Jumat dinihari 27 Maret 2009.
Orang-orang masih terlelap. Hujan yang mengguyur sejak malam hari
semakin membuat masyarakat Cirendeu, Tangerang, nyenyak dalam peraduan.

Sementara
diluar, bunyi “krek..krek..” yang berasal dari tanggul Situ Gintung
yang letaknya tak jauh dari perkampungan semakin keras terdengar. Bunyi
dari dinding tanggul itu menandakan air sudah mulai merembes keluar.
Jebolnya tanggul tinggal menunggu waktu. Tapi saat itu selain hujan
turun sangat deras, orang-orang masih lelap tidur. Maut pun mengintip.

Dulkani
(48) yang letak rumahnya hanya beberapa meter dari dinding tanggul
mengatakan suara “Krek..krek..” itu sudah terdengar sejak dari jam satu
dinihari. Sekitar sebelum Subuh dia sempat keluar dan memeriksa. Saat
itulah dia lihat dinding tanggul tampak seperti berderit-derit menahan
beban air.

Ditengah hujan deras, Dulkani segera
membangunkan tetangga-tetangganya. Dia juga segera mengungsikan
keluarganya ke rumah orang tuanya yang lokasinya lebih tinggi.
Menurut Dulkani, jarak antara dia membangunkan warga lalu mengungsikan keluarganya sangat pendek.

Dan
sekitar jam empat pagi tanggul Situ Gintung pun jebol. Rumah-rumah yang
letaknya lebih rendah dari tanggul, seperti mainan kertas. Rusak dan
hancur disapu 15 juta meter kubik air. Orang-orang tengah lelap tidur
tak lagi sempat menyelamatkan diri. Indonesia kembali menangis.

“Begitu
saya tiba di rumah orang tua bersama keluarga saya, tak lama kemudian
tanggul jebol.” tutur Dulkani terbata-bata. Meski seluruh keluarganya
selamat, tapi rumah Dulkani luluh lantak.

Tanggul Situ
Gintung dibangun pada tahun 1930-an di masa pemerintahan Belanda.
Kondisi fisik tanggul yang tua serta kurangnya perawatan bangunan
tanggul, menjadi penyebab terjadinya musibah tersebut.

Selain
itu, kawasan di sekitar tanggul juga telah beralih fungsi menjadi
kawasan wisata. Berbagai macam objek wisata hingga fasilitasnya
dibangun diatas area sekitar tanggul, luas tanggul yang semula mencapai
28 hektar lebih, telah berkurang menjadi 21 hektar. Proses pendangkalan
tanggul karena endapan lumpur juga mempengaruhi terjadinya musibah
tersebut.

Masih teringat jelas dibenak ibu HJ. Ami (73),
detik-detik sebelum terjadinya tragedi mengenaskan tersebut. Ibu HJ.
Ami bercerita bagaimana dia kehilangan keluarga yang dicintainya akibat
musibah ini.

Seperti biasa, beliau selalu terjaga di pagi
hari untuk menjalankan ibadah shalat Subuh, seruan azan Subuh yang
dikumandangkan Marbot (istilah untuk pengurus masjid) membangunkan
beliau.

“Waktu saya mau sholat Subuh, saya mendengar suara gemuruh dari arah tanggul, itu sekitar pukul 04.30 WIB,
saat saya ke luar dan melihat keadaaan, ternyata di depan rumah saya
air sudah tinggi, saya langsung bangunkan keluarga saya untuk keluar
rumah” ucapnya.

Rumah ibu Hj. Ami di belakang kampus
Universitas Muhamadiyah Jakarta (UMJ) yang juga berada di dekat pinggir
kali hancur tanpa sisa dihempas terjangan air tanggul.

Ibu
Hj. Ami dan keluarga bergegas menyelamatkan diri dengan cara
berpegangan diantara kayu-kayu yang terbawa aliran air. Beliau mengaku
kehilangan tiga anggota keluarganya dalam musibah tersebut. Anak,
menantu dan cucunya.

Dia bilang sempat saling berpegangan
dengan anggota keluarganya. Tapi anak, menantu dan cucunya terlepas.
Beruntung Ibu Hj. Ami masih berhasil meraih kayu yang hanyut sebagai
pegangan. “Mereka mungkin gagal lalu hanyut.”

Kejadian
memilukan itu berlangsung cepat. Tak lebih dari 30 menit. Tapi langsung
meratakan perkampungan mereka. “Kejadiannya sangat cepat, tidak sampai
setengah jam, saat air surut dan korban-korban langsung bermunculan ke
permukaan,” ucapnya sambil mengusap air mata mengenang bagaimana
dirinya lunglai melihat jenazah-jenazah berserakan.

“Jenazah
tiga orang anggota keluarga saya ditemukan tersangkut diantara runtuhan
bangunan. Saya merasa lemas sekali melihat mereka keadaan mereka.
Mereka itu sekeluarga, anak saya, suamninya dan anaknya yang masih
kecil.” katanya terisak.

Tangis dan jerit korban yang
selamat masih terngiang di telinga ibu Ami. Para tetangga dan warga
yang selamat langsung sibuk mencari dan menyelamatkan korban jiwa.

Sedikitnya
tercatat 100 korban jiwa meninggal dunia dalam musibah tersebut setelah
dilakukan pencarian selama satu minggu, dan masih terdapat puluhan
korban hilang lainnya yang belum ditemukan hingga kini.

Hampir
sepanjang 70 meter tanggul penahan air Situ Gintung jebol dan
menumpahkan air di dalamnya tanpa sisa. Trauma mendalam masih tersimpan
di benak mereka saat mengenang musibah tersebut.(arip)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/?32974

Untuk melihat Berita Indonesia / Kisah lainnya, Klik disini

Klik disini untuk Forum Tanya Jawab

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Photobucket