Jenderal Polisi (Purn) Hoegeng Iman Santoso (1921- 2004), merupakan sosok yang dikenal bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Dialah simbol keteladanan dan kejujuran Polri. Jenderal Polisi kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921 ini patut menjadi teladan. Ia hidup begitu sederhana dan bersahaja.

Di tengah terjadinya krisis kepercayaan kepada Polri dan birokrasi, ia tampil sebagai seorang yang pantas dipercaya. Sampai-sampai ada guyonan di masyarakat, bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Hoegeng dan polisi tidur.

Latar belakang pekerjaan Hoegeng cukup beragam. Dia pernah menjadi Kepala Seksi Kepolisian Kota Semarang di Jomblang (di zaman Jepang). Setelah proklamasi kemerdekaan RI dia pernah menjabat sebagai Kepala Reserse Kriminal Polda Sumatera Utara, Kepala Jawatan Imigrasi, Menteri Yuran Negara, Menteri/Sekretaris Kabinet Inti, Deputy Menteri Muda Pangak Urusan Operasi (1966), kemudian Men. Pangak (1967). Pada tanggal 1 Mei 1968 pangkatnya dinaikkan jadi Komisaris Jenderal Polisi (berbintang tiga) dan tanggal 15 Mei 1968 dilantik menjadi Panglima AKRI (Angkatan Kepolisian RI) dengan Inspektur Upacara Jenderal Soeharto sebagai Ketua Presidium Kabinet Dwikora. Pada peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 1968, istilah AKRI diganti dengan Kepolisian RI (Polri).

Sebagai seorang Kapolri, Hoegeng memiliki prinsip yang teguh. Baginya hanya ada dua, hitam dan putih, tidak ada abu-abu. Sehingga dirinya kerap dimusuhi oleh orang-orang yang tidak suka dengan prinsipnya.

Hoegeng bahkan melarang anggota keluarganya untuk menggunakan fasilitas Negara atau menerima hadiah dari orang lain dengan alasan apapun. Sering dia meminta keluarganya untuk mengembalikan hadiah-hadiah kepada pengirimnya.

Semasa menjabat Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri), dia pernah membongkar kasus penyelundupan mobil mewah. Dia pula orang pertama mencetuskan dan menganjurkan memakai helm bagi pengendara sepeda motor, serta menganjurkan kaki mengangkang bagi pembonceng sepeda motor. Ketika itu, dia banyak mendapat kritik. Bahkan dia dituduh mendapat komisi dari pabrik helm. Terbukti sekarang anjurannya ternyata bermanfaat untuk keselamatan pengendara.

Karena kejujurannya itu, Hoegeng justru dilengserkan oleh Soeharto. Cerita bermula ketika Hoegeng ingin menangkap seorang penyelundup besar. Hoegeng sudah mengantongi bukti-bukti yang cukup untuk menahan si tersangka.

Namun, karena si penyelundup itu disebut-sebut dekat dengan Cendana(tempat kediaman Soeharto), maka ia ingin lebih dahulu melaporkan penangkapan tersebut kepada Soeharto. Tapi ia terkejut karena si penyelundup itu ternyata sedang asyik berbincang dengan Soeharto di Cendana. Sejak saat itu, ia sangat sulit mempercayai Soeharto, atasannya sendiri.

Sejarah kemudian mencatat, pada usia yang relatif muda, 49 tahun, Hoegeng dipensiunkan oleh Soeharto sebelum waktunya. Ironis, kejujuran yang dipegangnya ternyata membuatnya dimusuhi. Hoegeng pensiun dari Kapolri tanpa harta yang berlebihan. Hanya rumah dinas dan uang pensiun yang tak seberapa. Hoegeng juga mengembalikan semua fasilitas yang dimilikinya dan memilih beraktivitas menggunakan bus kota. Merasa tak tega, penggantinya kemudian meminjamkan mobil buat Hoegeng.

Saat memasuki pensiun itu, ia pun ditawari menjadi duta besar di Belgia, namun ditolaknya karena merasa tidak cocok dan lebih suka tinggal di negeri sendiri. Tahun 1975 Hoegeng bersama istrinya membentuk The Hawaiian Senior dan sering tampil di TVRI. Tapi acara itu kemudian dilarang pemerintah sebab dianggap bukan musik Indonesia.

Gerakan Hoegeng mulai dibatasi dan masuk dalam pengawasan pemerintah ketika Juni 1978, Hoegeng bergabung dalam Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (LKB) yang didirikan Jenderal (purn) A.H. Nasution dan Proklamator Mohammad Hatta. LKB ini bertujuan melakukan pengawasan dan koreksi terhadap penyelenggaraan negara dan kekuasaan pemerintahan secara konstitusional. Sejak itu dia juga mulai dilarang ikut serta dalam berbagai acara yang dihadiri Soeharto, termasuk acara 17 Agustus di Istana Negara dan acara peringatan Hari Kepolisian.

Tahun 1980, ia bergabung dalam kelompok lima puluh warga negara RI, antara lain Mohammad Natsir, A.H. Nasution, Syafruddin Prawiranegara, H Ali Sadikin, Burhanuddin Harahap, SK Trimurti, Manai Sophian, Ny D Wallandouw, yang menandatangani “Pernyataan Keprihatinan” terhadap cara penyelenggaraan negara
dan kekuasaan pemerintahan Soeharto, yang kemudian populer disebut “Petisi 50”.

Pria yang menikahi Marie Roselina, dikaruniai tiga anak yakni Reni Soeryanti, Aditya Soetanto dan Sri Pamujining Rahayu, setelah pensiun, selain melukis, ia tercatat sebagai anggota ORARI. Ia juga seorang tokoh yang dalam keadaan sulit berada di depan untuk menegakkan demokrasi dan kejujuran. Saat banyak tokoh masih manggut-manggut kepada kekuasaan otoriter, ia maju ke depan menyuarakan demokrasi dan kebenaran. Sampai akhir hayatnya, ia tetap teguh pada prinsip dan menjadi teladan bagi semua anak bangsa, khususnya bagi Kepolisian Republik Indonesia. (yayat/sumber: ensiklopedi tokoh Indonesia)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?34689

Untuk

melihat Berita Indonesia / Utama lainnya, Klik

disini

Klik disini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :