Dari Rockefeller hingga Baduy Dalam…

Perawakannya kecil, tapi siapa sangka pria yang lahir dan besar di Tamansari Jakarta Barat ini adalah legenda hidup petualang Indonesia.

Nyaris semua kegiatan petualangan telah ia lakukan. Menyelam di Raja Ampat Papua, mendaki Gunung Kilimanjaro, ikut lomba Camel Trophy di Spanyol, melakukan perjalanan darat dari London ke New Delhi, solo tour ke Nepal, hingga lomba balap sepeda di China, adalah sedikit dari deretan kegiatan yang pernah dilakukan pria penjelajah ini.

Bahkan akhir tahun 2010, pria yang telah berusia 70 tahun ini berencana mendaki Gunung Shimborazo dan Cayambe di pegunungan Andes, Ekuador.

Seorang Petualang dan Wartawan

Oleh para petualang muda Don Hasman biasa disapa Om Don. Di mata mereka, Om Don  adalah guru sekaligus sahabat yang enak diajak berbagi pengetahuan.

Sejak kecil Om Don selalu ingin tahu. Rasa ingin tahu itulah yang membuatnya menjadi seorang petualang seperti sekarang. “Sejak kecil saya selalu penasaran dengan dunia luar, ada apa di balik sana?” ujarnya.

Pada usia 13 tahun, orangtuanya membelikan sepeda setelah sebelumnya kakaknya juga menghadiahinya sebuah kamera foto bermerek Konica.

Dengan kamera dan sepeda, hasrat Om Don menjelajah semakin terpuaskan. Di usia yang masih belia itu, dia pernah bersepeda pada tahun 1955 dari Jakarta ke Bandung untuk menyaksikan pembukaan Konferensi Asia Afrika (KAA).

Selama dekade 60-an, Om Don intensif melakukan penjelajahan. Penjelajahannya dimulai dengan mengunjungi daerah-daerah pedalaman Indonesia. Menyusuri goa-goa, menyelam di palung-palung, atau mendaki gunung-gunung nusantara. Om Don juga pernah melakukan perjalanan dari London ke New Delhi pada tahun 1973. “Saya bersama tiga orang dari Inggris, Amerika, dan Perancis, menyetir mobil secara bergantian dari Inggris ke India, kami makan dan tidur di mobil, berhenti di sembarang tempat, pokoknya luar biasa serunya,” ujarnya.

Karena sering mengirimkan tulisan perjalanan, tahun 1986 Om Don diterima di Majalah Mutiara menjadi pewarta tulis sekaligus pewarta foto. Sejak itulah perjalanannya semakin intensif.

Investigasi Rockefeller

Salah satu perjalanan yang tak dilupakan Om Don ketika ia bersama 13 fotografer lain dikirim ke Papua untuk pembuatan buku Suku Asmat tahun 1989. Selain bertugas mencari gambar yang menghabiskan 120 rol film, Om Don juga melakukan investigasi kecil-kecilan mengenai kematian Michael Clark Rockefeller.

Michael Clark Rockefeller adalah anak Nelson Aldrich Rokfelller, mantan Gubernur New York (1959 – 1973) yang kemudian menjadi Wakil Presiden Amerika pada masa Gerald Ford (1974 – 1977). Tahun 1961 Michael Clark Rockefeller meninggal dunia di pedalaman Papua namun jasadnya belum ditemukan sampai kini. Beredar kabar, dia dibunuh oleh orang dari suku Asmat.

Om Don kemudian mewawancarai sejumlah orang pedalaman di Desa Otjenep dan Desa Pirian, Kecamatan Kasuari, Papua. Di dua desa inilah diyakini Rockefeller ditangkap dan dibunuh. Menurut cerita René S. Wassing kepada berbagai media pada tahun 1961, dirinya bersama Rockfeller dan dua orang pemandu Papua sedang menyusuri sebuah sungai dalam rangka ekspedisi.

Di tengah jalan, perahu tersebut rusak dan terombang-ambing di rawa. Rockefeller lalu menyuruh dua pemandunya untuk berenang mencari bantuan. Setelah ditunggu-tunggu, bantuan tak juga datang, Rockfeller melihat asap di sebuah daratan dan berenang menggunakan bantuan tangki bensin untuk mencapai daratan tersebut. Sementara Wassing menunggu di perahu.

Namun sejak itu, Rockefeller tak pernah kembali. “Tak menutup kemungkinan jika dia memang benar-benar dibunuh, mengingat suku pedalaman di Papua ketika itu masih sangat primitif, kabarnya setelah dibunuh kepala Rockfeller dilubangi dan otaknya dihisap untuk obat menyembuhkan penyakit yang diderita warga pedalaman,” ujar Om Don yang mengaku sempat mewawancarai salah satu pemandu yang ikut Rockefeller.

Tahun 2004 ketika dia hadir dalam sebuah acara klub petualang dunia di New York, Om Don sempat datang ke gedung Rockefeller Centre untuk mengajukan sejumlah pertanyaan untuk melengkapi investigasinya. Sayang, permintaan Om Don ditolak. Begitu juga ketika ia menemui Wassing yang kini menjadi kurator sebuah museum di Rotterdam, Belanda. Wassing tak pernah mau menemui Om Don, entah apa alasannya.

Orang Kepercayaan Baduy Dalam

Sekian lama melanglang buana, Om Don justru jatuh cinta kepada masyarakat Baduy Dalam, Banten. Tahun 70-an ia pertama kali datang ke Baduy Dalam dan langsung terpesona begitu melihat kebersahajaan masyarakat Baduy Dalam, “Mereka orang-orang jujur, bijak dalam mengolah alam, mereka tak pernah serakah mengambil hasil alam sehingga tak pernah kelaparan meski desa mereka terpencil dari keramaian,” ucap Om Don.

Sejak perjumpaan pertama dengan masyarakat adat Baduy Dalam yang mengesankan itu, Om Don kemudian selalu ingin kembali dan kembali lagi. Dalam setahun Om Don bisa bisa lima atau enam kali ke Baduy Dalam.

Di sana Om Don bukan cuma berkunjung, tapi juga menyelami seluk beluk pranata sosial dan hukum adat masyarakatnya. Karena seringnya Om Don berkunjung, akhirnya ia sudah dianggap seperti saudara dengan pangilan Odon.

Menjadi orang kepercayaan Baduy Dalam bukan semata soal kebanggaan, tapi juga menyangkut tanggung jawab. Om Don mengaku selektif mengantarkan orang yang ingin masuk ke Baduy Dalam, “Setiap saya mengantarkan orang, saya selalu mewanti-wanti agar mereka mengikuti aturan, semata-mata demi kenyamanan mereka sendiri,” ujar Om Don.

Menariknya, selama mengantarkan ia tak pernah sekalipun meminta bayaran, “Saya ini bukan agen perjalanan, jika mereka mau bayar, silakan saja menggunakan agen perjalanan, jangan minta ditemani saya,” kata Om Don tegas.

Lantas apa yang didapat Om Don? “Saya dengan senang hati mengantarkan mereka semata-mata karena ingin mengajak mereka mencintai kebudayaan asli Indonesia, semakin banyak yang mencintai kebudayaan Indonesia, maka semakin baik, dan itu melebihi nilai uang berapa pun,” katanya.

Tak terasa hari menjelang Mahgrib, di ujung wawancara Om Don berpesan singkat, “Jika ingin melihat bagaimana Indonesia sebenarnya, kunjungilah desa-desa, atau pelosok- pelosok, di sanalah kita bisa menemukan Indonesia yang sebenarnya,” ujarnya. (yayat)


Video Part 2, Klik di sini

Video Part 3, Klik di sini

Video Part 4, Klik di sini

Video Part 5, Klik di sini

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?34855

Untuk

melihat Berita Indonesia / Profil lainnya, Klik
di sini

Klik

di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :