Amin bertemu dengan Jumi pertama kali ketika Ibu Jumi membuka
warung nasi tak jauh dari bengkelnya di daerah Cengkareng, Jakarta
Barat tahun 1997. Bengkel Amin berdekatan dengan sejumlah pabrik,
sehingga membuka warung di daerah itu cukup menjanjikan.

Amin ingat ketika Ibu Jumi datang ke bengkel untuk sekedar
berbasa-basi meminta ijin membuka warung di sebelah bengkelnya. Amin
senang, dengan begitu ia tidak direpotkan urusan makan. Tinggal pesan ke
sebelah, makanan diantar.

Tapi ada yang lebih menyenangkan hati Amin, yakni kehadiran Jumi yang
setiap hari membantu ibunya. Amin mengaku langsung cinta sejak
pandangan pertama kepada Jumi. Tak heran, ia senang sekali membeli nasi
di warung itu.

Seringpula ia meminta Jumi yang mengantarkan makanan yang
dipesan. ”Supaya punya kesempatan ngobrol,” kata Amin sambil tersenyum.
Rupanya cinta Amin tak bertepuk sebelah tangan. Jumi juga memiliki
perasaan yang sama terhadap Amin.

Mereka lalu menjalin cinta diam-diam. Kenapa diam-diam? Ibu Jumi
sebetulnya tidak masalah, namun oleh ayah Jumi, seorang pensiunan
polisi, hubungan mereka ditentang habis-habisan. Apalagi ayah Jumi
pembawaannya keras dan sangat teguh pendiriannya.

Kenapa harus sama orang Tionghoa? Kenapa harus sama orang beda agama?
Memang tidak ada lelaki lain? Demikian sederet pertanyaan yang
ditodongkan kepada Jumi ketika ketahuan menjalin kasih dengan Amin.

Amin pernah dilabrak habis-habisan di bengkelnya oleh ayah Jumi.
Barangkali kalau tidak dilerai pegawai bengkel, Amin bisa jadi
dibulan-bulani ayah Jumi yang bertubuh gempal berisi.

Pernah pula ayah Jumi ingin memindahkan warung nasi, tapi dapat
dicegah isterinya, sebab kontraknya sudah terlanjur dibayar penuh untuk
dua tahun. Akhirnya, Jumi yang diungsikan, tidak boleh lagi membantu
ibunya berjualan.

Puncak perseteruan Amin dengan ayah Jumi terjadi ketika Amin nekat
mendatangi rumah Jumi untuk melamar. Bukan sambutan hangat yang didapat,
Amin justru diusir mentah-mentah.

Maksud Tak Sampai

“Koh Amin, aku sekarang bingung kita mau bagaimana,” kata Jumi kepada Amin suatu malam dalam pertemuan mereka.

“Kalau kamu mau kita bisa pergi ke Kalimantan, di sana ada pamanku yang bisa menampung kita,”

“Bengkelmu disini bagaimana?”

“Kukembalikan kepada orangtuaku, mereka pasti mau memberi uang sebagai gantinya,”

“Terserah kamu, aku ikut saja,”

Keduanya lalu terdiam. Jejak cinta yang telah mereka toreh memang
telah begitu dalam, tak ada lagi yang dapat memisahkan mereka. Keduanya
telah berikrar sehidup semati.

Di hari yang dijanjikan, mereka bertemu di sebuah terminal Bus.
Keputusan telah bulat, tekad telah diteguhkan, Amin dan Jumi akan kabur
ke Kalimantan, memulai hidup baru sebagai sepasang suami istri.

Mereka sudah duduk tenang di dalam bus yang akan mengantar mereka ke
pelabuhan udara, tapi batin mereka bercampur aduk, antara bahagia dan
takut.

“Jum, aku ingin tanya terakhir kalinya, apakah keputusanmu sudah bulat ingin pergi bersamaku?” tanya Amin.

“Keputusanku sudah bulat Koh, apapun yang terjadi,” kata Jumi sembari merebahkan kepalanya di pundak sang pujaan.

Saat bus hendak melaju, tiba-tiba meloncat masuk ayah Jumi dari pintu
depan bus. Ia langsung menghampiri mereka dan memegang tangan Jumi
dengan keras. “Bangsat kamu, mau mencoba mebawa lari anak orang ya ?!”
hardik ayah Jumi kepada Amin. Satu pukulan melayang, beruntung Amin
dapat menghindar.

Ayah Jumi menyeret Jumi keluar. Jumi meronta. Penumpang lain segera
berdiri,”Jangan ikut campur ini anak saya, ini urusan keluarga!’ kata
ayah Jumi kepada penumpang. Matanya melotot ke arah Amin, “Kamu! Jangan
pernah kamu ganggu anakku atau bengkel orangtuamu kubakar!” ancamnya.

Jumi terus berontak sementara ayahnya juga tak mau melepaskan
tangannya. Justru bertambah keras. Kali ini kerah baju Jumi juga
dicengkram. Jumi tak berdaya, ia diseret keluar. Amin hanya bisa
memandang wajah kekasihnya dengan pilu. Bus kemudian melanjutkan
perjalanan.

Surat-Surat Kekasih

Atas bantuan saudaranya di bengkel, Amin bisa mengirim surat untuk
Jumi. Jumi membalas surat-surat Amin dengan menitipkannya diam-diam saat
mengantarkan makanan ke bengkel orangtua Amin.

Surat-surat yang melewati ribuan mil laut itu menjadi pelipur rindu
mereka berdua. Pontianak-Jakarta seakan tak berjarak ketika keduanya
menumpahkan kerinduan masing-masing.

Setahun sejak mereka berpisah, cinta mereka bukannya pupus tetapi
semakin menggelora. Tak tahan disiksa kerinduan, Jumi membuat keputusan
nekat, menyusul Amin ke Pontianak. Apa pun resikonya.

Pagi-pagi sekali sehabis shalat subuh, Jumi mengendap-endap keluar
rumah. Ia membawa sebuah tas besar. Sesampainya di mulut gang, ia
menyetop taksi menuju pelabuhan udara. Jumi mengambil jadwal penerbangan
paling awal supaya bisa lekas-lekas meninggalkan Jakarta.

Di pelabuhan udara Pontianak, Amin sudah menunggu. Dengan perasaan
yang tak terlukiskan ia menyambut kekasihnya, tuntas sudah pertemuan
rindu hari itu.

Kunjungan Yang Tak Diduga

Tahun berganti. Gerimis mengguyur suatu sore yang saat itu belum
terlalu gelap. Seperti sebuah singgasana, ufuk barat masih memangku
mentari berwarna jingga. Jumi kedatangan seorang tamu yang membuatnya
tak bisa berkata apa-apa, ayahnya sendiri.

“Assalamuailaikum Jumi,”

Jumi terperangah tak percaya.

“Ayah tahu darimana alamat saya?”

Ayah Jumi tersenyum.

“Saya tak boleh masuk?” tanya Ayahnya. Jumi gelagapan. Dengan kikuk dia menyilakan ayahnya duduk.

Ayahnya masih tak banyak berubah. Ia duduk tenang dengan raut wajah
yang datar. Tubuhnya tak banyak bergerak. Sesekali ia menepuk-nepuk
sofa, tapi lebih sering mendekapkan kedua tangannya di dada.

“Kamu kerasan di sini?”

“Kerasan” jawab Jumi pendek.

“Mana Amin?”

“Belum pulang pak”

“Sesore ini belum pulang, apakah setiap hari begitu?”

Jumi tak menjawab, ia beringsut ke dapur. Sambil membuat minuman,
hati Jumi berdebar-debar. Apa yang terjadi kalau Amin bertemu dengan
ayahnya? Jumi membayangkan, bahwa hal terburuk bisa saja terjadi.

“Kamu sudah punya anak?” tanya ayahnya.

“Belum,”

“Kenapa belum?”

Jumi diam. Ulu hatinya bagai diterjang seribu tombak. Bagaimana
mungkin ayah mengajukan pertanyaan konyol seperti itu. Siapa yang tak
ingin punya anak? Tapi Jumi diam saja.

Ayahnya masih duduk tenang. Guratan wajahnya masih seperti dulu, nyaris tanpa ekspresi. Namun tampak ada kelelahan di wajah itu.

“Ayah tak bisa lama-lama di sini,”

Jumi diam.

“Ibumu memikirkan kamu terus, dua adikmu juga,”

“Mereka bagaimana?”

“Alhamdullilah semuanya sehat,”

“Sehabis isya, ayah kembali lagi ke Jakarta dengan pesawat terakhir, karena besok ayah ada urusan,”

“Ayah sudah berapa hari di sini?”

“Kemarin sore, dan seharian ini mencari alamat kamu,”

Jumi diam. Ia mulai berani melihat wajah ayahnya dalam-dalam. Ada
yang berubah di sana. Wajah ayahnya sedikit pucat dengan kerutan yang
semakin banyak.

“Ayah sakit?”

“Tidak, mungkin cuma letih,”

Jumi bergegas mengambil bantal, ia berikan kepada ayahnya. “Ayah menginap saja dulu di sini, tak usah memaksakan pulang,”

“Tidak, sayang tiketnya, terlanjur dibeli dan tak bisa ditukar,”
katanya sambil merebahkan tubuh di sofa. Matanya terkantuk-kantuk. Jumi
lalu masuk kamar.

Selepas mahgrib, Amin pulang. Ia terkejut bukan kepalang melihat
mertuanya sudah berada di rumahnya. Tapi Amin tak lagi takut, ia justru
langsung menghambur dan menciumi kaki mertuanya.

“Bapak, saya mohon maf..saya mohon maaf..” kata Amin berkali-kali.
Ayah Jumi menepuk-nepuk pundak Amin. “Sudah, sudah, tak apa, semua
sudah terlanjur. Melarang hubungan kalian sekarang adalah hal yang tak
mungkin, toh kalian kelihatan hidup bahagia di sini. Bapak tidak
apa-apa,” kata ayah Jumi. Amin langsung menangis.

Melihat suaminya demikian, Jumi tak kuasa menahan haru, ia juga
menghambur ke ayahny dengan terisak-isak.”Ayah maapin Jumi, Jumi banyak
salah, Jumi mohon ampun,” Ayah Jumi pun tak kuasa menahan tangis, air
matanya menetes.

Akhirnya Direstui

Sejak kedatangan ayahnya ke Kalimantan, Jumi merasa lebih lapang
menjalani hidup. Ia memang hidup bahagia bersama Amin, tapi rasanya
kurang lengkap tanpa restu orangtua. Seringkali ia rindu keluarganya di
Jakarta.

Sekarang Amin dan Jumi sudah mendapat restu orangtua. Sepele
kedengarannya, tapi ternyata itulah yang menjadi beban mereka selama
ini. Saat ke gereja, Amin selalu berdoa agar hubunganya direstui
orangtua Jumi, sementara Jumi tiada putusnya berdoa dalam shalat-shalat
malam memohon agar suatu saat kelak keluarganya mau menerima Amin. Waktu
akhirnya menjawab, doa mereka dikabulkan Tuhan.

Dua minggu sejak pertemuan yang mengharukan itu. Jumi mendapat kabar
yang mengejutkan. Ayahnya dipanggil Tuhan. Jumi dan Amin segera terbang
ke Jakarta. Saat ayahnya akan dikafani, Jumi sempat mencium wajah
ayahnya untuk terakhir kali. Di samping jenazah ayahnya ia berkata
pelan, “Ayah, dapat salam dari cucumu,” kata Jumi sambil memegang
perutnya.

Sekarang Amin dan Jumi hidup bahagia di Pontianak. Anak mereka dua,
lelaki dan perempuan. Amin punya bengkel motor, sementara Jumi membuka
warung makan kecil-kecilan di depan rumah mereka. Sampai detik ini
keduanya masih memegang kepercayaannya masing-masing dengan teguh dan
damai. Bahagia selama-lamanya.(yayat/seperti diceritakan pasangan Amin
dan Jumi)

Untuk share artikel ini klik www.KabariNews.com/?36310

Untuk

melihat artikel Kisah lainnya, Klik
di sini

Mohon beri nilai dan komentar
di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported

by :