Putaran kedua Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta berlangsung 20 September 2012. Dua pasangan dengan perolehan suara tertinggi pada putaran pertama, Joko Widodo- Basuki (Jokowi-Ahok) dan Fauzi Bowo-Nachrowi (Foke-Nara), kembali berlomba untuk memenangi suara warga.

Siapa pun yang nanti terpilih dipastikan dihadang berbagai permasalahan yang rumit. Mulai dari kemacetan, banjir, kepadatan penduduk, kemiskinan, menjamurnya kampung kumuh dan banyak masalah lain. Tanpa dukungan pemerintah pusat dan instansi terkait, serta terjalinnya hubungan baik dengan pemerintah daerah sekitar, permasalahan yang dihadapi akan kian sulit ditangani. Lebih penting lagi, tanpa keterlibatan dan dukungan warganya, persoalan Jakarta mustahil teratasi.

Selama ini, meski dilanda berbagai masalah berat, oleh banyak pengamat perkotaan, Pemerintah DKI Jakarta dinilai kurang memiliki kepekaan terhadap krisis (sense of crisis), dan belum mau berkorban untuk kepentingan warganya. Hal ini, misalnya, terlihat dari alokasi sekitar 65-75 persen APBD untuk keperluan pemerintah, baik eksekutif maupun legislatif. Hanya sekitar seperempat sisa anggaran yang dialokasikan untuk pembangunan. Ini pun belum tentu utuh, karena dikorupsi atau tidak tepat sasaran.

Sehingga, nyaris semua keputusan dan pelaksanaan rancangan ditentukan dua pemain utamanya, yaitu pemerintah kota dan pengusaha. Padahal, di dalam negara yang dihantui oleh masalah lapangan kerja dan kemiskinan, setiap kegiatan pembangunan kota seharusnya dikaitkan dengan pandangan pembangunan berkeadilan.

Selama ini, gagasan yang melandasi perancangan Jakarta nyaris tidak melibatkan masyarakat luas. Tanpa banyak diketahui publik, misalnya, DKI memiliki beberapa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2011-2020. Sebelumnya, pada RTRW 2010, Jakarta boleh dibilang ”tidak membumi”. Masalah klasik permukiman kumuh, pedagang kaki lima, tak tersentuh. Dalam praktik, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan, kalau pun dilakukan, dimonopoli perancang kota dan penentu kebijakan.

Dalam hal ekonomi, percepatan perdagangan ekonomi di Jakarta, tempat berputarnya 70 persen keuangan nasional, tidak dinikmati oleh sebagian besar warganya yang bekerja di sektor informal. Para pedagang kecil di pasar-pasar tradisional kian terdesak oleh kehadiran mal dan plaza yang menjulang.

Bayangkan, sejak 1985 sampai saat ini tercatat 153 pasar tradisional di Ibu Kota yang harus bersaing dengan makin banyaknya pasar-pasar modern. Sampai tahun 2011 berjumlah 2.162 minimarket. Apalagi, laju pertumbuhan pasar tradisional ini diikuti situasi memprihatinkan atas kondisi tak terurus dan tak layak huni.

Bagaimana mungkin dapat membayangkan hadirnya sebuah kota besar yang memiliki kemandirian secara ekonomi, tempat setiap warga jadi tuan dan nyonya di kotanya sendiri, tidak mendapat perhatian dari pemerintahnya.

Berawal dari Jakarta

Banyak pihak merasa Jakarta dan cara pengelolaannya harus berubah. Terlebih, karena seringkali Jakarta menjadi tolok ukur banyak hal di Indonesia. Bukan karena posisinya lebih penting dari pada daerah-daerah lain, tapi karena letaknya sebagai ibu kota Indonesia.

Maka, perubahan politik dan pembangunan kota di Jakarta biasanya memberi dampak menyebar bagi perubahan di tempat-tempat lain. Ibarat kita melempar sebongkah batu tepat di titik tengah sebuah kolam, maka gelombangnya akan menyebar sampai ke pinggir.

Karena itulah, maka Pilkada DKI Jakarta menjadi hal penting bagi sebuah titik awal perubahan di tingkat lokal Jakarta dan menyebar ke seluruh pelosok Tanah Air. Perkembangan yang berlangsung dalam pengelolaan Kota Jakarta menjadi satu gambaran umum, bagaimana sebuah kota besar di negara berkembang dalam pusaran deras globalisasi. Sebuah proses global yang membutuhkan keseimbangan antara memberi ruang baik perubahan bagi ekonomi dan politik yang lebih terbuka, sekaligus memberikan kesejahteraan, keadilan, dan kemanfaatan bagi warganya.

Untuk memberi manfaat bagi warganya, globalisasi tak perlu ditolak. Namun, sang pemimpin sudah seharusnya punya siasat yang cerdik menggiring globalisasi dengan baik. Di titik inilah kegagalan proses kepemimpinan pengelolaan pemerintahan di banyak kota negara berkembang, termasuk Jakarta.

Meski Jakarta menghadapi berbagai persoalan sosial, ekonomi, maupun politik, Jakarta tidak sedang menghadapi sebuah riwayat kota tanpa harapan. Pilkada DKI Jakarta beberapa saat lagi adalah jalan terang yang dapat membawa perubahan ke arah Jakarta yang lebih baik. Terkait dengan persoalan menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan keadilan bagi warganya, ada baiknya Jakarta belajar pada contoh kota lain yang terbukti berhasil menyelesaikan persoalan ini.

Salah seorang jurnalis senior menulis profil kepala daerah Joko Widodo yang berhasil menata 12 pasar tradisional di Solo, hingga tak kalah bersaing dengan pasar modern. Ia adalah sosok yang berhasil menterjemahkan cara menghadapi globalisasi. Bahwa, menjalankan kebijakan ekonomi tidak identik dengan melawan globalisasi, tetapi memberi perhatian dan membangun kapasitas warga agar mandiri secara ekonomi.

“Proposal pengadaan minimarket menumpuk di meja saya. Jumlahnya ratusan. Saya gak ingin Solo jadi sasaran empuk bagi minimarket dan mematikan warung dan pasar tradisional,” kata Jokowi tentang pembangunan di Solo. Karena itu, dia membatasi jumlah minimarket di Solo yang kini hanya berjumlah puluhan. Biasanya minimarket adalah waralaba yang dimiliki oleh kelas menengah, dengan modal minimal Rp 400 juta. Sedangkan sebuah warung kebutuhan sehari-hari yang biasanya dimiliki oleh warga, kebanyakan bermodal jauh di bawah itu, yaitu sekitar Rp.10 – 50 juta.

Kemampuan kepemimpinan di Jakarta akan diuji dari kemampuan sang pemimpin untuk, pertama, mampu dan berani mengambil kebijakan-kebijakan dalam menyediakan sarana dan prasarana yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah seperti banjir dan kemacetan, dengan pengawasan atas program-programnya. Kedua, untuk masalah politik adalah kemampuan menganalisasi energi-energi positif warga dalam keikutsertaan politik demokratik. Sekaligus juga meredam setiap hal yang merugikan yang tak dapat menerima kenyataan, bahwa hidup berdemokrasi adalah hidup dalam kemerdekaan berpendapat.

Kemampuan kepemimpinan Jakarta untuk melakukan perubahan kota yang lebih baik amat ditentukan oleh kemampuannya melawan korupsi. Di sanalah ukuran bagi pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sayangnya, indeks korupsi di Indonesia Transparency International (ITI) pada 2010, misalnya, fakta sosial menunjukkan Jakarta berada pada peringkat ke-38. Ini jauh di bawah tiga kota teratas pada tahun tersebut, yaitu Tegal, Denpasar, dan Solo.

Meski demikian, harapan masih terbuka pada Pilkada DKI Jakarta kali ini. Mencari pemimpin yang memiliki ketegasan dan teladan, bukan seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Sebuah pengelolaan kota modern, seperti halnya memimpin negara, memerlukan hadirnya sebuah kepemimpinan yang tegas sekaligus memberi teladan yang nyata.

Oleh karena itu, kembali memperjuangkan perubahan di Jakarta adalah mendesak. Sebab, Jakarta berpeluang menjadi pusat perubahan yang memiliki dampak sebar bagi arena politik lokal lainnya.
Pada akhirnya, seperti amanat Bung Karno, tolak ukur kedaulatan suatu republik dilihat dari kemampuan aktor-aktor di dalamnya untuk menciptakan kemandirian sosial ekonomi, kemerdekaan politik, dan memiliki kepribadian dalam berbudaya. (1002)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?48824

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :