Setelah mengucap
salam dan mennyarankan ayahnya supaya membeli mobil dan membuat WC duduk serta
air ledeng. Oei Hui Lan dan Wellington Koo meneruskan perjalanan ke China. 

Sesampainya di
Shanghai mereka disambut meriah. Di Shanghai mereka sempat tinggal di rumah
yang disewa oleh kakak sulung Wellington Koo untuk mereka. Tapi Hui Lan tak
suka, karena selain ukurannya terlalu kecil, tak ada ledeng dan WC duduk pula.

Akhirnya mereka
pindah ke hotel untuk beberapa waktu. Wellington Koo menurut Hui Lan sebetulnya
tak setuju. Dia tak ingin menyinggung perasaan kakaknya yang sudah repot-repot
menyewakan rumah. Tapi Hui Lan bergeming.

Beberapa waktu
kemudian mereka membeli sebuah istana di Beijing,
tentu saja dari uang pemberian Oei Tiong Ham, karena gaji Wellington tak mungkin mencukupi kebutuhan
Hui Lan.  Istana itu dijual murah oleh
pemiliknya, US$ 100,000, karena ia takut disita oleh pemerintah. Istana itu
dibangun Kaisar pada abad XVII untuk seorang gundik yang paling dicintainya. Di
istana itulah kemudian presiden China
pertama Dr. Sun Yat Sen meninggal tahun 1925. Hui Lan menghabiskan dana
tambahan sekitar US$ 150,000 lagi untuk memperbaiki istana itu. Di istana itu
pula putra kedua Hui Lan lahir tanggal 24 Juli 1923 malam.

Oei Tiong Ham meninggal

Setelah tinggal
di China,
Hui Lan masih sempat beberapa kali mengunjungi Singapura menemui Ayahnya.  Suatu ketika Hui Lan mendapat undangan jamuan
makan dengan Gubernur Jenderal Singapura, ayahnya  yang melihat Hui Lan datang ke Singapura
dengan perhiasan seadanya, langsung ke kamar dan setelah itu melemparkan setumpuk
perhiasan intan yang besarnya berpuluh puluh karat ke pangkuan Hui Lan.

Yang diundang
dalam perjamuan itu semuanya orang Inggris kecuali Hui Lan dan Sir Robert Ho
tung dari Hong Kong.  Hui Lan mengajak ayahnya. Ayahnya  tidak paham bahasa Inggris dan ingin duduk di
sebelahnya Hui Lan. Setelah dijelaskan kepada ajudan Gubernur Jenderal,
akhirnya jamuan makan malan itu berlangsung lancar. Oei Tiong Ham duduk
disebelah Hui Lan.

Hui Lan mengaku
masih sekali lagi bertemu Oei Tiong Ham ketika Hui Lan datang ke Singapura
untuk melihat pembangunan villa miliknya yang memasuki tahap akhir. Pada waktu
itulah Oei Tiong Ham diramal oleh seorang India. Kata orang itu, akan ada
musuh yang meracuni Oei Tiong Ham. 

Hui
Lan khawatir dan mengajak ayahnya meninggalkan Singapura. Tapi Oei Tiong Ham
menolak, saat perpisahan di pelabuhan, Oei Tiong Ham  sempat berkata pada Hui Lan, “Hui Lan, aku
lelah.“.

Hui Lan merasa
sedih mendengar perkataan Ayahnya. Hui Lan sama sekali tak menyangka bahwa
kalimat itu adalah perkataan terakhir dari Oei Tiong Ham untuk dirinya.

Setelah tiga
bulan, Hui Lan menerima kawat dari Tjong Swan. 
Oei Tiong Ham meninggal dunia.  Kabar
yang dia terima, ayahnya meninggal mendadak akibat serangan jantung pada 6 Juni
1924.  

Bagi Hui Lan,
inilah awal masa suram kehidupannya. Hui Lan merasa sangat kehilangan. Sosok
Oei Tiong Ham baginya juga sebagai pelindung. Selama ayahnya hidup, Hui Lan
bukan Cuma merasa aman dari segi keuangan, tetapi juga selama ada Oei Tiong
Ham, tidak seorang pun berani berbuat jahat terhadap Hui Lan dan keluarganya.

Ibunya, Bing
Nio, menolak menghadiri pemakaman Oei Tiong Ham. Akhirnya ditemani Wang,
sekretaris sekaligus kepala rumah tangga (majordomo) dan seorang pelayan
perempuan, Hui Lan berangkat ke Singapura.

 

Sampai di
Singapura, peti jenazah Oei Tiong Ham sudah ditutup. Saat itu banyak
orang-orang yang tak dikenal Hui Lan datang. Mereka adalah teman-teman Lucy Ho.
Hui Lan menyadari bahwa dirinya sekarang orang luar.

Hui Lan meminta
agar jenazah ayahnya diotopsi, apalagi dia ingat betul perkataan peramal yang
meramalkan ayahnya akan tewas diracun. Hui Lan curiga Lucy Ho meracuninya.  Namun menurut penasihat hukum di Singapura,
sebagai anak perempuan almarhum Hui Lan tidak berhak meminta otopsi, kecuali
ibunya, Bing Nio.

Diputuskan
jenazah Oei Tiong Ham akan dimakamkan di Semarang.  Dua anak Oei Tiong  Ham yang dipercaya yakni Tjong Wan dan Tjong
Hauw yang mengatur semuanya.  Jenazah
lalu diangkut menggunakan kapal ke Semarang. 

Di Semarang,
prosesi pemakaman Oei Tiong Ham dilakukan tanpa biksu. Hui Lan  sebagai anak istri sah, duduk di kereta
pertama pengiring kereta jenazah . Swan, Hauw , dan para putra Oei Tiong Ham dari
gundik-gundiknya berjalan di belakang mereka.  

Pembagian Warisan

Oei Tiong Ham
meninggalkan warisan cukup banyak.  Hui
Lan mendapatkan warisan yang dijanjikan ayahnya.  Ibunya mendapat beberapa juta dollar.  Kakaknya, Tjong Lan mendapat satu juta dollar.
Sementara perusahaan peninggalan Oei Tiong Ham dibagi tiga antara  Tjong Hauw, Tjong Swan dan Lucy Ho.  Belakangan Tjong Swan menjual bagiannya itu kepada
Lucy Ho dan pindah ke Belanda.

Lucy Ho sendiri menurut kabar yang didengar Hui Lan, meninggal di Swiss akibat
kanker. Swan meninggal akibat infeksi gigi yang ditelantarkan. Sementara  Hauw 
meninggal di Jakarta
karena serangan jantung tahun 1951.

Bisnis Oei Tiong
Ham di Jawa lalu diambil alih Jepang dan sisanya kemudian diambil oleh
pemerintah Soekarno.

Menjadi Dubes  AS

Dua belas tahun
kemudian, tepatnya  tahun 1936,  Wellington diangkat
menjadi dubes China
pertama untuk Prancis.  Hui Lan menulis
dalam bukunya bahwa saat menuju Paris, dirinya
meninggalkan banyak harta benda di China.  Hui Lan juga juga meninggalkan perhiasan
almarhumah isteri pertama Wellington
di sebuah bank di Shanghai, dengan maksud akan diberikan kepada putri mereka,
Pat, kalau Pat sudah dewasa.

Waktu itu
mereka tak berpikir bahwa akhirnya semua ternyata akan amblas oleh pemerintah
komunis China.

Tujuh tahun
menjadi dubes China untuk
Perancis, Wellington
pindah tugas menjadi Dubes di London tahun 1943.  Hui Lan mengaku berteman baik dengan Menteri
Luar Negeri Anthony Eden dan pernah dijamu oleh PM Churchill, kemudian juga
oleh PM Attlee. Bahkan mereka pernah diundang jamuan makan oleh Ibu Suri Mary
yang  kemudian mereka balas dengan
menjamunya di kantor kedubes China Di London.

Selama menjadi istri dubes, mereka bisa mengadakan perjamuan mewah semacam itu
berkat warisan Oei Tiong Ham karena gaji Wellington yang ‘cuma’ US$ 600 sebulan.

Selama di London
itu pula Hui Lan berteman baik dengan Joseph Kennedy, Jr yang kemudian tewas
dalam perang.  Semasa perang dunia kedua,
Hui Lan juga ikut menjadi sukarelawan Palang Merah Inggris di bawah Edwina
Mountbatten.

Karier
Wellington terus menanjak, tahun 1946 Wellington
menjadi dubes China
untuk sebuah negara besar yang kala itu memenangi perang dunia kedua, Amerika
Serikat.

Kantor kedubes China
di Washington sebelumnya adalah rumah milik penemu telepon Alexander Graham
Bell. Tetangga sebelah mereka juga adalah seorang konglomerat AS yang kaya
raya, Marjorie Merriweather Post.  Mereka
kerap diundang jika Marjoie mengadakan pesta.

Kemudian Madame
Chiang Kai Shek (isteri presiden Cina Nasionalis) juga pernah menjadi tamu di
kediaman mereka. Oleh karena suaminya tidak bisa berbahasa Inggris, pemerintah China
mengutus madame Chiang yang mendapat pendidikan di AS untuk berpidato di
hadapan kongres.

Mereka juga berhubungan
baik dengan wakil presiden Richard M. Nixon dan isterinya yang bijaksana itu. Dan
sebagai duta besar, Wellington
sering diundang dalam acara-acara penting dan formal pemerintah AS. Tentunya Hui
Lan juga turut serta. Mereka sempat menghadiri upacara pelantikan presiden
Harry S. Truman dan Presiden Dwight D. Eisenhower.

Bing Nio untuk
beberepa saat pernah tinggal bersama mereka di Washington, tapi kemudian
meninggal akibat kanker di sebuah rumah sakit di New York.  Hui Lan menuturkan dia sangat merasa
kehilangan ibunya untuk waktu yang lama.

Akhir Dari Semuanya

Tahun 1956, setelah bertugas di Washington selama
sepuluh tahun, Wellington
ditarik pulang. Ketika itu pemerintah China
sudah terbagi dua, Taiwan dan China Daratan, antara nasionalis dan
komunis.  

