“Kreativitas tidak pernah mengenal usia”, ungkapan ini pantas
dialamatkan kepada Lian Gouw. Wanita kelahiran Jakarta tahun 1934 ini
berhasil menyelesaikan sebuah novel bertajuk “Only a Girl”, dan menjadi
salah satu buku yang banyak diminati pembaca di Amerika Serikat dan juga
di Indonesia.

Usai boleh senja, tapi kreativitas tak boleh mati. Demikian prinsip Lian Guow

Only a Girl, sebuah novel fiksi menceritakan perjalanan hidup tiga
orang wanita keturunan Tionghoa di Indonesia, yang mencoba menemukan
jati diri mereka di masa Perang Dunia II, dan di tengah perjuangan
rakyat Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan dari tangan Kolonial
Belanda.

Meski menulis diakuinya merupakan salah satu kegemarannya sejak
kecil, namun dibutuhkan waktu hingga tujuh tahun bagi Lian (sapaan akrab
ibu Lian Gouw) untuk dapat menyelesaikan tulisannya, hingga akhirnya
dapat diminati oleh pembaca, baik di dalam maupun di luar negeri.

Goresan pena Only a Girl yang dimulai antara tahun 1995-1996 ini baru
dapat diselesaikannya pada tahun 2003. Meski sudah selesai ditulis,
namun diakui Lian buku ini baru dapat diperkenalkan di kalangan pembaca
di Amerika Serikat pada tahun 2006, hingga akhirnya di tahun 2009 buku
Only a Girl mulai masuk dalam 12 daftar pustaka di Negeri Paman Sam
tersebut, dan juga kelompok pecinta buku di sana.

Keberhasilan buku Only a Girl di Amerika ternyata juga mendapat
perhatian khusus oleh sebuah penerbit di Tanah Air, yakni Gramedia
Pustaka Utama.

Hingga akhirnya pada tahun 2010 ini, buku yang berjudul asli Only a
Girl tersebut mendapat persetujuan Lian untuk diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia dengan tajuk “Menantang Phoenix, Only a Girl”.

Keinginan Gramedia Pustaka Utama untuk menerbitkan Only a Girl di
Indonesia ini diakui Lian merupakan penghargaan terhadap jerih payahnya
yang tidak ternilai harganya dan tidak dapat diungkapkan dengan sebuah
kata-kata.

Terbitnya buku tersebut di Tanah Air, dijelaskan Lian juga senada
dengan pesan moral dalam buku tersebut, yang mengingatkan kita untuk
jangan pernah lupa akan jati diri dan kampung halaman, serta tidak boleh
untuk berbangga diri atau sombong hingga tidak mau mendengarkan
pendapat orang lain.

“Kisah ini tentang keluarga yang tinggal di Indonesia, saat saya
memulai menulis Only a Girl di Amerika, saya tidak pernah mengira bahwa
buku ini juga akan terbit di Indonesia. Saya sangat senang akhirnya buku
ini dapat pulang ke kampung halaman ide buku ini dibuat,” papar Lian
saat ditemui di Museum Fatahillah, Jakarta.

Saat berkunjung ke Indonesia, dalam rangka tur bedah bukunya di
beberapa kota besar di Tanah Air seperti, Jakarta, Bandung, Surabaya dan
Yogyakarta, Lian mengungkapkan perasaan bahagianya karena dapat kembali
menginjakkan kedua kakinya di Indonesia.

Lahir dan besar di Kota Bandung, Jawa Barat, menjadi kenangan paling indah yang pernah dirasakan Lian.

Menemui hal-hal yang unik, seperti rujak, pecel, pete, kue-kue basah,
kue mangkok, buah kedondong dan jambu air, adalah hal paling berkesan
saat dirinya berkunjung ke pasar tradisional di kawasan Jakarta saat
ini.

Hal tersebut mengingatkan dirinya saat tinggal di Jakarta dan Bandung sewaktu usia 20 tahun.

Diusianya yang ke 76 tahun, Lian berharap nantinya Only a Girl dapat
menjadi sebuah film, agar kisah Nanna, Caroline dan Jenny dapat
dinikmati oleh seluruh kalangan.

Setelah tinggal di San Fransisco, Amerika Serikat, selama 40 tahun
yakni sejak tahun 1962, dan merupakan wanita keturunan Tionghoa, namun
Lian Gouw mengakui, bahwa Indonesia adalah kampung halamannya.

Untuk melihat video part 2, Klik disini

Untuk melihat video part 3, Klik disini

Untuk melihat video part 4, Klik disini

Untuk melihat video part 5, Klik disini

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35787

Untuk

melihat artikel Profil lainnya, Klik
di sini

Klik

di sini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon
beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :