Jika melaju dari arah Jalan Matraman Raya atau Jalan Tambak Manggarai menuju Menteng  atau Cikini, pengguna jalan akan melewati Jalan Proklamasi. Jalan itu dulunya Jalan Pegangsaan Timur. Di sisi kirinya, ada sebuah lokasi yang sangat bersejarah, yakni tempat pembacaan Teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945.

Tapi jangan harap kita melihat bekas rumah Soekarno tempat dimana teks proklamasi dibacakan. Rumah bersejarah itu sudah punah. Rata dengan tanah. Sebagai gantinya ada Monumen Proklamasi.

Di lokasi yang cukup luas itu, terdapat tiga simbol penting. Yakni “Tugu Proklamasi”, “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia”, dan “Monumen Soekarno- Hatta”.

Dari ketiganya hanya “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang berkaitan langsung dengan nuansa revolusi. Sebab, diresmikan tepat ketika usia Republik baru satu  tahun, yakni pada 17 Agustus 1946. Pembangunannya diprakarsai organisasi Ikatan Wanita Djakarta.

Pada tugu tersebut terdapat tulisan yang dipahat di atas marmer, “Atas Oesaha Wanita  Djakarta”. Di dinding sebaliknya ada kutipan naskah proklamasi dan peta Indonesia, juga berupa pahatan di atas marmer.

Umur tugu dan rumah di Pegangsaan Timur itu tidak panjang, karena dibongkar atas  perintah Soekarno pada tahun 1960. Soekarno beralasan, di tempat itu akan dibangun ‘tugu sebenarnya’ yang lebih megah dan monumental. Yos Masdani Tumbuan, si pembuat tugu “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” gusar. Bersama kawan-kawannya dari Ikatan Wanta Djakarta, ia melayangkan surat protes ke Soekarno. Namun surat itu tak pernah dibalas Soekarno.

Pada tanggal 1 Januari 1961, Soekarno meresmikan dimulainya pembangunan Tugu Proklamasi yang baru, bernama Tugu Proklamasi atau Tugu Petir.

Tugu berbentuk bulat setinggi 17 meter dan puncaknya berlambang petir. Di tubuh tugu terdapat tulisan “Disinilah Dibatjakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada Tanggal 17 Agustus 1945 djam 10.00 pagi oleh Bung Karno dan Bung Hatta”.

Lokasi tugu berada tepat di titik Soekarno- Hatta berdiri menghadap ke timur saat membacakan Teks Proklamasi 17 Agustus 1945. Lambang petir dimaksudkan sebagai representasi pernyataan kemerdekan Indonesia yang mengguncang dunia. Laksana petir yang menggelegar, kata Soekarno.

Tak jauh di belakang tugu dibangun sebuah gedung yang menandai “Pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Di gedung itu pemerintahan Soekarno merencanakan dan mengendalikan pola pembangunan semesta. Alhasil gedung ini dikenal dengan sebutan Gedung Pola.

Pada masa Gubernur Ali Sadikin tahun 1968, ide membangun kembali “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang lenyap, kembali mengemuka. Gubernur Ali Sadikin menerima ide tersebut dan memfasilitasi pemugaran tugu tersebut  melalui Sekretariat Negara.

Namun pemugaran tertunda karena Yos Masdani, berangkat ke Amerika Serikat untuk belajar. Saat itu marmer-marmer dari tugu yang lama masih disimpan Yos. Kabarnya Cornell University ingin membelinya dengan harga tinggi, namun Yos menolak.

Pada tanggal 17 Agustus 1972, Tugu “Tugu Peringatan Satoe Tahoen Repoeblik Indonesia” yang marmer-marmernya telah dilekatkan kembali, diresmikan oleh Menteri Penerangan Budiardjo di lokasi asal.

Kemudian pada 17 Agustus 1980, Presiden Soeharto menambahkan satu bangunan lagi, yakni patung Soekarno-Hatta yang sedang berdiri membacakan naskah proklamasi. Di antara kedua patung tersebut, terdapat lempengan perunggu yang memuat teks proklamasi.

Misteri Pembongkaran

Sebagai lokasi yang sangat bersejarah, banyak pihak menyayangkan pembongkaran rumah Pegangsaan Timur Nomor 56 oleh Soekarno. Mengapa Soekarno ‘sampai hati’ melakukannya? Sampai kini jawabannya masih menjadi misteri.

Astronom senior, Bambang Hidayat, dalam sebuah wawancara dengan harian Kompas  beberapa tahun lalu mengatakan, pembongkaran itu mungkin akibat bujukan kaum ”kiri” yang ingin menggantinya dengan bangunan lain yang lebih sosialistis.

Bambang mendengar hal itu dari Komandan Seskoad Jenderal Soewarto saat berceramah di Institut Teknologi Bandung, akhir Oktober 1965, sebulan setelah peristiwa G30S. Dari segi momentum, memang bisa jadi benar. Karena ketika itu, golongan kiri terbilang kuat dalam peta politik Indonesia. “Namun kebenarannya masih bisa diperdebatkan.” ujar Bambang.

Di sisi lain, sosok Soekarno sendiri memang dikenal sangat membanggakan kebesaran, terutama lewat simbol-simbol. Seperti kita tahu, sejumlah proyek yang kerap disebut proyek mercu suar, sering dilakukan Soekarno. Sebut saja pembangunan Monas, atau Stadion Utama Senayan.

Sampai Soekarno wafat pada Juni 1970, pertanyaan itu masih menyelimuti benak para generasi penerus. Apalagi Soekarno dikenal sebagai tokoh bangsa yang sangat menghargai sejarah. Salah satu kalimatnya yang terkenal adalah ”Jangan sekali-kali melupakan sejarah”, yang sering disingkat jadi jasmerah.

Tapi misteri itu dibawa Soekarno sampai hayatnya. (yayat)

Untuk Share Artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?35249

Untuk

melihat artikel Utama lainnya, Klik

di sini

Klik

di sini
untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri
nilai dan komentar
di bawah artikel ini

________________________________________________________________

Supported by :