Hui Lan memilih
tetap tinggal di AS. Dia menyewa sebuah apartemen di Sutton Palace, New York.
Anak tirinya, Pat sering datang menemani  Hui Lan mengobrol dan untuk mengajarinya
memasak. Di apartemen itu Hui Lan tinggal bersama dua anjing peking kesayangannya.
 Karena Wang ikut Wellington
ke China,
dua pelayannya  memilih bekerja di tempat
lain sementara koki mereka membuka restoran.

Suatu kali Hui Lan mengalami peristiwa naas. Seusai pulang dari mengajak
jalan-jalan anjingnya, Hui Lan disergap perampok. Dua perampok  bule itu mengikat tangan dan kaki Hui Lan.  Perampk itu berhasil membawa lari perhiasan Hui
Lan yang nilainya kira-kira seperempat juta dollar.

Setelah perang usai, sulit sekali mengurus rumah rumah kami di pelbagai tempat
di eropa. Dengan susah payah berhasil juga saya menjualnya, walaupun dengan
harga murah. Saya mengagumi Ny. Kung, seorang Methodist yang tabah. Ia
menghibur saya,“Apa pun milik kita yang hilang, jika Anda mencintai Tuhan, Anda
tidak akan terpengaruh.“

Sejak itu Hui
Lan mengaku jarang menjamu dan enggan menghadiri perjamuan.  Hui lan masih beruntung karena  anak tirinya Pat, dan anak-anaknya patuh terhadap
dirinya. Putra sulungnya,  berhasil menjadi
anggota tentara Angkatan Udara Nasionalis dan berada di Taiwan. Tjong
Lan meninggal di New York
tahun 1970. Suaminya meninggal setahun sebelumnya.

Hui Lan juga
merasa memiliki pertalian emosional dengan Indonesia, tempat dia dilahirkan
dan menghabiskan masa kecil. Oleh karena itu, tahun 1968 Hui Lan pernah mencoba
berbisnis di Indonesia
tetapi bisnis itu gagal.

Di penghujung usianya, Hui Lan menyadari berkenalan dengan kaum ningrat dan
orang berduit tidaklah penting. Otak dan kepribadianlah lebih penting. Kita
bisa menderita akibat haus kekuasaan, tetapi kita bisa mendapat kesenangan dari
sikap hormat, kesederhanaan dan sifat lurus. Kita seharusnya menghargai orang
orang lain dan hidup ini, tulis Hui Lan.

Nama Jalan di Singapura

Hui Lan sendiri meninggal
dunia tahun 1992, di Amerika. Menurut catatan redaksi majalah Intisari berjudul
“Pelangi Cina di Indonesia”, Hui Lan masih sempat menulis kata pendahuluan
untuk buku Raja Gula Oei Tiong Ham yang ditulis Liem Tjwan Ling, pada Maret
1978.

Sementara nasib benda-benda peninggalan
Oei Tiong Ham di Semarang sudah sulit dilacak. Rumahnya di Jalan Gergaji, Semarang sekarang dijadikan tempat kursus bahasa asing dan komputer, milik
keluarga Hoo Liong Tiauw pemilik pabrik plastik Polyplast.

Tjwan Ling Liem, penulis buku
“Raja Gula Oei Tiong Ham (Surabaya,
1979) menulis terjadi pengambil alihan aset Oei Tiong Ham di Semarang oleh
pemerintah.  Lalu sekitar
tahun 1975-an, pemakaman Oei Tiong Ham dibongkar, tulang belulangnya di bawa ke
Singapura dan diabukan disana. Nama  Oei Tiong
Ham kemudian diabadikan sebagai nama salah satu jalan di Singapura.

Dari penelusuran
Kabari,  kongsi dagang Kiang Gwan atau
Oein Tiong Ham Concern diambil alih pemerintah pada tahun 1961 melalui keputusan
Pengadilan Ekonomi Semarang No. 32/1561 EK.S tanggal 10 Juli 1961 yang lalu diperkuat
dengan Keputusan Mahkamah Agung RI No.5/Kr/K/1963 tanggal 27 April 1963.

Perusahan itu berganti nama menjadi PT.
Perusahaan Perkembangan Ekonomi Nasional (PPEN) Rajawali Nusantara Indonesia tahun
1964.  Lalu berubah lagi menjadi PIE Rajawali Nusindo (1971),  dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia (RNI)
pada tahun 2001.

PT. RNI kemudian memiliki beberapa anak perushaan, salah satu
PT Rajawali Nusindo yang kemudian memiliki anak perusahaan lagi, yaitu PT. Putra
Rajawali Banjaran (PRB).

Sekedar informasi terkait berita hangat saat
ini, di PT. PRB inilah Alm. Nasrudin yang tewas ditembak–kemudian diduga melibatkan
ketua Non Aktif KPK Antasari Azhar–duduk sebagai direktur utama. (sumber:
Intisari, Pelangi Cina di Indonesia dan berbagai sumber lainnya
)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?33102

Untuk melihat Berita Indonesia / Khusus lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket