KabariNews – Tim Advokasi Peduli Orang dengan Gangguan Jiwa, Mendesak Presiden Republik Indonesia Joko Widodo untuk segera memerintahkan Jaksa Agung HM. Prasetyo menghentikan eksekusi mati terhadap terpidana Rodrigo Gularte warga negara Brasil yang rencananya akan dieksekusi dalam waktu 3×24 jam berdasarkan informasi yang diterima dari media dan pihak kedutaan Brasil pada Jumat, 25 April 2015.

Mengutip siaran pers Kontras, Minggu, (26/4), permintaan penghentian eksekusi ini didasari pada adanya upaya hukum permohonan Peninjauan Kembali (PK) yang akan ditempuh -Senin 27 April 2015- oleh Rodrigo Gularte bersama keluarga yang diwakili oleh kuasa hukum, bukti baru (novum) yang terdiri dari 22 bukti sebagaimana dimaksud adalah terkait dengan keterangan kondisi Rodrigo yang mengalami gangguan jiwa sejak tahun 1982 dan hingga pada tanggal 11 Februari 2015 dari hasilĀ  keterangan Rumah Sakit Umum Daerah Cilacap, Rodrigo didiagnosis dengan Skizofrenia Paranoid dan DD: Gangguan Bipoler dengan ciri psikotik.

Kondisi kejiwaan Rodrigo ini tidak pernah dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim tingkat pertama hingga in kracht, sehingga kualifikasi novum atau terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masing berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan sebagaimana diatur dalam ketentuan pasal 263 ayat 2 huruf a KUHAP sudahlah terpenuhi.

Oleh karena itu berdasarkan Pasal 8 dari the United Nations Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the Death Penalty (1984) menegaskan bahwa hukuman mati tidak boleh dilakukan apabila prosedur hukum masih berjalan, baik di pengadilan maupun pengajuan grasi. Maka dengan adanya novum yang akan diajukan dalam permohonan peninjauan kembali oleh Rodrigo, pihak kejaksaan tidak diperkenankan untuk melakukan eksekusi. Tentu saja ini amat dekat dengan penafsiran dari Pasal 6(4) Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (1966) yang menegaskan bahwa pengampunan dan penggantian hukuman mati harus dapat diberikan pada semua kasus.

Dalam situasi kesehatan Rodrigo Gularte instrumen HAM internasional ini yang memperkaya keberadaan dari Pasal 6 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik tentang hak atas hidup, turut menegaskan bahwa tetap melanjutkan praktik hukuman mati tidak boleh dilakukan kepada individu terpidana yang mengalami gangguan mental (Pasal 3). Selain itu, dengan adanya novum yang akan diajukan tersebut, maka berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP yang menyebutkan barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana, maka akibat hukum yang timbul adalah Rodrigo tidak dapat dikenakan pidana.

Seperti diketahui, 10 terpidana mati gelombang kedua yang akan dieksekusi dalam waktu dekat adalah Andrew Chan dan Myuran Sukumaran (keduanya WN Australia); Martin Anderson (WN Ghana); Raheem Agbaje Salami (WN Spanyol). Kemudian Rodrigo Gularte (WN Brasil); Sylvester Obieke Nwolise (WN Nigeria); Serge Areski Atlaoui (WN Prancis); Okwudili Oyatanze (WN Nigeria); Zainal Abidin (WN Indonesia); dan seorang perempuan Mary Jane Fiesta Veloso (WN Filipina). (1009)

Untuk share artikel ini, Klik www.KabariNews.com/76800

Mohon beri nilai dan komentar di bawah artikel ini

______________________________________________________

Supported by :

Allan Samson

 

 

 

 

kabari store pic 1