Hari itu, Selasa 19 April 2011, di tengah panasnya terik
matahari yang menyinari kawasan Ibukota Jakarta, sepasang suami istri
penjual serangga dengan setia menunggu datangnya para pembeli di sudut
sebuah pasar di wilayah Jatinegara.

Roiyah (47) dan Sigit (50) merupakan salah satu pasangan dari sekian
juta orang dari seluruh penjuru Tanah Air yang mencoba mengadu nasib
mereka di kota metropolitan.

Dengan mengandalkan sebuah gerobak usang, dan satu buah payung butut,
pasangan suami istri asal Kebumen, Jawa Tengah ini, sudah sejak 22
tahun silam mencari peruntungan mereka di Jakarta dengan berjualan
jangkrik.

Bagi para pecinta burung kicau dan ikan hias, usaha yang dilakukan
Roiyah dan Sigit tersebut sangatlah membantu mereka, khususnya untuk
mencari makanan bagi hewan kesayangan. Bahkan, bagi beberapa orang,
jangkrik juga dipercaya memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa
penyakit, diantaranya asma.

Sekilas memang tidak ada yang menarik dari usaha yang dilakukan
Roiyah dan Sigit. Pasalnya, di Pasar Burung Jatinegara, Jakarta Timur,
ini puluhan pedagang serangga lainnya, seperti yang dilakukan Roiyah dan
Sigit terbilang cukup banyak. Maka tidak heran bila “persaingan” antar
pedagang pun cukup sengit.

Dengan bermodal Rp 50.000, setiap harinya sekitar 3000-5000 ekor
jangkrik dikirimkan untuk Roiyah dan Sigit dari wilayah Bekasi, Jawa
Barat. Selanjutnya mereka menjualnya dengan harga 1.000 rupiah untuk
setiap 20 ekor.

Tidak banyak memang untung yang dapat mereka kantongi dari hasil
berdagang tersebut. Jika hasil penjualan terbilang lumayan, sekitar
150.000 rupiah dapat mereka bawa pulang dan sisanya ditabung.

Namun jika cuaca sedang tidak buruk, maka penjualan mereka pun akan menurun dan uang yang didapat hanya cukup untuk makan saja.

Tapi siapa sangka, dari jerih payah berjualan jangkrik ini, pasangan
yang dianugerahi dua orang puteri tersebut mampu menyekolahkan salah
satu anak mereka hingga ke jenjang perguruan tinggi, bahkan dapat
melanjutkannya sampai dengan pendidikan pasca sarjana hingga mendapatkan
gelar Megister (S2).

“Alhmadulillah, meski cuma dagang beginian, anak saya bisa sekolah sampe S2,” tutur Roiyah dengan bangga.

Roiyah mengakui, ia dan suaminya tersebut sudah terbiasa dengan hidup
sederhana dan apa adanya, hal inilah yang menjadi salah satu faktor
keberhasilan mereka untuk dapat membiayai pendidikan anaknya, Siti
Ernawati (22), hingga pasca sarjana (S2) dan mendapat gelar Megister di
sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta.

“Saya seneng, akhirnya saya bisa liat anak saya diwisuda. Semua keluarga dan tetangga saya ajak pas wisudaan Erna,” ucapnya.

“Warisan yang berharga untuk anak bukanlah harta benda, tapi pendidikan”

Inilah yang menjadi landasan pemikiran Sigit dan Roiyah untuk terus menyekolahkan anak-anak mereka.

Meski biaya pendidikan terbilang cukup tinggi, khususnya pendidikan
di universitas, namun pasangan yang tinggal di Jalan Kemuning RT 07 /
RW 01 Jatinegara, Rawa Bunga, Jakarta Timur ini, tetap yakin dan pasrah
bahwa segala usaha yang dilakukannya tersebut akan membuahkan hasil yang
baik bagi keluarganya.

“Saya berdoa semoga Erna jadi orang, tidak seperti emak-bapaknya yang
cuma dagang beginian” tutup Roiyah dan Sigit sambil mengemasi barang
dagangan mereka.

Ernawati sendiri saat ini telah bekerja di sebuah perusahaan
perbankan. Namun demikian, Roiyah mengakui bahwa putri bungsunya ini
tetap setia membantu kedua orangtuanya saat hendak berjualan jangkrik.

Selain berjualan jangkrik, Roiyah dan Sigit juga menjual belalang,
kelabang dan undur-undur. Yakni hewan sejenis serangga yang hidup di
pasir dan biasa dicari orang untuk obat diabetes. (arip)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36702

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :