Tak ada yang lebih penting selain keluarga dan masa depan.
Membawa kehidupan lebih baik untuk diri sendiri dan sekitar. Menjadi
pilot, adalah salah satu cita-cita mulia selain suatu cara untuk menjadi
lebih sejahtera. Pun Rizal – bukan nama sebenarnya.

Rizal adalah salah satu korban penipuan sekolah pilot Accelerate 36 milik Oscar Matulessya. Menyadari ada yang tak beres dengan sekolah
itu, dia berusaha mencari sekolah pilot lainnya, meski harus membayar
lagi. Demi impiannya menjadi pilot, orangtua Rizal menjual mobil dan
meminjam uang hingga 50 juta rupiah.

“Buat pindah sekolah di Amerika, kami jual mobil. Sekarang orang tua
saya gak ada mobil lagi, “ kata Rizal, salah satu siswa mantan Accelerate 36 yang membayar 270 juta rupiah tanpa surat kontrak sama sekali.

Setelah bersitegang dengan Oscar, Rizal menerima pengembalian sebesar
US$ 17.900 dan mendaftar ke sekolah pilot yang lain. Di sekolah yang
baru, Rizal harus membayar lebih mahal, yaitu 450 juta rupiah. Di
sekolah baru, dia terpaksa mencicil. “Ini saya baru bayar 150 juta,”
katanya.

Kenapa Rizal begitu ingin menjadi pilot? Keteguhan Rizal karena
kakaknya pernah mengalami kecelakaan pesawat dan kakinya patah. Sejak
saat itu Rizal bertekad akan menjadi pilot yang baik, agar bisa menjamin
keselamatan penumpang.

Berbeda dengan Rizal, ada Nano bukan nama sebenarnya juga. Di Indonesia dia meninggalkan istri dan 3 anaknya untuk sekolah di Accelerate 36.
Istrinya berkisah bahwa dia sangat kecewa dengan permasalahan sekolah
yang menimpa suaminya dengan pemilik sekolah, Oscar Matulessya dan
partnership Aerotech Academy.

Uang yang telah disetorkan ke Oscar sekitar 270 juta (bila
dirupiahkan), sebagian pinjam ke bank dengan jaminan rumah mereka dan
sebagian lain tabungan yang dikumpulkan selama 5 tahun bekerja. “Uang
untuk mendaftar adalah uang yang kami kumpulkan selama 5 tahun. Kami
masih berhutang ke Panin Bank sebesar 170 juta untuk kekurangannya, “
kata istri Nano.

Betapa tak sedih. Selain sebagai istri dia harus mencicil hutang ke
Bank, dia juga harus menghidupi 3 anak mereka. Padahal dengan keadaan Accelerate 36
yang ditinggalkan begitu saja oleh Oscar, Nano dipastikan tidak bisa
menjadi pilot. “Saya mohon kebijakan bapak /ibu Konsulat Jenderal
Indonesia untuk bisa membantu masalah suami saya dan lainnya. Karena
mereka sangat ingin menjadi pilot tepat waktu. Uang yang telah kami
bayarkan itu tidak sedikit bagi kami, “ kata istri Nano yang berkirim
surat ke Konsulat Jenderal Indonesia di Los Angeles.

Dan Kapten Hifni Assegaf akhirnya memang banyak berperan dalam
mencari solusi bagi mereka. Sebelumnya, ia pernah melihat sebuah jurnal
di AS mengenai sekolah penerbangan milik orang Indonesia dan siswanya
juga kebanyakan adalah orang Indonesia. “Wah waktu membaca itu, saya
merasa bangga sekali. Saya bangga karena bangsa saya maju. Pemilik dan
siswanya kebanyakan orang Indonesia, jadi ya senang sekali,” ujar Hifni.

Lalu secara tidak sengaja, ketika menunaikan shalat Jumat, ia bertemu
dengan seorang siswa penerbangan itu. Lewat perbincangan mereka
menumpahkan kekecewaannya. “Waduh Kapten, sekolahnya tidak karu-karuan.
Kami sudah tidak terbang lagi, karena diberi pelajaran yang tidak
sesuai. Kami juga disodori kontrak baru yang tidak sesuai komitmen awal,
“ kata Hifni menirukan siswa Accelerate 36 yang ia temui ketika shalat Jumat,” kata Hifni.

Setelah itu, ia minta para siswa itu untuk datang ke rumahnya dan
mereka bercerita dengan gamblang tentang apa yang terjadi. Hifni juga
mengaku telah mengontak pihak Konsulat Jenderal RI di Los Angeles –
California. Menurut Hifni, seperti yang sudah diketahui bersama, para
siswa itu dijanjikan sekolah pilot di Amerika dengan membayar biaya US$
30 ribu. Setelah mendapatkan brevet, mereka dijanjikan akan bekerja di
sebuah perusahaan penerbangan di Indonesia.

Para siswa dijanjikan dapat lisensi pilot pribadi, pesawat bermesin
tunggal, instrumen rating, kemudian pilot pesawat komersial, dan pilot
pesawat multimesin, termasuk biaya endorcement dan pekerjaan.

“Ini semua penipuan. Tak mungkin sekolah pilot di Amerika semurah
itu. Tidak mungkin. Sekolah pilot sekarang, sudah sekitar US$ 35 ribu.
Ini paling murah.Waktu saya sekolah tahun 1996-1998, angka sudah
mencapai US$ 18 ribu untuk 250 jam,” kata Hifni.

Dugaan Hifni benar adanya. Oscar Matulessya tak ubahnya adalah makelar. Dia memakai Aerotech Academy yang memiliki TSA (Transportation Security Administration) sebagai penyelenggara sekolah penerbang di A.S. Fasilitasnya juga memakai Aerotech sesuai dengan kebutuhan siswanya terbang, maka sedikit sekali siswa Accelerate 36 yang terbang.

Menurut Hifni, ada siswa asal Indonesia sudah 7 bulan berada di
Amerika dan jam terbangnya baru sedikit. “Hendry angkatan pertama. Sudah
7 bulan di Amerika Serikat, tapi sudah 2,5 bulan tidak pernah terbang
lagi,” kata Hifni. “Saya sudah menghadap Oscar tapi dia sudah tidak bisa
berbuat apa-apa lagi. Uang sudah di dia,tapi Oscar tidak bayar Aerotech, jadi Aerotech tidak mau kasih siswa Accelerate
pesawat untuk praktek,” ujar Hifni menirukan Hendry. Bila masih sebagai
siswa dan lama tak terbang, pada jangka waktu tertentu jam terbang itu
akan hangus dan bila menjadi siswa lagi, harus memulai dari nol jam
terbang.

Hifni juga berkisah, bahwa diantara 16 siswa itu ada seorang anak
bupati di Sulawesi Selatan. Ayah siswa itu adalah senior Hifni di
Akademi Militer. “Dia menelepon saya, lalu saya bawa anaknya ke
pengacara. Pengacara sudah memberikan surat ke Oscar dan harus merespon
dalam 4 bulan,“ kata Hifni.
Dia mengungkapkan, bahwa anak bupati ini adalah angkatan pertama sekolah itu.

Kapten Hifni Assegaf yang awalnya tak punya sangkut-paut dengan Accelerate 36,
kini membantu para siswa yang menjadi korban untuk mencari solusi.
Kapten Hifni lulusan Akademi Militer (Akmil) Magelang satuan Infantri.
Tak lama setelah berdinas di militer, ia keluar dari TNI AD. Tahun 1996 bergabung ke perusahaan penerbangan Bouraq Airlines. Selama 8 bulan dia tugas di Bouraq Jakarta, kemudian ke Amerika di Business Airflight Academy.Hifni pun menjadi pelatih sekolah penerbangan sejak 1998. Dia telah bekerja di beberapa perusahaan, seperti Aircraft Service Management untuk menyuplai obat-obatan ke rumah sakit di Amerika, California American Flyers, dan terakhir Riverside Flight Center, AS.

Seluruh kasus ini sudah dilaporkan ke pihak berwenang. Sebagian dari
mereka tak bisa kembali ke Indonesia karena keterbatasan biaya. Visa
mereka rata-rata hanya setahun. Dan belakangan, Oscar malah menyodori
surat hutang kepada mereka. Kapten Hifni mendampingi para siswa. Pihak
Kedutaan Besar Indonesia di Amerika pun mendukungnya.(Indah)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?37871

Untuk melihat artikel Utama lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_______________________________________________________________

Supported by :