Bagaimana jika seorang perempuan
memperjuangkan eksistensinya di tengah budaya yang menempatkan lelaki sebagai
superior?

Hanung Bramantyo berusaha menjawabnya lewat film berjudul “Perempuan
Berkalung Sorban”. Film yang diangkat dari novel berjudul sama karya Abidah El
Khalieqy berdurasi 2 jam 10 menit ini, seolah menjadi penanda bagi seorang
Hanung. Bahwa ia mapan mengangkat tema-tema berbalut  religi seperti karya sebelumnya, “Ayat-Ayat
Cinta”.

Anak Kyai

Dikisahkan, Anissa, anak seorang
Kyai di sebuah pesantren di Jombang, Jawa Timur, menggugat perlakuan keluarga
dan lingkungannya. Ia menggugat kenapa dirinya selalu dibeda-bedakan dengan
lelaki. Kenapa ia tidak boleh melakukan  
yang boleh dilakukan lelaki? Seperti menunggang kuda atau menjadi ketua
kelas.

perempuan berkalung sorban1

Sebagai wanita ia hanya dianggap nomor dua. Keluarga dan budaya
pesantren yang dijalaninya menekankan bahwa tugas seorang wanita hanya melayani
suami dan mengurus keluarga, lain tidak.

Anissa yang diperankan cukup
berhasil oleh Revalina S Temat, terpaksa harus menerima kenyataan
tersebut,  tumbuh menjadi wanita yang
hidup dibawah bayang-bayang budaya yang mengangkat supremasi lelaki.

Puncaknya ia dipaksa menikah oleh
ayahnya, Kyai Haji Hanan (Joshua Pandelaky), dengan Syamsudin (Reza Rahdian),
lelaki yang tak dicintainya. Padahal saat bersamaan, ia diterima di sebuah
perguruan tinggi di Jogya. Tapi keinginannya untuk kuliah terbentur keinginan
Ayahnya yang keras. Anissa pun terpaksa menikah dengan Syamsudin.

Sebelumnya Anissa punya sahabat
dekat yang tak lain pamannya sendiri, Khudori (diperankan Oka Antara), tapi
pamannya itu pergi belajar ke Kairo. Dan selama 7 tahun Anissa hanya
berhubungan lewat surat
dengan Khudori.

Selama menjalani perkawinan
dengan Syamsudin, Anissa tak bahagia. Syamsudin adalah lelaki yang sama sekali
tak mengerti perasaan perempuan. Ia selalu menuntut agar dilayani kapanpun dia
mau. Anissa tersiksa. Tapi sebagai wanita muslim yang taat, ia berusaha
melayani suami sebaik mungkin. Bahkan ketika Syamsudin menikah lagi dengan Kalsum 
(Francine Roosenda).

Perzinahan

Beberapa waktu kemudian, Khudori
kembali dari Kairo dan melakukan pertemuan rahasia dengan Anissa di Pesantren Al Huda. Anissa menggugat kepergian Khudori tujuh tahun lalu. Dia yakin tak akan menjalani hidup sepahit ini jika
saja Khudori tak pergi meninggalkannya dulu.

Anissa meminta Khudori segera menikahkannya. Tapi pertemuan
itu diketahui Syamsudin. Mereka kemudian diusir dari Pesantren karena
dituduh berzinah. Karena peristiwa itu, Kyai Haji Hanan meninggal
dunia.

perempuan berkalung sorban 2

Adegan berlanjut dengan kehidupan
baru Anissa di Jogya setelah bercerai. Anissa meneruskan cita-citanya, yakni
kuliah di Jogya. Sementara Khudori entah pergi kemana. Di
Jogya Anissa memulai hidup baru, ia bekerja sambilan menulis cerpen.

Suatu ketika, Khudori datang
menemui Anissa ke Jogja. Pertemuan itu membuat benih-benih cinta keduanya
tumbuh kembali. Meski Anissa belum mampu menghilangkan trauma perkawinan masa
lalu, namun akhirnya Anissa menerima pinangan Khudori.

Mereka lalu kembali ke pesantren
Al Huda. Selama di Pesantren, Anissa perlahan-lahan
menumbuhkan minat  membaca para santri
perempuan. Anissa kerap membagi-bagikan buku yang menurut pesantren, termasuk ‘buku berbahaya’.

Tindakan ini ditentang kakak-kakak
Anisa yang mengurus Pesantren sepeninggal Ayahnya. Tapi Anissa keukeh, bahkan
ia berniat membuat perpustakaan di pesantren itu. Ditengah usahanya,
Anissa lagi-lagi harus menerima kenyataan pahit. Khudori meninggal dunia karena
kecelakaan.

Ia lalu memutuskan kembali ke
Jogya dan bekerja sebagai konsultan lembaga bantuan hukum untuk kaum perempuan.
‘Gairah’ baru yang dihembuskan Anissa di pesantren itu, ternyata menginspirasi
tiga orang santri wanita yang kemudian kabur dari pesantren.

Anissa kembali ke pesantren sembari
membawa tiga santri yang kabur itu. Usaha dan kegigihan Anissa akhirnya
berbuah. Ia berhasil membangun perpustakaan di pesantren itu.

Sinematografi

Menurut alur cerita, film ini
dapat dibagi menjadi tiga segmen, pertama kehidupan awal Anissa di Pesantren.
Kedua saat Anissa menikah dengan Syamsudin dan ketiga saat Anissa menikah
dengan Khudori dan  kembali ke pesantren.
Ketiga segmen cukup runtut dikemas Hanung. 

Terlepas bagaimana isi novelnya, jelas banyak unsur dramatisasi yang
dibuat Hanung untuk mempertegas cerita. Namun terutama di segmen kedua
ketika Anissa berumahtangga dengan Syamsudin, banyak adegan
yang sebetulnya bisa dibuang karena tak berpengaruh pada keutuhan cerita.

Misalnya
saat Kalsum dan Syamsudin sedang berhubungan suami istri dan Anissa mendengar
rintihan mereka dari luar kamar. Terkesan malah persoalan sekslah yang menjadi
pangkal persoalan rumah  tangga Anissa,
baik ketika menikah dengan Syamsudian hingga menikah dengan Khudori.

Padahal
jika digali lebih dalam, banyak narasi 
yang bisa dikembangkan. Kenapa Anissa tidak bahagia dengan Syamsudin dan
tidak bisa membahagiakan Khudori pada awal-awal pernikahan? Dan jawabannya
menjadi berkesan dangkal–jika dibanding megahnya tema–yakni ternyata soal
kebutuhan seks.

Di sisi lain, pergulatan ketika
Anissa bermetamorfosa menjadi wanita tegar, kurang dibuat detil. Padahal ini bisa memperkuat
‘roh’ film ini.

Seperti layaknya film laga dimana saat sang jagoan bangkit
perlahan dengan tubuh berdarah-darah–adegan itu selalu tunggu
penonton–, justru di film ini kondisi macam itu tak
tergambar jelas.

perempuan berkalung sorban 3

Dan sekali lagi, entah memang dari novelnya atau bukan, ada banyak
adegan yang bisa ditebak. Seperti saat Syamsudin memergoki Anissa dan Khudori berduaan
di sebuah saung, atau ketika Khudori mengucapkan kata-kata terakhir sebelum
kecelakaan.

Dalam adegan kecelakaan pun, Hanung mencoba ‘bermain’ dengan
menampilkan sosok misterius yang menabrak Khudori dan akhirnya justru tak dituntaskan Hanung siapa pengendara mobil itu. Hanung membiarkan
penonton berpikir sendiri, meski secara eksplisit ada satu adegan yang
mengungkapkan pelakunya.   

Terlepas dari semua itu, Hanung memang bukan
sutradara kemarin sore. Ia cukup apik  menjaga 
‘nafas’ film ini sehingga penonton enggan beranjak dari kursi meski
durasinya cukup panjang. 

Dari segi
sinematografi, kemampuan Hanung menterjemahkan novel kedalam layar lebar sulit
terbantahkan. Ia sama sekali tak gagap mengangkat terminologi-terminologi
agama, dan tanpa kuatirnya ia berkreasi dengan anasir-anasir dirinya dalam
memahami budaya pesantren.

Dan memang demikianlah
seharusnya, karya kreasi tak perlu memikirkan batas-batas. Batas-batas itu
muncul dengan sendirinya saat kita mampu mempertanggungjawabkan karya
kita.  

Trailer….

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?32505

Untuk melihat Berita Indonesia / Filem lainnya, Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :