Kinanti shooting sebagai host di acara Mutiara Hati

Kinanti shooting sebagai host di acara Mutiara Hati

Menggenggam es batu selama berjam-jam, orang pasti menggigil, bahkan bisa menjadi baal atau mati rasa. Tapi tidak bagi Kinanti. Es batu justru yang menyelamatkan nyawanya ketika penyakit fabry yang diidapnya kambuh. Berikut kisah hidup remaja putri, pasien penyakit langka Fabry Disease.

Dokter mendiagnosa putri sulung Pratiwi Banun ini menderita Fabry Disease, yaitu sebuah penyakit langka karena ketiadaan enzim tertentu. Saat kambuh, suhu tubuhnya meninggi hingga darahnya serasa mendidih. Tidak bisa tidur, sehingga sang Ibu pun mengompresnya dengan selimut berisi puluhan kemasan es batu. Barulah suhu tubuhnya turun, dan ia baru bisa terlelap.

Lahir, Kuning

Beberapa lama menikah, Banun, sapaan ibu yang penyabar itu, bahagia sekali ketika merasakan gejala kehamilan pada dirinya. Anak memang selalu membawa suka cita. Begitu pula bagi dirinya bersama sang suami. Pasangan muda ini pun tak henti bersyukur menjalani bulan demi bulan kehamilan, hingga di usia 8 bulan, pada 25 September 1998, lahirlah seorang bayi perempuan yang diberi nama Kinanti Wilis Anggerani atau biasa disapa Kinanti.

Benar pesan dokter, agar pasangan suami-istri (pasutri) ini tidak kaget melihat bayinya kuning. Ini kenyataan yang pasti terjadi, karena Banun sendiri secara genetik menderita defisiensi G6PD, yaitu kekurangan enzim tertentu. Karenanya, begitu melihat dunia, Kinanti pun mesti dirawat intensif di dalam inkubator selama seminggu. Syukurlah, ia boleh segera pulang.

Namun setelah itu, selama berbulan-bulan kemudian, bayi mungil ini tak lepas dari serangan diare akut. Dalam sehari bisa 12 kali ia buang air besar (BAB). Orang dewasa saja tiada sanggup bertahan di kondisi seperti ini, apa lagi bayi merah sekecil itu. Dokter anak mencurigai pencernaan Kinanti yang tak beres, yakni tak bisa mencerna lemak dan kalsium.

Karena masih minum air susu ibu (ASI), maka Banun menjalani diet. Tapi, tidak ada perubahan. Bahkan sempat tiga minggu lamanya Kinanti harus dirawat di rumah sakit, karena dehidrasi hebat akibat diarenya itu. Demikian terus, hingga memasuki umur 3 tahun, keluhan lain muncul. Ia tiba-tiba menjerit kesakitan sambil memegangi kaki dan perutnya. Kata dokter, itu akibat dari sistem metabolismenya yang terganggu dan tidak mampu menyerap kalsium.

Masih diingat Banun, hari itu, kata Banun, pada 17 Agustus 2005, Kinanti kesakitan luar biasa. Telapak tanngan dan kakinya panas. Badannya kaku dan kedua kakinya tak bisa diluruskan. Tersentuh sedikit saja, langsung menjerit kesakitan. Banun dan sang suami langsung membawanya ke dokter, lalu minum obat pereda nyeri.

Memang, sakitnya hilang, tapi efek sampingnya mengerikan. Kinanti kehilangan nafsu makan sama sekali. Dalam waktu singkat, berat tubuhnya susut 3 kilogram. Dari semula 15,5 kg menjadi 12,5 kg. Padahal anak seusia dia, 7 tahun, normalnya bobot tubuhnya sekitar 20 kg!

Atas saran adik ipar yang juga dokter anak, Banun pun membawa anaknya konsultasi ke dokter anak ahli spesialisasi metabolisme dan nutrisi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Dari hasil laboratorium terlihat kalau kalsium ion pada tubuhnya sangat rendah, 0,05, sementara normalnya adalah 1,3. Untuk mengatasi hal ini, Kinanti harus diet makanan yang berzat besi dan berkalsium tinggi, Karbohidrat dikurangi. Terpaksa, makan dijatah, sehari hanya makan sekali dan tidak lebih dari 50 gram. Bagaimana menunya?

Setiap hari Kinanti makan 100 gram sayuran hijau dan 250 gram daging, ditambah 200 ml susu atau olahannya per dua jam. Itu saja. Tidak ada makanan pantangan, tapi karena yang disarankan itu, maka ia pun dikhususkan makan asupan yang disarankan itu saja. Sebagai ibu, Banun sangat tertekan. Khawatir bobot anaknya tak naik juga. Andai hal ini terjadi, berarti makanan harus dipaksa masuk melalui selang.

Syukurlah, berhasil. Sedikit demi sedikit terjadi perubahan. Berat tubuh Kinanti naik, meski masih sering lemas, nyeri, mulutnya berdarah dan juga badannya panas. Uniknya, anak itu tidak mau istirahat di rumah. Tetap mau sekolah. Kalau sudah begitu, berarti Banun mesti menggendong anaknya dari halaman parkir ke kelasnya.

Suhu Tubuh Mendidih

Kinanti ikut tampil di perayaan gereja

Kinanti ikut tampil di perayaan gereja

Umur Kinanti bertambah, tapi gangguan fisiknya masih juga merongrong. Kali itu fungsi ginjalnya terganggu. Diare semasa kecil kembali lagi. Tubuhnya juga menolak makanan yang masuk. Ia terus menerus muntah. Banun hanya bisa pasrah dan memohon pertolongan Sang Khalik.

Pada 2007, Kinanti berusia 9 tahun, sepulang dari seminar internasional di luar negeri, dr Damayanti yang sejak awal merawat Kinanti mengatakan, kalau remaja putri ini menderita fabry disease. Banun diminta googling untuk lebih tahu tentang penyakit anaknya. Dengan berdebar, ditemani kakaknya, ibu ini mencocokkan keterangan pada literatur tersebut dengan gejala fisik yang tampak pada diri Kinanti.

Betapa terkejutnya Banun, ternyata cocok. Di antaranya, ada gumpalan darah mati berwarna biru di balik kuku mirip terjepit pintu, dan yang pasti suhu tubuh yang terus tinggi. Pendingin ruangan disetel dengan suhu terendah, 16° C, pun tak mempan mendinginkan tubuh Kinanti. Ia tetap saja merasa kepanasan. Karenanya, sering meski hari sudah malam, ia mandi air dingin untuk menyejukkan tubuh. Bila sedang kambuh, Banun menyiapkan selimut dengan diisi berpuluh kantung es batu.

Fabry Disease

Penyakit ini menurun secara genetik, timbul akibat kekurangan enzim untuk metabolisme lemak akibat rusaknya enzim alphagalactosidase A. Lemak tidak terurai sehingga menumpuk di ginjal, jantung, saraf dan bagian tubuh lainnya. Saat kanak-kanak atau dewasa, pasien merasakan sensasi terbakar pada tangan atau kaki, muncul ruam merah di kulit dan mulut, tak berkeringat, kornea dan lensa mata keruh, sakit perut yang sangat, tekanan darah tinggi hingga pada fase tertentu, harus cuci darah atau cangkok ginjal.

Banun dan sang suami bersyukur, banyak pihak menaruh perhatian terhadap kondisi putri mereka. Salah satunya yang terus mendampingi adalah Dr.Damayanti. Ia terus memantau, bahkan melibatkan rekan-rekannya dari luar negeri, seperti dr WL Hwu, ahli metabolisme anak asal Taiwan. Ia mengundang Banun ke Taiwan untuk mengikuti training merawat anak berpenyakit langka. Di sana ia juga sempat bertemu Presiden Taiwan yang membesarkan hatinya.

Menurut dr Hwu, saat ini penyakit Kinanti tidak bisa disembuhkan, perkembangan penyakitnya dapat ditahan dengan obat-obat tertentu atau penggantian enzim (Enzyme Replacement Therapy). Namun sayangnya, harga obat masih sangat terlalu mahal, sekitar Rp100 juta sekali pengobatan dan harus diulang dua minggu sekali. Pada 8 bulan kemudian hasilnya terlihat. Namun terapi ini tak bisa berhenti, harus seumur hidup. Ada yang menawarkan program CSR dari sebuah perusahaan obat, tetapi Kinanti harus menjalani tes genetika di Amerika Serikat. Ini pun butuh biaya sangat mahal.

Ujian Hidup

Banun, suaminua, Kinanti usia 3 tahun, dan adiknya

Banun, suaminua, Kinanti usia 3 tahun, dan adiknya

Karena keterbatasan dana, Banun memutuskan merawat putrinya seperti yang dilakukannya selama ini. Dengan bertambahnya usia, Kinanti makin besar dan tahu menjaga dirinya agar tak terlalu kelelahan. Banun sangat miris, karena ia yang menurunkan G6PD defisiensi kepada Kinanti, hanya jenisnya bukan asli Indonesia, melainkan ada garis keturunan dari Eropa. Akibatnya, pembuluh darah bisa pecah kapan pun dan menyebabkan pendarahan tanpa faktor pemicu sekalipun.

Banun meminta maaf kepada sang suami karena faktor genetik yang diturunkannya. Syukurlah, sang suami berhati luas. Ia justru menghibur dan mengajaknya bersama-sama menghadapi ujian hidup ini.

Kini Kinanti menjelang remaja. Ia lebih bisa membawa dirinya. Tidak seperti dulu, dalam usia 12 tahun, 12 kali pula ia mengalami masa-masa kritis hingga harus dirawat di rumah sakit, akibat paru-parunya berisi cairan dan darahnya mengental. Normalnya kekentalan darah 17, tapi Kinanti 42. Hemoglobinnya pun tinggi, 19, seperti seorang atlet saja, sehingga menyebabkan pembuluh darah di permukaan kulitnya pecah-pecah dan muncul berupa ruam dan bentul berwarna merah.

Kinanti juga ingin sekali sembuh. Banun terus menyemangati putrinya untuk tetap percaya diri dan berpikir positif. Didorongnya untuk berprestasi, sehingga tidak jadi bahan ejekan orang sebagai orang penyakitan. Hingga kini Kinanti masih bertahan, bahkan berprestasi di sekolah. Bagi Banun dan suami, menjadi bukti bahwa Tuhan selalu ada dan memberikan mukjizat-Nya. (1003)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?61090

Untuk melihat artikel Kisah lainnya, Klik di sini

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

_____________________________________________________

Supported by :

asuransi-Kesehatan