Ucapan syukur beberapa kali keluar dari mulut Tjendrawati. Dia merasa Tuhan masih sayang dirinya. Bisa kembali ke Surabaya dengan selamat, lalu bertemu dua buah hatinya, merupakan kebahagiaan tersendiri bagi perempuan 45 tahun tersebut. Tjendrawati menceritakan peristiwa yang tak akan pernah dia lupakan seumur hidup itu. ’’Kami ke Jepang karena dapat hadiah,’’ katanya kemarin.

Hadiah itu diberikan sebuah perusahaan dari AS yang memproduksi peralatan rumah tangga. Mereka adalah distributor di perusahaan itu. Karena dinilai bisa melampaui target penjualan, Tjendra dan suaminya berhak atas hadiah berwisata ke Jepang bersama 180 distributor lainnya se-Indonesia. Mereka berangkat pada Senin pekan lalu (7/3) dan akan berada di negeri itu hingga Sabtu (12/3).

Saat terjadi gempa (11/3), rombongan dari Indonesia akan menuju Kota Odaiba. Dari hotel tempat mereka menginap di Keio Plaza Hotel di Tokyo. Odaiba merupakan sebuah kota di wilayah Prefektur Tokyo, ditempuh perjalanan darat selama 1,5 jam dari Tokyo. Di Kota Odaiba, rombongan Tjendra bertujuan ke tempat wisata Disneyland dan pusat perbelanjaan ’’Kami berangkat pagi-pagi. Saat itu, kami nggak merasakan apa-apa. Kami semua senang,’’ ungkap Tjendra. Setiba di Disneyland, cuaca masih belum berubah.

Sesekali gerimis turun mengguyur. Karena merasa bosan dengan permainan yang ada, dua di antara enam bus rombongan tersebut memutuskan berpindah lokasi ke pusat perbelanjaan Venus Fort, tidak jauh dari Disneyland. Sesampai di mal Venus Fort, anggota rombongan mulai asyik bergerilya untuk mencari barangbarang khas Negeri Sakura itu. ’’Kami berpencar. Yang ibu-ibu berbelanja, sedangkan yang bapak-bapak pergi lihat pameran mobil di sana,’’ jelas Ignasius. Namun, baru sekitar setengah jam mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing, saat jarum jam menunjuk pukul 14.46, terjadilah getaran yang sangat keras.

Saat itu, Tjendra menyaksikan satu per satu rak baju di Venus Fort roboh. Aneka macam peralatan elektronik juga berhamburan dari tempat penyimpanannya. Bersamaan dengan itu, suara jerit manusia terdengar di mana-mana. Tjendra yang saat itu berada di lantai tiga juga tak kalah panik. Apalagi saat itu dia terpisah dari sang suami. ’’Saat itu benar-benar takut. Sebab, saya baru pertama mengalami ini. Apalagi Mas Sani (panggilan akrab Ignasius) tidak ada di samping saya,’’ ungkapnya.

Namun, berkat kesigapan dan ketenangan petugas mal serta guide, rombongan dari Indonesia tersebut bisa agak tenang. Sebagian besar masyarakat Jepang sudah terbiasa dengan gempa dan tetap tertib selama evakuasi. ’’Itulah yang membuat kami salut. Mereka memang berlarian karena panik dan sesekali berteriak. Tapi, tidak ada yang main dorong atau serobot. Semua tetap tertata dan saling membantu,’’ puji Sani.

Dari informasi yang diterima, Tjendra dan suaminya mendapat kabar bahwa saat itu terjadi gempa berkekuatan 8,9 skala Richter. ’’Kami stres saat itu. Apalagi diberi tahu guide jarak Tokyo–Miyagi tidak terlalu jauh. Sekitar 265 kilometer,’’ kata perempuan kelahiran 4 Januari 1966 tersebut. Keadaan semakin genting karena mal yang mereka kunjungi saat itu berposisi di tepi laut. ’’Ya kira-kira 200 meter dari bibir pantai lah. Karena itu, kami hanya bisa pasrah. Duduk sambil memandangi air laut,’’ jelasnya. Tjendra dan teman-temannya bersyukur karena tsunami tak sampai ke tempat mereka.

Setelah bersantap malam, sekitar pukul 22.00 waktu setempat, rombongan enam bus dari Indonesia itu meluncur ke hotel di Tokyo. Dalam keadaan normal, waktu tempuh dari restoran ke hotel sekitar 1,5 jam. Tapi, saat itu Tjendra cs harus menempuh waktu sekitar enam jam. ’’Jalanan macet dan semrawut. Apalagi jalan tol ditutup dan kereta api tidak diaktifkan. Benar-benar seperti pemandangan di film. Dini hari saja suasana kota seperti pasar,’’ cerita Sani.

Tepat pukul 4.00 keesokannya (12/3), Tjendra dan rombongan lain tiba di hotel. ’’Begitu tiba di hotel, kami harus berkemas-kemas. Kami hanya diberi waktu sejam karena jadwal pesawat kami pukul 11 siang,’’ ujar Tjendra. Dengan hanya diberi waktu sejam untuk packing, jangankan untuk tidur, mandi pun mereka tidak sempat. Setelah sejam berlalu, mereka berkumpul kembali di lobi hotel untuk naik bus menuju Bandara Narita. Jarak ke bandara yang biasanya hanya ditempuh 1,5 jam saat itu ditempuh selama tujuh jam. Lagi-lagi karena macet dan jalanan rusak. Tentu, dengan waktu perjalanan yang lama, mereka pun tertinggal pesawat.

Akhirnya, setelah diputuskan, mereka akan berangkat dengan pesawat penerbangan selanjutnya. Namun, pesawat tidak lepas landas dari bandara itu, melainkan dari Bandara Haneda yang jaraknya cukup jauh. Mereka pun terpaksa memutar haluan bus dan menuju Bandara Haneda.

Lagi-lagi mereka terjebak kemacetan. Baru pukul 17.00 (12/3) mereka tiba di bandara tersebut. ’’Saat itu, pikiran makin tidak enak. Kebayang dua anak di Surabaya. Kalau saya nggak selamat, bagaimana nasib mereka,’’ ucap Tjendra miris. Sesampai di Bandara Haneda, ratusan anggota rombongan harus bersabar menunggu pesawat. Sebab, pesawat baru akan terbang pukul 22.00. Selama di bandara, mereka menghabiskan waktu dengan menata barang yang dimasukkan secara acak-acakan di hotel sambil terus berdoa menurut keyakinan masing-masing.

Sebab, di bandara pun, gempa masih sering terjadi, walau skalanya jauh berkurang daripada yang mereka rasakan sebelumnya. “Di situ kami melihat manusia memang nggak ada apa-apanya dibanding kehendak Tuhan. Semua jadi ingat berdoa dan beribadah,’’ ujar Sani. Akhirnya, rasa lega baru mereka rasakan ketika sudah berada di pesawat. ’’Saat itu, pikiran saya cuma satu, pengin cepat-cepat pulang,’’ ujar Tjendra lantas terisak.

Untuk share atrikel ini klik www.KabariNews.com/?36477

Untuk melihat artikel Khusus lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :