KabariNews – Perkembangan teknologi saat ini kembali ke era tradisional, yaitu mengembangkan budaya percakapan dan interaksi antarmanusia. Misalnya, perkembangan media sosial seperti facebook, twitter, instagram, path, linkeln, google+, dll. Di media tersebut, pengguna bisa dengan leluasa berinteraksi dengan siapa saja dan dimana saja. Bahkan berbagai institusi jasa seperti transportasi turut membuat media sosial untuk berjejaring dan berdiskusi seperti forum tentang travelling.

“Hakikat manusia sebagai makhluk sosial menuntut perubahan inovasi dalam teknologi, bukan sebaliknya. Perkembangan internet dengan media sosialnya yang masif, menjadikan dunia semakin bisa diraih dalam genggaman,” jelas Dr. Marianne Dayrit-Sison, FPRIA dari RMIT University, Melbourne, Australia yang memaparkan tentang “To tweet or not to tweet: Community engagement, social media and CSR” pada acara The 2nd International Conference on Corporate and Marketing Communication (ICCOMAC) pekan lalu, yang diselenggarakan oleh School of Communication Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Dr. Marianne menjelaskan hasil penelitian di Indonesia tentang merangkul komunitas para petani di desa daerah Jawa Barat terkait komunikasi yang mereka lakukan dengan para perusahaan yang melakukan program Coorporate Social Responsibility (CSR) disana. Sebagai bentuk demokrasi, analisislah media yang digunakan oleh komunitas ini dalam berinteraksi. Kemudian buatlah sebuah media yang mewadahi mereka untuk berdialog dan terutama memberikan umpan balik (feedback) kepada perusahaan. Misalnya, menyampaikan saran, kritik, atau keluh kesah. Komunikasi dua  arah yang terjalin ini, merupakan salah satu bentuk demokrasi dalam bekerjasama dengan segala lapisan masyarakat.

Begitu halnya dengan komunikasi yang terjalin antara atasan dan bawahan. Prof. Dr. Rainer Janz dari Westphalian University of Applied Sciences, Institute for Journalism and Public Relations –JPR-, Germany yang membahas mengenai “CEO View: The Impact of Communications on Corporate Character in a 24×7 Digital World”, menjelaskan terdapat tiga hal yang harus dilakukan seorang CEO perusahaan yaitu, pertama mengetahui kondisi perusahaan baik internal maupun eksternal, kedua mengetahui karyawan terutama bagian humas bekerja dengan baik sehingga CEO bisa memaksimalkan mereka dalam membangun reputasi, ketiga mengetahui apa saja masalah yang terjadi dalam perusahaan sehingga bisa dengan cepat merespons solusi. Ketiga hal ini adalah bentuk dari komunikasi dua arah yang efektif antara CEO dan karyawannya. Sehingga, bisa mengantisipasi krisis.

Selain komunikasi dua arah yang terjadi di dalam lingkup organisasi perusahaan dan komunitas. Komunikasi dua arah pun terjadi pada diri sendiri, seperti yang diungkapkan oleh Dr Kate Fitch  seorang Senior Lecturer and Academic Chair di Murdoch University, Perth, Australia menjelaskan tentang “The Princess of Instagram: Celebrity, Commodity and Communication”.

“Media sosial seperti instagram telah menciptakan selebritis baru. Tidak perlu seorang artis terkenal tetapi para penggiat yang fokus memposting ide kreatifnya dalam bentuk visual kemudian diupload ke instagram, dan disukai oleh banyak orang. Maka, ia telah menjadi selebrities instagram. Seperti, seorang Public Relations dari Australia yang menjadi trensetter dunia PR, karena membagikan hidupnya di Instagram dengan menceritakan profesi kesehariannya,” ungkap Kate.

Akhirnya, komunikasi dua arah yang terjalin antara pengguna media sosial dengan yang merespons mencetak tokoh dengan peran baru serta membentuk karakter dan menjadikan hidup mereka lebih bebas berekspresi.    “Pola komunikasi dua arah ini mampu memberikan perspektif komunikasi strategis untuk mengatasi berbagai masalah bisnis, politik, dan sosial di masyarakat,” tutup Kate. (1011)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/80800

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

lincoln

 

 

 

 

 

kabari store pic 1