda tercinta Arlina Sariani

Andri Rizki Putra bersama ibunda
tercinta Arlina Sariani

KabariNews – Andri Rizki Putra bukan pemuda biasa! Ia sempat putus sekolah lantaran kecewa dengan penyelenggaraan pendidikan tatkala duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Meski demikian, itu tak berarti membuatnya berhenti menggapai ilmu. SMA berhasil dilaluinya dalam 1 tahun, dan gelar Sarjana Hukum diraihnya di Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam 3 tahun saja dengan predikat cum laude. Sebagai rasa syukur, ia mendirikan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) bagi para putus sekolah.

Bukan tanpa alasan pemuda kelahiran Medan, 20 Oktober 1991 keluar dari sekolah. Banyak kekecewaan dirasakannya selama menempuh jenjang pendidikan dasar dan menengah di dekat tempat tinggalnya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Semasa SD, hatinya getir sekali ketika pihak sekolah memberitahu kalau ia tidak boleh mengikuti ujian nasional. Apa pasal?

Bukan karena perilakunya yang buruk lalu diskors tak boleh ikut ujian, tetapi larangan itu keluar akibat Rizki, sapaannya, masih menunggak bayaran sekolah selama beberapa bulan. Itu harus dilunasi dulu, barulah boleh ikut ujian. Rizki yang sejak kecil hidup berdua bersama ibundanya, Arlina Sariani (50), sedih sekali. Namun sang bunda tak putus asa. Ia berikhtiar ke sana-sini mencari uang, hingga akhirnya bisa melunasi tunggakan. Rizki pun boleh ujian, lalu lulus dan diterima di sekolah unggulan di Jakarta Selatan.

Saat ujian akhir nasional di SMP pada 2006, Rizki kembali kecewa sekali melihat penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pikirnya, sekolah itu surga ilmu pengetahuan di mana dengan belajar, seseorang dapat terbentuk menjadi pribadi yang cerdas dan berjiwa luhur. Nyatanya?

Sekolah telah ternodai. Ketika Ujian Nasional itu, para siswa dengan leluasa mencontek. Guru yang mengawasi sama sekali tidak berusaha mencegah atau melarang, melainkan seperti menutup mata. Bahkan guru mengirimkan jawaban soal melalui pesan singkat (short message system).

Sempat ia bergegas lari ke ruang Kepala Sekolah untuk melaporkan pembiaran ini. Namun, seorang guru mencegahnya, lalu mengatakan, “Ayo kembali ke kelas. Kenapa Rizki tidak minta jawaban? Nanti saya kasih.” Rizki menggeleng keras, hanya gemuruh amarah ditahan di dadanya. Batinnya, “Apa jadinya kalau intitusi pendidikan yang digadang-gadang mampu mengantarkan seseorang jadi pribadi yang lebih baik jutru menghalalkan cara curang untuk meluluskan muridnya? Bagaimana jadinya bangsa ini kelak?”

UNSCHOOLING SEBAGAI PILIHAN

Ganjalan semasa di SD dan SMP membuat Rizki gamang untuk kembali ke bangku sekolah lebih lanjut. Dari segi akademik, nilai Rizki selalu bagus, bahkan duduk di peringkat 1, 2 atau 3 sejak SD. Baru pasca lulus SMP, semangat untuk bersekolah jadi kendur. Ia tak mau melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah atas (SMA).

Ia memilih jalannya sendiri, yakni keluar dari bangku sekolah. “_Unschooling_, tidak bersekolah, adalah cara saya memprotes fenomena kecurangan yang terjadi di institusi pendidikan. Berarti saya juga mengurangi beban uang sekolah yang harus dikeluarkan oleh Ibu saya,” kata Rizki kepada KABARI beberapa waktu lalu.

Unschooling bukan homeschooling yakni pendidikan ‘sekolah rumah’. Yang dimaksud Rizki adalah belajar sendiri di rumah dengan membaca buku dan menjelajah internet untuk meraup ilmu pengetahuan. Unschooling yang dijalani Rizki sesungguhnya mirip dengan program pemerintah untuk pendidikan informal berupa pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM). Sistem itulah yang melahirkan ijazah paket.

Sikap Rizki sedemikian di kala masih sangat muda karuan mengundang berbagai reaksi dari teman-teman maupun masyarakat di sekitar tempat tinggalnya. Mereka mencibir, tetapi Rizki tetap pada pendiriannya. “Semua orang sangat tidak mendukung, bahkan mereka menganggap Ibu saya gila, karena membiarkan anaknya tidak sekolah,” tuturnya.

Tetapi Rizki tidak ambil pusing dengan segala macam cap negatif itu. Ia sadar kalau dirinya tidak dapat mengendalikan cara berpikir orang lain terhadap jalan hidup yang ditempuhnya. Ia terus berjalan dengan caranya sendiri. “Saya yakin pada dua hal penting: Jika saya yakin ini pilihan yang benar, maka Yang Maha Kuasa pasti merestui, dan kedua adalah Ibu yang selalu mendukung langkah yang saya ambil,” katanya.

Yang terpenting bagi Rizki, ibunya mau memahami pemikirannya. Dia juga pendengar yang sangat baik. Rizki sama sekali tidak merasa menjadi objek yang dibentuk oleh ibunya. Ia tetap merdeka mengeluarkan pendapat, menyuarakan ide dan juga berkeluh kesah. “Hubungan saya dan Ibu sangat terbuka. Jadi, tak heran jika Ibu saya mendukung sewaktu saya memutuskan berhenti sekolah. Dia bisa memahami saya,” kata Rizki, sekali lagi.

KEJAR PAKET C

Anak didik Yayasan Pemimpin Anak Bangsa sedang bermain angklung

Anak didik Yayasan Pemimpin Anak Bangsa sedang bermain angklung

Selepas hengkang dari bangku sekolah, Rizki tak berarti berhenti mencerdaskan dirinya. Ia mencari metode alternatif pendidikan di luar sekolah. Dicarinya informasi dari internet maupun dari Dinas Pendidikan mengenai sistem pendidikan yang dikehendakinya itu. “Saya memang marah, tetapi bukan benci belajar. Karena sistem pendidikan yang ada begitu rupa, maka saya harus mencari sistem pendidikan yang lain,” katanya.

Alhasil, dari blusukan ke dunia maya, ditemukanlah konsep pendidikan kesetaraan di mana pada akhir jenjang pendidikan dapat dibarengi dengan ujian kesetaraan, yaitu KEJAR PAKET C. Rizki mendaftarkan diri ke Dinas Pendidikan. Untuk itu, ia harus melalui proses placement test terlebih dulu. Ketika lolos tes, baru ia boleh mengikuti ujian nasional. Tapi, kata Rizki, untuk dapat mengikuti UN setara Paket C, minimal harus menempuh tiga tahun. Dia lulus SMP pada 2006, berarti baru tiga tahun kemudian, yakni 2009, bisa mengikuti Ujian Nasional.

Lama sekali, pikir Rizki. Ia ingin mengikuti program akselerasi. Ternyata ia boleh saja mengikuti program tersebut asalkan lolos placement test. Rizki pun ngebut mempelajari materi pelajaran secara otodidak, menyusun kurikulum dan rapornya sendiri. Tantangannya teramat besar. Dia harus bergerilya ke sana-sini memburu materi dan melahapnya dalam waktu singkat. Di sini, katanya, yang dibutuhkan bukan hanya kepintaran semata, melainkan juga kemampuan emosional untuk menghadapi segala macam tantangan dan cobaan.

“Saya harus jalani situasi depresi dan rasa putus asa itu. Belum lagi anggapan orang yang mengatakan kalau Paket C identik dengan mereka yang putus sekolah. Banyak orang menilai ijazah ini lebih rendah dan tidak menjamin dapat lulus masuk universitas negeri. Namun, satu hal saya yakin, jika saya tidak menolong diri saya sendiri, siapa lagi yang bisa membantu,” tanyanya.

Tekad Rizki untuk lolos tes paket C luar biasa kuat. Nyaris seharian penuh dia belajar, tak kurang 22 jam dalam sehari. Bisa dipahami, karena materi untuk kelas 1-3 SMA yang lumrahnya dipelajari dalam 3 tahun harus diperasnya jadi satu tahun pelajaran saja. Lebih sulit? Pasti! Belum lagi, kalau di pendidikan formal, materi pelajaran yang diuji hanya 6, Rizki harus menguasai semua materi. Andai ada yang tak dimengerti, ia mencari jawaban lewat internet. Googling menjadi ‘guru’ yang setia baginya, di samping surat kabar.

Ujian paket selesai dan hasilnya diumumkan, kesungguhan Rizki belajar berbuah manis. Nilai seluruh mata pelajaran di ijazah, sangat tinggi, rata-rata 9! Ia pun lulus SMA di usia 16 tahun! Juga tanpa harus menyogok guru pengawas yang menawarkan kunci jawaban ujian. “Dihitung-hitung, selama menjalani unschooling, saya hanya keluar uang tak lebih dari seratus ribu. Itu pun untuk fotokopi ijazah saja,” ujar Rizki, gembira.

BUAH MANIS PERJUANGAN

Singkat cerita, Rizki kemudian ikut ujian penyaringan universitas. Ia diterima pula di Fakultas Hukum, Universitas Indonesia pada 2008. Dia berhasil membuktikan, bahwa model pendidikan yang hanya menggenggam ijazah kesetaraan paket C, tetap terbuka lebar pintu masuk ke kejenjang pendidikan tinggi. Di kampus pun, ia bisa menunjukkan bahwa keberhasilan itu milik semua orang yang mau belajar keras, bekerja sungguh-sungguh dan fokus. Bila umumnya mahasiswa lulus kuliah dalam 8 semester, di usia 20 tahun, Rizki meraih gelar Sarjana Hukum dalam 6 semester (3 tahun) dengan nilai cum laude pula.

Tak pelak, saat wisuda, Rizki tampil sebagai lulusan terbaik di fakultasnya. Pria muda ini punya alasan tersendiri mengapa ingin cepat lulus kuliah. “Saya pikir, dengan cepat lulus kuliah, saya bisa melakukan banyak hal untuk masyarakat, terutama di bidang pendidikan. Saya ingin mengabdikan ilmu-ilmu saya di masyarakat,” katanya.

Ternyata benar apa yang diucapkan Rizki. Ia tidak mengada-ada. Setelah lulus kuliah, bersama segelintir koleganya, ia mendirikan Yayasan Pemimpin Anak Bangsa (YPAB) pada 2012 di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ini organisasi sosial keduanya, setelah sebelumnya mendirikan yayasan di Bintaro bersama komunitas ibu-ibu pengajian.

MENGAJAR PEDAGANG KELILING HINGGA OFFICE BOY

Suasana belajar di yayasan pemimpin anak bangsa

Suasana belajar di yayasan pemimpin anak bangsa

YPAB adalah wadah kegiatan belajar-mengajar yang bersifat sosial. Semua gurunya merupakan sukarelawan yang ingin berbagi ilmu dan keterampilan yang dimiliki kepada masyarakat. Sementara pada muridnya adalah mereka yang terpaksa putus sekolah karena berbagai sebab. “Teman-teman yang sudah bekerja merasa ingin berkontribusi terhadap negeri ini. Sumbangsihnya tak harus berupa uang, melainkan bisa berbentuk ilmu yang tak kalah pentingnya.”

Kini YPAB telah banyak kemajuan. Di waktu awal berdiri, yayasan ini belum punya tempat untuk belajar. Getir ceritanya. Tetapi Rizki berprinsip, meski belum ada tempat untuk kelas, proses pendidikan harus berjalan terus. Tentu sempat bingung di lapangan, Syukurlah, ada saja pertolongan Tuhan bagi siapa saja yang berbuat bagik kepada sesamanya. Ada warga yang bersedia meminjamkan garasi rumahmnya sebagai kelas.

Selama sekitar 6 bulan situasi ini berjalan sampai akhirnya Rizki menemukan sebuah rumah yang cocok untuk belajar-mengajar. Hanya saja, kondisinya memprihatinkan. Atapnya berlobang. Bila hujan turun, pasti air di mana-mana. Dengan sabar, mereka terus belajar. Dari uang yang ada, perlahan-lahan pada 2013 rumah direnovasi hingga menjadi seperti sekarang.

Di YPAB uniknya, murid yang menentukan waktu belajar. Karena mereka bekerja dari pagi hingga siang hari, pelajaran pun dibuka dari sore hingga malam atau Sabtu, pas libur. Mereka murid istimewa. Profesinya bermacam-macam, ada pedagang keliling, asisten rumah tangga, cleaning service, sampai office boy.

“Bahagia sekali melihat perkembangan YPAB. Dulu muridnya hanya dua orang, kini banyak, sampai ratusan orang. Guru yang mengajar juga banyak. Kami mengajarkan dua hal: Materi pelajaran yang diujikan di Ujian Nasional. Kedua, pelajaran untuk mengembangkan wawasan. Murid diajarkan tentang pengetahuan dan kemampuan praktis yang tidak diajarkan di sekolah, misalnya financial literacy tentang cara mengelola keuangan. Ada juga yang terkait dengan legal, hukum, seperti cara melapor ke polisi tatkala menemui masalah hukum. Kami juga berikan ilmu kewirausahaan,” urai Rizki.

Ke depan, Rizki bersama teman-teman yang sepeduli terhadap sesama, akan terus meningkatkan ragam dan kualitas pendidikan di YPAB tersebut. Intinya, beragam ilmu yang diajarkan ini akan bermanfaat bagi mereka setelah lulus agar dapat terjun ke masyarakat. Mereka dapat membangun lingkungan di mana mereka berada. Sekali lagi, YPAB bukanlah pabrik ijazah, sebab tujuan kami adalah untuk transfer of knowledge, meneruskan ilmu pengetahuan yang nyata dari pendidik ke peserta didik.

Yang paling disyukuri Rizki adalah semangat para guru dan anak didik di YPAB dalam mengakses ilmu. Pencapaian peserta didik yang terlihat nyata, setelah mengenyam pendidikan di sini dapat meningkatkan diri di sektor kerja. Dari pembantu rumah tangga bisa menjadi pegawai administrasi di perkantoran, bahkan siswinya bernama Prihatin, penjual pisang goreng di Tanah Abang, tercatat menjadi peserta ujian Paket B dengan nilai tertinggi nasional. Bangga nian Rizki melihat ini dan bersama teman-temannya semakin semangat mengentaskan sesama dari keterbelakangan pendidikan. Tak semata menguasai ilmu pengetahuan saja, tetapi juga memiliki kepribadian luhur, terpuji dan jujur, katanya di ujung perbincangan dengan KABARI di pusat pembelajaran YPAB di Tanah Abang, Jakarta Pusat. (1009)

Klik disini untuk melihat majalah digital kabari +

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?74035

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

__________________________________________________

Supported by :

lincoln