Dimanakah suku Kamaro ? Kalau kita lihat peta, di pesisir pantai selatan Papua – sebelah Timur Timika, antara Sungai Otakwa dan Teluk Etna, di sanalah suku Kamoro ada dan berdiam berdampingan dengan suku Amungme.

Kamaro (atau kadang disebut suku Kamoro) adalah hanya salah satu dari 257 suku di Papua yang kurang dikenal dibanding Asmat. Padahal suku ini memiliki cita rasa seni yang tinggi yang mereka tampilkan dalam berbagai karya. Kenapa ? Asmat terkenal di seluruh dunia karena kematian seorang anak tokoh AS, Michael Rockefeller yang mengumpulkan budaya Asmat tahun 1962.

Kamaro mulai dikenal sejak tahun 1970 ketika PT Freeport Mc Morran mulai menambang tembaga dan emas. Ada 40 kampung di Kamaro dan dihuni oleh sekitar 18.000 orang.

Kamaro memiliki tribal art (seni purba) yang luar biasa bagus. Salah satu hasil karya budaya khas dari suku Kamoro adalah Maramowe (pengukir tradisional). Karya mereka ditampilkan di pameran Pekan Ragam Budaya Papua berjudul “Peninggalan Budaya Maramowe”.awal Agustus lalu di Bentara Budaya Jakarta. “Maramowe adalah pengukir garis keturunan,” ujar Peneliti dari Papua Center (PACE) UI, Raymond Michael saat pembukaan pameran itu.

Pameran tersebut dibuka oleh Menteri Lingkungan Hidup RI, Balthazar Kambuaya yang adalah putra Papua. Selain itu, turut hadir mantan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan yang juga Guru besar bidang Antropologi UI, Meutia F. Hatta serta Kalmann Kal Muller, warga negara Amerika yang telah menghabiskan waktu 17 tahun bersama orang Kamoro.

Pameran ini berisi ragam ukiran yang telah dihasilkan para seniman Maramowe. Tidak semua seniman ukir bisa menjadi Maramowe, namun semua Maramowe adalah seniman. Tapi sayangnya, seni Maramowe ini mulai tergerus zaman dan modernisasi.
“Mereka lebih senang kerja di pantai atau keluar desa,” lanjut Raymond.

Sebenarnya suku Kamaro dan Amungme adalah dua suku kaya di Papua. Tanah adat mereka di olah oleh Freeport untuk diambil tembaga, emas dan peraknya. ”Keberadaan Freeport di daerah kami tidak membawa kesejahteraan terhadap masyarakat, utamanya bagi suku Amungme dan suku Komoro,” tutur Markus salah satu tokoh adat Kamaro.

Dua suku inilah pemilik tanah yang berlimpah tembaga dan emas itu. ”Total tanah kami yang digunakan Freeport adalah 1,6 juta hektar,” tambahnya. Namun anggota masyarakat kedua suku ini yang bekerja di Freeport bisa dihitung dengan jari.

PT Freeport Indonesia yang merupakan anak perusahaan Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc., diketahui telah hadir di Bumi Cenderawasih itu sejak tahun 1967. Tercatat sebagai perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani presiden Soeharto. Kontrak Karya (KK) I Freeport dengan pemerintah ditandatangani pada 7 April 1967 (No.82/EK/KEP/4/1967). KK ini berlaku selama 30 tahun.

Namun para seniman Kamaro terus berkarya. Dengan kemitraan antara Freeport dengan Universitas Cendrawasih, suku Kamaro dan Universitas Indonesia, mereka tetap menyemangati para seniman untuk berkarya. Hidup mereka tak jauh dari ikan, pantai dan sagu. Karena itu, ukiran yang berbentuk patung, perahu, tameng dan beberapa hal lainnya memiliki arti sendiri dan hanya orang-orang tertentu yang boleh mengukir motif-motif khusus.

Universitas Indonesia malah memiliki Papua Center Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (PACE FISIP) Universitas Indonesia sebagai tempat untuk menekuni budaya, adat dan seni Papua.

Selain beragam ukiran dan patung, pameran ini juga memiliki diskusi budaya, pertunjukan tarian dan pemutaran film dokumenter. Ada 4 film dokumenter mengenai Papua yang akan diputar di sini. Ada juga penampilan tarian daerah yang akan disajikan oleh pemuda-pemudi Kamaro dalam waktu-waktu tertentu. (1002)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?47876

Untuk melihat artikel Seni lainnya,Klik disini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :