Museum Radya Pustaka adalah salah satu lambang kota Surakarta. Apa saja kekayaan yang ada di museum tua yang pernah kecurian banyak koleksinya?

Radya Pustaka sangat lekat dengan sejarah kota Solo (Surakarta). Didirikan pada 28 Oktober 1890. Radya Pustaka berasal dari Radya yang berarti keraton atau negara, sedangkan Pustaka berarti perpustakaan. Dengan demikian Radya Pustaka mempunyai arti perpustakaan keraton atau perpustakaan negara.

Dibangun pada zaman Sri Susuhunan Paku Buwana IX oleh KRA Sosrodiningrat IV, Patih Keraton Surakarta. Museum ini menyimpan benda-benda peninggalan sejarah Keraton Surakarta dan kebudayaan Jawa. Awalnya museum ini berada di salah satu ruang kediaman KRA Sosrodiningrat IV di Kepatihan. Atas prakarsa Paku Buwana X, museum lantas dipindahkan ke Loji Kadipolo (sampai sekarang) pada 1 Januari 1913. Gedung Loji Kadipolo tanahnya dibeli oleh Sri Susuhunan Paku Buwana X dari Johannes Buselaar, pria Belanda seharga 65 ribu gulden.

Museum Radya Pustaka terletak di pusat kota Solo yaitu Jalan Slamet Riyadi 275 kota Surakarta. Cukup mudah, karena banyak tempat penting ada di sepanjang jalan itu, misalnya Taman Sriwedari, kantor-kantor perdagangan penting dan juga kediaman Walikota (Loji Gandrung).

Luas bangunan seluruhnya 523,24 meter persegi. Terdiri dari ruang pameran tetap, ruang perpustakaan dan ruang perkantoran. Tiket masuk sangat murah, hanya Rp 5.000 per orang. Bila ingin merekam dengan kamera video atau foto hanya menambah Rp 3.000 saja.

Di halaman depan, di depan gedung museum, para pengunjung akan menjumpai sebuah patung dada R. Ng. Rangga Warsita. Ia adalah seorang pujangga keraton Surakarta yang sangat termasyhur dan hidup pada abad ke-19. Patung ini diresmikan oleh presiden Soekarno pada tahun 1953. Di depan dan di belakang patung ini terdapat prasasti yang menggunakan aksara Jawa.

Di teras gedung ada koleksi arca dan meriam serta beberapa batu peringatan ulang tahun museum ini. Ada tiga ruang utama pada gedung tersebut. Di ruang pertama terdapat patung Sosrodiningrat IV sang pendiri museum tepat berada di depan pintu masuk. Ada meriam beroda pada masa VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie/Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) dari abad 17 dan 18.

Sementara itu ada pula beberapa meriam-meriam kecil milik Keraton Kartasura. dan beberapa arca-arca Hindu-Buddha. Antara lain, arca Rara Jonggrang yang artinya, “perawan tinggi” namun sebenarnya adalah arca Dewi Durga. Selain itu arca Boddhisatwa dan Siwa. Arca-arca ini ditemukan di sekitar daerah Surakarta.Di ruang utama terdapat berbagai macam koleksi wayang. Ada wayang gedgedhog, wayang purwa, wayang krucil, wayang golek, topeng, dan koleksi senjata. Menyusuri lorong yang menghubungkan ruang pertama dengan ruang kedua, pada ruang sisi kiri berisi berbagai koleksi piring, gerabah, dan sebuah piala porselen yang merupakan hadiah dari Napoleon Bonaparte kepada Sri Susuhunan Paku Buwana IV.

Juga ada ruang perpustakaan yang menyimpan berbagai koleksi buku sejarah. Dan di seberangnya terdapat ruangan tertutup. Ada koleksi Relung Rambut Budha yang terbuat dari perunggu di tempat itu. Memasuki ruang kedua, pengunjung disuguhi koleksi gamelan lengkap untuk sebuah pagelaran wayang kulit.

Di ruang kedua ini, selain gamelan terdapat berbagai benda-benda khas keraton. Ada tandu untuk mengangkut sesaji, alat transportasi tradisional, koleksi uang kuno, songkok raja dan para pejabat keraton, dan berbagai benda peninggalan lainnya. Tepat di pintu masuk ruangan terakhir, ada miniatur Menara Sangga Buana yang terletak di Keraton Surakarta dan dianggap sakral.

Di sisi kiri terdapat miniatur Astana Imogiri, yaitu kompleks makam raja-raja Mataram, dari Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Di sebelah kanan, miniatur Masjid Agung Demak. Di bagian belakang ruang ditemukan berbagai koleksi arca peninggalan Hindu.
Sejarah mencatat, sebagai pimpinan pengurus Radya Pustaka terdiri dari R.T.H. Djojodiningrat II (1899-1905), R.T.H. Djojonagoro (1905-1914), R.T. Wuryaningrat (1914-1926), G.P.H. Hadiwidjojo (1926 hingga wafat). Pemerintah RI juga memberikan subsidi keuangan dan tenaga karyawan museum dengan pertimbangan tidak ada museum milik bangsa Indonesia yang setua museum ini.

Beberapa kursus yang diselenggarakan misalnya kursus Pedalangan (1923 – 1942), kursus Karawitan dengan guru Dr. H. Kramer dan Dr. Th. Pigeaud. Kegiatan lainnya berupa pameran pembuatan wayang kulit, ukiran dan batik.

Kegiatan museum selama seperempat abad terakhir di antara lain Pameran antar Museum internasional di luar negeri, renovasi museum. Menyelenggarakan Lomba Penulisan Museum Radya Pustaka bagi para siswa di Surakarta bekerja sama dengan pengurus Persatuan Wartawan Indonesia Cabang Surakarta tahun 1986. Upaya renovasi gedung dan penataan isinya dengan bantuan Kantor Pariwisata dan Kantor Pendidikan dan Kebudayaan dalam rangka peringatan 100 tahun Radya Pustaka. Juga menerbitkan buku berjudul ‘Sultan Abdulkamit Herucakra Kalifatullah Rasulullah di Jawa 1787-1855’ dan himpunan naskah terbitan Museum Radya Pustaka dengan judul ‘Urip-urip’.

Sekilas, museum ini terasa kusam, tapi jangan dikata soal koleksinya yang amat berharga. Pada tahun 2007-2008 museum ini kehilangan beberapa koleksinya yang akhirnya melibatkan nama pengusaha di Jakarta. Tapi, tak dapat dipungkiri, museum kusam ini memang berharga. (1002)